Monday, November 3, 2008

SISTEM SYARAF SERANGGA, HUBUNGANNYA DENGAN OTOT

Ada tiga sistem yang bekerja pada serangga :

*
1. CNS atau SSP (Central Nervous System, Susunan Syaraf Pusat)
*
2. PNS atau SST (Peripheral Nervous System atau sistem syaraf tepi)
*
3. Stomagastric System atau sistem stomagastrik

Sistem pertama terdiri atas otak (tepatnya, supraesofageal ganglion, ganglion diatas esofagus) dan korda saraf ventral (ventral nerve chord). Sistem kedua adalah sistem syaraf yang dipergunakan untuk menerima sinyal atau rangsang : khemoreseptor, mekanoreseptor, semua sensila, syaraf motorik yang dihubungkan ke otot atau kelenjar. Sedang sistem ketiga adalah sistem pada perut atau pencernaan, yang tidak dikendalikan oleh "keinginan" serangga (involuntary).

Sel-sel syaraf secara embriologis berasal dari sel-sel ektodermis, terjadi karena invaginasi (pelekukan) integumen, yang pada akhirnya menghasilkan neroblas. Untuk mempelajari trend evolusi korda syaraf (tali syaraf), para peneliti menggunakan ordo diptera, karena pada ordo ini dijumpai susunan syaraf dari yang primitif sampai yang ke kompleks. Sebagai misal, ganglion (simpul syaraf, jamak: ganglia) memiliki tendensi untuk semakin terkoordinasi dalam satu organ. Pada sistem syaraf diptera kompleks, ganglia tidak lagi dijumpai pada abdomen, tetapi semuanya mengumpul menjadi satu di bagian toraks.

Neuron, Sel syaraf

Susunan di atas disebut sebagai "neuron bipolar", sedang bentuk lainnya adalah "monopolar Neuron" seperti yang dijumpai pada SSP.

Neuron bipolar dengan demikian lebih banyak dipergunakan untuk menerima dan meneruskan rangsang, sementara yang monopolar dipergunakan untuk memproses rangsang dan selanjutnya diantisipasi sesuai dengan jenis rangsang.

Sinaps

merupakan hubungan antar serabut syaraf atau antara sel syaraf dengan sel-sel muskular (disebut sebagai neuromuscular junction). Bagian ini merupakan situs penting tepat bekerjanya insektisia, terutama insektisida syaraf. Karena struktur ini sangat fragile atau ringkih, maka dibutuhkan lapisan/selubung pelindung untuk proteksi bagian ini.

Ganglion

Merupakan kumpulan badan sel syaraf yang bekelompok membentuk bangunan yang disebut neuropile, dengan axon atau serabut syaraf menuju ke dan keluar dari bundel syaraf ini. Pada bagian anterior serangga tepat di atas esophagus, terletak ganglion utama yang berfungsi juga sebagai otak serangga. Ke arah lateral kiri dan kanan terdapat lobus opticus ("optic lobe") yang merupakan serabut konektif, untuk memberikan informasi mengenai cahaya. Dari otak juga terdapat syaraf-syaraf ke korpora alata dan korpora kardiaka, yang akan menyampaikan isyarat untuk melepas hormon kepada kedua organ/badan khusus tersebut.

Transmitansi atau rambatan syaraf, merupakan gerakan elektronik di dalam serabut, dan gerakan khemis antar serabut (apabila sinaps). Namun pun gerakan elektronik yang ada adalah karena perbedaan potensial unsur-unsur kimia, sehingga tetap juga merupakan proses elektrokimia. Banyak jenis transmiter syaraf yang dimanfaatkan ileh serangga (lihat hand-out bhs. Inggris). Oktoplamina, noradrenalin, serotonin, N-asetiltiramina, N-asetildopamina, andrenalin, histamina, asetilkholin, asam glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), 5-hidroksitripolamina (5-HT) adalah beberapa contoh nerotransmiter.

Pengukuran Nerotransmitasi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut perekam elektrofisiologis (electrophysiological recorder) seperti pada gambar pada hand-out (Fig. A-12) pada prinsipnya alat tersebut adalah CRT (Cathode Ray Tube, Tabung Sinar Katoda). Oscilloscope, yang dipergunakan mengukur arus listrik pada tingkat milivolt.

Ada dua jenis pengukuran yang dapat dilakukan:

- eksternal (external recording)

Apabila dilakukan perekaman eksternal, maka alat rekamnya demikian sensitif, perlu dilindungi dari gelombang radio agar tidak menimbulkan gangguan impedansi.

- internal (internal/intracellular recording)

Dipergunakan mikro elektroda, suatu tabung kapiler ultra tipis dengan ujung sangat tipis dan mampu menyentuh sel tulang.

Contoh pelaksanaannya adalah dalam mengukur kemampuan mata serangga dalam menerima kerlipan cahaya. Serangga mampu menangkap lebih banyak kerlip dibanding manusia, sampai sekitar 60 kerlip per detik (disebut sebagai Flicker Fusion Frequency atau 3 F). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikroelektroda yang ditusukkan pada mata majemuk dan selanjutnya dirangsang oleh strobo-light. Reaksi syaraf akan nampak pada grafik yang muncul dalam osiloskop.

Pengukuran yang lain adalah terhadap khemoreseptor yang terdapat pada labellum. Adanya gula, air, asam atau garam akan menyebabkan probosis dikeluarkan atau ditarik masuk. Setiap reseptor kimia memiliki keempat jenis tanggapan tersebut. Reseptor ini ditemukan juga pada tarsi, karena pegukuran pada tarsi menunjukkan gejala yang sama dengan pada labellum.

Dengan mengganti larutan yang terdapat di dalam tabung mikroelektroda gelas, dapat diketahui apakah suatu reseptor merupakan reseptor air, gula, garam, atau asam. Rangsang lain yang dapat dipergunakan mengecek suatu jenis reseptor adalah panas/dingin, gerak mekanis, cahaya, dan bahan kimia.

Proses awalan transmisi

Membran axon/sel syaraf ternyata bersifat semi permiabel, seperti yang ditunjukkan oleh kandungan ion di luar dan di dalam membran. Terdapat konsentrasi Na tinggi di luar dan K tinggi di dalam. Adanya A- di dalam menimbulkan dikirimnya impak negatif.

Membran syaraf sendiri berfungsi sebagai suatu kapasitor, karena memiliki perbedaan potensial oleh adanya ion negatif dan positif. Dengan kata lain., membran sel syaraf berfungi juga sebagai penyimpan energi elektronik. Pada kenyataannya, membran dapat ditembus bukan hanya oleh karena ion terabsorbsi, melainkan juga oleh perbedaan polaritas.

Ion-ion Na dan K mempunyai tendensi untuk selalu merembes keluar karena gradien konsentrasinya, tetapi Na+ lebih sulit masuk dibanding mudahnya K- keluar. Dalam hal ini suatu sistem pompa bertenaga ATP akan memompa kelebihan ion di dalam sel. Pompa ini disebut sebagai pompa Na-K

Adanya anion dan kation di sekitar membran menyebabkan funsi membran sebagai kapasitor (dapat dideteksi dengan osiloskop) dengan nilai potensial "istirahat" (resting membrane potential) antara 75 mV. Untuk lebih rincinya harap dibaca hand-out bhs. Inggris.

Dalam situasi ini perhitungan potensialnya mengikuti persamaan Nernst dengan logaritma pangkat 10 :

Pada suhu 20 0 C

Sehingga apabila konsentrasi ion K diketahui, potensial membran dapat dihitung. Untuk menghitung pengaruh lebih dari satu ion (multiple ion action) dipergunakan rumus membran potensial :

Membanjirnya ion Na dari luar atau "flush in" akan menyebabkan naiknya polaritas membran, yang apabila mencapai titik jenuh akan menyebabkan ion K merembes keluar, menurunkan potensial sampai di bawah normal. Dalam keadaan inilah pompa Na-K melakukkan penyeimbangan dengan memompa kelebihan Na keluar. Pada titik potensial tertentu terdapat keadaan ketika ‘pinta Na" terbuka atau tertutup karrena bekerjanya pompa.

Proses di atas terjadi karena adanya rangsang yang mengubah komposisi ion pada membran. Ion-ion yang sama diinfiltrasi ion pada pada membran ion tak senama kemudian memunculkan rangkaian lokal (local circuit) yang kemudian mempengaruhi ion-ion di dekatnya untuk "merambatkan" konfigurasi rangkaian lokal ini. Rangkaian ini tidak mungkin mengalir ke belakang karena adanya mekanisme refractory action atau sekehendaknya mengulang proses tersebut, karena masing-masing ion harus mempertahankan kondisi seimbang/ekuilibrium. Dalam pada itu serabut syarafnya sendiri umumnya menuju ke satu sisi.

Potensial gerak (action potential) haruslah melalui suatu tingkat kenaikan potensial melampaui ambang batas, apabila tidak maka gerakan yang muncul hanyalah gerakan yang bersifat memiliki potensial lokal tergradasi (local graded potential). Reaksinya dengan demikian tertegun-tegun atau terbata-bata.

Suatu tanggapan terhadap sinyal syaraf dalam tubuh serangga akan memunculkan suatu potensial ujung lempeng (end-plate potential) pada jungsi neromuscular (sambungan antara syaraf dan otot, Neuromuscular junction), namun potensial ini makin lama makin melemah. Dengan demikian yang dipengaruhi hanyalah lingkungannya saja, tetapi tidak merangsang suatu ujung gerak tertentu. Tanggapan serangga nantinya akan tergantung kepada berapa banyak jungsi neromuskular yang memimiliki potensial ujung lempeng. Ini berarti jumlah sel-sel otot tidak perlu terlalu banyak yang mengandung ujung serabut syaraf pada tiap selnya. Pada serangga dijumpai adanya akson-akson "cepat" dan "lambat", selain kemungkinan terdapat pula sejenis akson lain yang disebut akson penghambat, yang berfungsi sebagai penghambat gerakan dan bukan meneruskannya.

Pada akson cepat dan akson lambat dijumpai asam glutamat sebagai transmiter syaraf, karena dalam darah serangga (hemolimfaa) dijumpai banyak asam amino. Asam glutamat terutama bekerja pada jungsi neromuskular dengan menyebabkan timbulnya kontraksi. Namun karena di dalam hemolimfaa yang menyelubungi j.n.m. terdapat begitu banyak asam glutamat, maka harus ada barier fisis yang melindungi j.n.m. dari pengaruh asam glutamat bebas tadi. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa asam glutamat terikat oleh suatu reseptor atau bahan tertentu di dalam hemolimfaa, boleh jadi tidak terdapat dalam plasma tetapi di dalam butir darah (hemosit).

Akson penghambat bekerja dengan menggunakan bahan kimia GABA (Gamma Amino Butyric Acid, asam butirat gama amino) yang disimpan dalam suatu relung yang disebut perforate medium. Mekanismenya adalah hiperpolarisasi, sehingga potensialnya tidak cukup besar bagi akson lambat untuk bertindak à karena polarisasinya berlebihan, sehingga ion yang muncul dinetralkan oleh ion yang berlawanan.

Dalam hubungannya dengan sistem otot, maka dijumpai tiga jenis serabut otot, yaitu tubular, close-packed dan fibrillar. Dua jenis yang pertama merupakan otot sinkronous, memiliki nisbah input/kontraksi I, sedang yang tipe terakhir adalah otot asinkronik, dengan nisbah input/kontraksi lebih kecil dari satu. Itu sebabnya serangga mampu terbang sangat cepat, dengan getaran sayap yang sangat tinggi frekuensinya. Mekanisme ini secara morfologis didukung oleh fungsi fisologis sarkosoma, mitokhondria pada sel otot untuk terbang. Tipe protein yang teerdapat pada otot sinkronik. Secara khusus kandungannya adalah banyak jenis asam amino yang mampu menyalurkan osilasi (sebagai bahan penyangga elastisitas).

Organ-organ sensorik

Ada tiga jenis organ sensorik yang dijumpai pada serangga:

1. reseptor kimia

2. reseptor mekanis

3. reseptor cahaya

Secara morfologis reseptor disebut sebagai sensillum (jamak: sensillae), yang merupakan sel untuk menghasilkan dan menghantar arus rangsang elektronik. Banyak organ (hampir semua) yang juga berfungsi sebagai reseptor.

Mekanoreseptor atau sensillum trichoidea

Disusun oleh sel-sel epidermis khusus (sel-sel trikogen). Di sekelilingnya terdapat sel-sel sendi penyangga atau sel-sel tormogen. Semuanya merupakan modifikasi sel-sel epidermis. Mekanoreseptor umumnya memiliki satu sel syaraf bipolar, yang dilindungi oleh selubung "skolopol". Potensial awalnya disebabkan oleh rangsang yang telah digradasi sehingga harus mampu mencapai "potensial penghasil" atau "potensial reseptor", yang beerbanding langsung terhadap besar kecilnya rangsang. Bila potensial ini cukup kuat, maka potensial gerak akan terbentuk dan dihasilkan suatu mata rantai beda potensial menuju ke pusat syaraf. Inilah yang disebut aliran rangsang.

Secara morfologis, bentuk reseptor ini bervariasi. Ada yang tidak berbentuk rambut, hanya merupakan tonjolan jaringan/lapis sel. Bentuk ini disebut sebagai "sensillum campaneiform", dijumpai misalnya sebagai sensilla alat pendengaran (yang memang lebih berupa membran).

Reseptor khemis

Reseptor ini memiliki struktur yang serupa dengan mekanoreseptor. Perbedaannya adalah bahwa umumnya jenis reseptor ini memiliki lebih dari satu neron bipolar. Memang dibutuhkan untuk mendeteksi rangsang yang berbeda-beda jenisnya, dan inilah yang disebut sebagai "modalitas" untuk deteksi rasa pahit (asam), gula, air dan garam. Cara kerjanya juga menyerupai mekanoreseptor. Dua di antara sensillanya adalah stimulan positif, dua lagi stimulan negatif. Sumber rangsang sendiri dapat atau tidaknya terdeteksi antara lain karena tingkat konsentrasinya. Rangsang positif jika melebihi aras tertentu akan menjadi rangsang penghambat.

Pada abdomen beberapa serangga tertentu di jumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, proprioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.

Pada abdomen beberapa serangga tertentu dijumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, propioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.

Reseptor cahaya

Mata majemuk serangga dipergunakan untuk menangkap kesan bayangan/citra, sedang oseli untuk membedakan gelap dan terang. Pada Lepidoptera juga dijumpai stemmata, suatu mata sederhana berbentuk klaster (kumpulan sensilla). Integumen serangga sendiri juga peka terhadap rangsang cahaya.

Ukuran mata majemuk menunjukkan perilaku serangganya. Ada serangga yang sama sekali tidak memiliki mata majemuk, ada yang seluruh kepalanya tertutupi oleh mata. Kemajemukan mata faset sendiri adalah karena tersusun oleh bangunan yang disebut ommatidium.

Dengan adanya bangunan ini, serangga dapat membedakan bentuk dan warna, meski jarak jangkaunya amat terbatas. Di lain pihak, pembedaan detailnya amat tinggi, sehingga gerak yang sekecil apapun dapat terlihat. Untuk susunan morfologisnya, lihat gambar. Korda pusatnya adalah suatu bangunan yang disebut rhabdon. Di sekelilingnya terdapat 8-9 sel neron yang telah dimodifikasi (tak ada dendrit, hanya akson saja) dan disebut retinula atau sel-sel retinula. Apabila rhabdon memanjang sampai menyentuh ujung bangunan bening transparan yang disebut kerucut kristalin (crystalline cone), maka jenis mata faset demikian disebut mata majemuk aposisi, sedang bila hubungannya ke kerucut kristalin disambungkan oleh suatu konektor, disebut mata majemuk superposisi. Diduga yang pertama digunakan oleh serangga-serangga diurnal, sedang yang kedua oleh serangga nokturnal. Tanpa adanya ruang antara rhabdon dan ujung kk maka jumlah cahaya yang diterima tidak akan terlampau berlebihan. Sebaliknya jika diberi ruang, maka cahaya dapat dikumpulkan sebanyak-banyaknya.

Jadi rhabdon bertugas mengubah cahaya menjadi rangsang syaraf. Impuls yang terjadi dikirim langsung ke bagian otak yang disebut lobus opticus. Perubahan kesan cahaya menjadi impuls elektronik terjadi di dalam bangunan mikrotubuler yang menyusun rhabdon.

Prosesnya melibatkan suatu pigmen visual yang dinamakan rhodopsin. Secara kimiawi strukturnya disintesis dari retinaldehide dan opsin. Sumber utamanya adalah β-karotin yang banyak dijumpai pada wortel. Mekanisme kimianya adalah perubahan isomer dari cis (Z) menjadi trans (E). detail dapat dilihat pada gambar.

By: Winoto
sumber : http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=316&tkt=4

FEROMON, ALLOMON, KAIROMON: SISTEM KOMUNIKASI SERANGGA, KONSEP DASAR, ELEKTROANTENOGRAM (EAG), OLFAKTOMETER DAN UJI BIOLOGIS LAINNYA

Berbeda dengan hormon, yang merupakan isyarat internal bagi serangga secara individual, feromon dan alomon merupakan bahan kimia yang disekresi keluar tubuh serangga oleh kelenjar eksokrin sehingga bereaksi di luar tubuh (antar individu). Feromon menjembatani komunikasi individu dalam satu spesies. Kegunaannya beragam mulai dari daya tarik antar kelamin, mencari pasangan, mengisyaratkan bahaya, menandai jejak dan wilayah, serta berbagai interaksi intraspesifik lainnya.

Wilson dan Bosert, peneliti dari Harvard, membagi feromon menjadi dua subklas:

1. releaser, yang beraksi cepat menimbulkan rangsang perilaku, dan

2. primer, yang bekerja mengubah kondisi fisiologis.

Sedangkan allomon merupakan bahan kimia yang bekerja menjembatani komunikasi antar spesies dengan keuntungan bagi penghasil allomonnya. Allomon dipergunakan untuk mengusir predator, membingungkan mangsa, dan memediasi interaksi simbiotik.

Komunikasi khemis memerlukan sumber molekul, senyawa atau molekul isyarat itu sendiri dan penerima. Sumber yang paling banyak dijumpai adalah kelenjar eksokrin, yang terletak pada permukaan tubuh serangga. Kelenjar ini letaknya bervariasi: dapat di bagian alat mulut, membran intersegmental, sklerit, tungkai atau bagian tubuh lainnya. Produk kelenjar ini harus mampu menembus eksoskeleton serangga yang keras dan liat. Sel sekretori tipe I terletak tepat di bawah epidermis dan mengalirkan sekresinya ke luar melalui duktula memanjang yang merupakan lekukan epikutikula yang menjorok ke dalam (Gambar B.). Sedangkan sel skretori tipe II memiliki kutikula yang berlubang-lubang kecil sehingga sekresi dapat terperkolasi dari sel sekretori ke luar (Gambar B.)

Feromon

Dari beragam rangsang khemis yang terdapat di luar tubuh serangga, feromon harus mampu muncul dengan sifat khas dan menyampaikan pesan tertentu bagi serangga yang menerimanya. Tidak semua molekul dapat bersifat feromon. Isyarat yang dikirimkannya harus jelas, dan dalam lingkungan terestrial senyawanya harus bersifat volatil. Glukose dan glikogen sulit dipergunakan sebagai feromon. Secara teoritis, semakin besar molekulnya, semakin besar pula kemungkinannya menjadi struktur yang unik dengan sifat khas. Tetapi pada prakteknya molekul tersebut harus pula volatil, sehingga rantai karbonnya terbatasi paling banyak hanya sampai 20 saja. Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino.

Kalau jenis-jenis hormon pada subklas Insekta tak banyak bervariasi, lain halnya dengan feromon. Jenisnya demikian banyak karena masing-masing khas untuk spesies tertentu saja. Keragaman ini gunanya untuk menghindarkan terjadinya kekeliruan antara satu spesies dengan spesies lain. Agar nilai komunikasinya semakin khas, feromon kebanyakan merupakan campuran beberapa senyawa kimia, sehingga isyarat yang terkirim sebenarnya datang dari daya kerja total kumpulan senyawa tersebut.

Ruang aktif.

Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah.

Agar dapat menimbulkan rangsang, haruslah ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space".

Besar kecilnya ruang ini tergantung dari "kemauan" si pelepas feromon. Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.

Feromon Seks

Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku "courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon.

Pada mulanya diduga bahwa masing-masing spesies memiliki kekhasan molekul feromon seks yang dipergunakan untuk memikat lawan jenisnya. Molekul ini diduga khas, unik dan menimbulkan rangsang bagi lawan jenis dalam spesies yang sama, tidak pada serangga lain. Pada kenyataannya yang terdapat di alam ternyata jauh lebih menarik dan lebih kompleks dari dugaan tersebut. Kebanyakan feromon merupakan campuran kompleks dari beberapa senyawa penimbul bau, dan campuran aroma demikian memiliki perbedaan arti yang dapat cukup luas hanya karena sedikit perbedaan kadar campurannya. Karena jenisnya yang menjadi beratus-ratus (atau bahkan beribu-ribu) oleh bentukan campuran senyawanya, maka di sini hanya akan diketengahkan contoh feromon seks pada ulat sutera dan kupu-kupu ratu saja.

Ngengat sutera

Pengetahuan tentang adanya sifat atraktan yang dimiliki oleh sekresi ngengat telah diketahui sejak abad sembilanbelas ketika seorang ahli Perancis J.H. Fabre menunjukkan adanya ngengat jantan yang lebih tertarik pada sehelai kertas yang pernah ditempati ngengat betina dan mengandung sekresi ngengat, dibanding terhadap ngengat betinanya sendiri. Namun baru pada tahun 1959 elusidasi senyawa atraktan dapat dilakukan, yaitu oleh Adolf Butenandt (Jerman) yang mengidentifikasi senyawa atraktan pada ngengat sutera.

Butenandt bersama rekan-rekannya dengan tekum memotong ujung abdomen sekitar 500.000 ekor ngengat betina, kemudian mengekstraksinya menggunakan etanol-eter, memurnikan komponen aktifnya dan selanjutnya mencirikan kandungan senyawa yang diperoleh menggunakan teknik mikrokimia susunan Butenandt sendiri. Dari jumlah ngengat itu diperolehnya 12 mg atraktan murni, suatu senyawa karbon rantai 16 yang diberinya nama bombykol.

Ngengat jantan sangat sensitif terhadap senyawa ini, dan pada kenyataannya tanggapan jantan yang berupa kepakan sayap ("fluttering") merupakan cara mengukur tingkat konsentrasi senyawa feromon bersangkutan, suatu teknik bioassay sederhana. Dari percobaan-percobaan yang pernah diadakan, tingkat konsentrasi terendah yang masih dapat dideteksi ngengat jantan berkisar antara 10-6 - 10-4 æg.

Pada saat itu diduga bahwa bombikol adalah satu-satunya senyawa feromon yang dihasilkan oleh ngengat sutera betina. Dugaan ini diperbaiki oleh Kaissling dkk. (1978) dari Jerman yang menemukan senyawa aldehidnya (disebut bombikal) dalam campuran senyawa feromon dengan rasio 10:1. Adanya bombikal yang kerjanya menghambat respons ngengat jantan terhadap bombikol menyebabkan efektivitas feromon seks sutera menjadi lebih tinggi. Kisaran konsentrasinya lebih lebar, dari 10-5 sampai mendekati 100, sehingga tanggapan jantan lebih bersifat "graded" atau sedikit demi sedikit.

Detektor feromon terdapat pada antenna ngengat jantan. Antena ngengat sutera yang besar dan berbentuk seperti bulu ayam mengandung sekitar 64.000 rambut-rambut indera, yang 80% di antaranya khusus untuk menanggapi senyawa feromon. Tiap sensillum dilengkapi dengan dua neron sensorik, yang satu peka terhadap bombikol, yang lain terhadap bombikal; dan masing-masing neron mengirim rangsang secara terpisah ke otak. Otaklah yang kemudian menentukan, menanggapi rangsang tersebut atau tidak.

Di alam terdapat beribu-ribu spesies, yang pada suatu ketika betinanya melepas feromon seks sehingga terdapat berbagai senyawa feromon yang berhubungan dekat satu sama lain di udara. Ini berarti ngengat jantan harus mampu membedakan berbagai feromon dari spesies lain, dan menanggapi dengan tepat feromon spesiesnya sendiri. Roelofs dari Cornell University menunjukkan bahwa senyawa feromon dari dua spesies dengan genus yang sama (Archips argyrospillus dan A. mortuanus), sama-sama mengandung empat komponen utama, tetapi dalam perbandingan yang berbeda, yaitu 60 : 40 : 4 : 200 untuk A. argyropillus dan 90 : 10 : 1 : 200 untuk A. mortuanus.

Berapa banyak jantan yang dapat dipikat oleh seekor betina ?

Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 ng bombikol, yang secara teoritis mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Namun perhitungan ini mengabaikan kehadiran senyawa bombikal. Selain itu, yang penting dalam hal banyak-sedikitnya jumlah feromon adalah peranannya dalam memperluas ruang aktif, sehingga kemungkinan menarik lebih banyak jantan akan lebih besar.

Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis. Orientasi yang pertama berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di "atas" angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut "Schwink effect", dan berlaku baik pada ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas. Orientasi yang kedua berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek ("short-range").

Kupu-kupu ratu. Isyarat visual membantu ngengat jantan mengenali betinanya, seperti halnya pada kupu-kupu ratu (Danaus gilippus berenice). Perilaku kawinnya merupakan pertukaran isyarat yang sangat intens antara jantan dan betina, seperti dijelaskan oleh Lincoln dan Van Zandt-Bower dari Amherst College, Massachussetts.

Kupu-kupu jantan memiliki alat tubuh yang disebut rambut pensil yang merupakan sekumpulan tonjolan tipis dan halus seperti rambut pada ujung abdomen. Bila kupu jantan melihat betina terbang, segera dikejarnya dan didahului, kemudian rambut pensilnya dikibas-kibaskan di depan kepala betinanya, terutama pada antenna.Pliske dan Eisner mengamati bahwa rambut pensil ini mengandung partikel-partikel halus seperti debu, yang kemudian menempel pada antenna, namun bukan bahan ini yang bersifat memikat betina, melainkan suatu jenis bahan senyawa minyak yang disusulkan kemudian. Meinwald dkk. mendapatkan bahwa senyawa yang terkandung dalam minyak ini adalah keton dan suatu diol terpenoid cair.

Adanya rangsangan jantan pada antennanya menyebabkan betina hinggap, dan kemudian melipat sayapnya. Pada saat inilah jantan mencoba melakukan kopulasi. Penelitian Fliske dan Eisner selanjutnya menunjukkan, bahwa jantan yang dipelihara di lab dan diberi makan tumbuhan inang utama kupu-kupu ratu, lebih sering gagal berkopulasi, sementara yang dilepas di luar lab, dan bebas mencari makan, selalu berhasil melakukan mating. Pada pengamatan detail terbukti bahwa kupu-kupu biakan lab tidak memiliki senyawa keton pada feromonnya. Kupu-kupu yang hidup bebas ternyata mendapatkan prekursor keton dari tumbuhan inang lain yang hanya didatanginya dalam waktu sangat singkat, namun diperlukan agar dapat memperoleh sumber keton. Apabila pada feromon kupu biakan lab ditambahkan keton, ternyata bahwa mereka pun kemudian mampu melakukan mating dengan baik.

Feromon lain yang juga berperan penting antara lain adalah:

- feromon agregasi

- feromon alarm

- feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan.

Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya.

Feromon agregasi tersebar penggunaannya pada berbagai ordo seperti misalnya Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Familia yang paling banyak dipelajari adalah Scolytidae, Coleoptera; terutama pada kumbang kulit kayu; seperti genus Dendrocnotus dan Ips. Yang menarik, hampir semua feromon agregasi kumbang kulit kayu adalah monoterpen yang secara rumus bangun mirip dengan jenis yang dihasilkan oleh pohon inangnya. Reaksi agregasi merupakan tanggapan terhadap campuran molekul serupa yang saling menunjang efektivitas masing-masing. Komponen molekul serupa semacam itu membentuk suatu kerja kimia yang disebut sinergistik. Masing-masing senyawa sinergis mungkin cukup efektif sebagai molekul tunggal, tetapi lebih efektif jika bahan tersebut bercampur, jauh lebih efektif dibanding sekadar jumlah total efektivitas masing-masing.

Feromon Alarm merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya, dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi.

Wilson dan Bosert, ahli serangga sosial terutama semut, menduga bahwa bahan feromon alarm harus menghasilkan penanda yang bersifat lokal, jelas dan pendek/singkat. Feromon harus menyebar dengan cepat untuk dapat mengkoordinir terbentuknya pertahanan koloni dan harus segera lenyap agar tidak memunculkan tanda bahaya yang keliru. Agar dapat dilacak dengan mudah, ruang aktifnya harus sempit. Pada semut misalnya, feromon ini bahan utamanya adalah senyawa 4-metil-3-heptanon dan dikeluarkan melalui kelenjar mandibula. Jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan, isi kelenjar mandibulanya akan menyebar mencapai radius ruang aktif sekitar 6 cm dalam 13 detik, dan jika dibiarkan meluas, dalam 35 detik ruang aktif ini akan hilang. Semut pekerja lain yang mendeteksi feromon ini oleh karenanya akan menambahkan feromonnya sendiri sehingga keberadaan ruang aktifnya dapat bertahan lebih lama. Feromon alarm bersifat sangat volatil, dan kebanyakan memiliki berat molekul rendah, dengan rantai karbon 12 atau kurang. Senyawa dari kelenjar mandibula umumnya mengandung gugus keton atau aldehid, sedang yang berasal dari kelenjar Dufour (di dekat sengat) berupa hidrokarbon. Banyak di antaranya yang toksik dan rasanya tak enak, sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai senyawa pertahanan diri.

Peneliti dari Inggris (Bradshaw, Baker dan Howse) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 33 jenis senyawa volatil jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan. Dari jumlah itu ada empat jenis senyawa yang merupakan feromon alarm, dan masing memiliki volatilitas yang berbeda, mulai dari heksanal (yang sangat volatil) sampai 2-butil-2-oktenal (yang kurang volatil). Mekanisme kerjanya dapat digambarkan dengan suatu lingkaran konsentris, yang pada bagian tengahnya merupakan tempat melepas feromon. Dalam kondisi tak ada angin, bahan volatil feromon akan berdifusi ke segala arah dengan kecepatan yang berbeda karena volatilitasnya berbeda. Dalam waktu singkat heksenal akan menempati ruang aktif terbesar, atau lingkaran konsentris terluar. Bila ada serangga memasuki wilayah ini, muncul perilaku khas karena memperoleh "peringatan". Begitu serangga menuju ke lingkaran berikutnya (heksanol), serangga pekerja akan terpikat ke arah sumber feromon. Pada wilayah terdalam, terdapat 2-butil-2-oktenal sebagai penanda perilaku menggigit, dan 3-undekanon sebagai penunjuk orientasi arah jarak pendek. Setelah bahan feromon menguap, maka pengaruh heksanal dan heksanol tidak ada lagi, tetapi pekerja yang sufdah berada di tengah akan menunjukkan perilaku agresif, menggigit. Jadi feromon alarm sebenarnya akan mengawali munculnya serangkaian perilaku yang polanya sudah tertentu.

Apakah feromon alarm khas spesies atau koloni ?

Dibanding dengan feromon seks, feromon alarm kurang spesifik. Sering terjadi komponen feromon yang sama dipergunakan oleh spesies pada genus yang sama, atau beberapa genera pada subfamili yang sama. Namun juga teramati adanya feromon alarm yang berbeda pada spesies yang memiliki kekerabatan dekat, seperti yang terjadi pada genus Myrmica. Terdapat empat spesies genus ini yang dijumpai pada habitat yang serupa di Inggris dan Belgia, memanfaatkan komponen yang sama tetapi dengan proporsi senyawa yang berbeda. Akibatnya masing-masing spesies memiliki "dialek" yang berbeda.

Feromon penjejak/trail pheromone.

Karena baik makanan dan habitat bersifat terbatas, dibutuhkan penanda/pembatas wilayah dan penjejak agar penggunaan sumberdaya dapat dilakukan secara efisien. Banyak jenis makanan yang ukuran atau jumlahnya terbatas, sehingga perlu diberi tanda agar tidak dimanfaatkan individu lain. Ngengat parasitoid banyak yang menggunakan feromon penanda pada waktu meletakkan telur ke dalam tubuh inangnya. Lalat buah apel menandai tiap buah yang ditelurinya. Setelah telur dikeluarkan, serangga betina akan menyeret ovipositornya sepanjang permukaan buah untuk menyebarkan feromon penanda. Ukuran penanda tersebut disesuaikan dengan kebutuhan anakannya dari sejak menetas sampai menjadi imago.

Sebetulnya amat mudah melacak keberadaan feromon penjejak atau trail pheromone, karena dapat ditandai misalnya dari iring-iringan semut atau rayap yang mengikuti jalur tertentu. Yang sulit adalah mengidentifikasi dan mengisolasi bahannya. Jumlah senyawa feromon ini yang telah dideteksi belum genap duapuluh. Salah satunya, neokambrene A, adalah suatu terpen kompleks yang dipergunakan oleh rayap sebagai feromon jejak, kemudian terdapat sejenis senyawa pirazin yang dipergunakan oleh beberapa spesies anggota familia Myrmicinae. Setidaknya pada semut-semut ini feromon jejak tersebut tidak khas spesies. Feromon ini diproduksi oleh kelenjar racun, yang dibantu oleh sekresi volatil dari kelenjar Dufour. Komponen dari kelenjar yang terakhir ini berfungsi sebagai penarik perhatian, dan diketahui ternyata merupakan senyawa yang khas spesies. Jadi oleh adanya senyawa kelenjar Dufour suatu jejak feromon akan menjadi khas untuk suatu spesies tertentu.

Feromon Primer

Feromon primer bekerja mempengaruhi kondisi fisiologis serangga yang menerimanya. Pada umumnya diduga bahwa pengaruh feromon primer bekerja melalui sistem endokrin, artinya feromon ini mempengaruhi kelenjar endokrin, selanjutnya hormon dari kelenjar endokrin ini langsung mempengaruhi kondisi fisiologi serangga. Primer dijumpai pada serangga subsosial dan sosial, yang memungkinkan terjadinya perangsangan oleh satu individu kepada individu yang lain.

Kebanyakan feromon primer mempengaruhi kapasitas reproduksi. Sejenis feromon primer dari belalang kembara jantan dipergunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan pradewasa baik jantan maupun betina. Kumbang ulat hongkong jantan dan betina mampu mengeluarkan bahan yang mempercepat kemasakan telur serta merangsang aspek reproduksi kumbang betina muda lainnya. Bahan ratu lebah madu menghambat pertumbuhan ovarium lebah pekerja. Belalang kembara memiliki feromon primer yang efeknya mempengaruhi sifat soliter sehingga berubah menjadi sifat gregarius.

Allomon

Beberapa jenis serangga tidak disukai predator karena rasa-nya tidak enak. Rasa ini timbul karena adanya bahan kimia yang berbau busuk dan berasa tajam, suatu cara yang umum dipakai oleh hewan maupun tumbuhan untuk menjaga diri dari serangan musuhnya. Bentuk paling sederhana dari perilaku mempertahankan diri dengan bahan khemis adalah memuntahkan isi perut (regurgitasi) serangga kepada penyerangnya, seperti yang dilakukan kebanyakan belalang. Bahan khemis ini berasal dari tumbuhan yang dimakan belalang, seperti juga yang dilakukan oleh larva lalat kayu pada pohon pinus. Resin terpenoid pohon pinus disimpan dalam dua kantong di dalam perut depan (foregut). Jika diserang semut atau laba-laba, larva ini mengangkat kepalanya, meregurgitasi cairan resin, dan "meludahkannya" kepada si penyerang. Resin pohon pinus (badam) penuh dengan bahan yang tidak disukai burung serta predator lainnya.

Allomon ada yang memang telah terkandung dalam darah serangga, ada pula yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin. Kebanyakan serangga yang rasanya tak enak berpenampilan aposematik (berwarna mencolok untuk memperingatkan jasad lain), sehingga predator dapat segera mengetahui dari penampilannya bahwa mangsa yang dikejarnya beracun. Sebagai contoh kupu-kupu ratu memiliki pola warna sayap jingga dan hitam yang amat mencolok. Jika suatu allomon terdapat di dalam darah, cara keluarnya dapat terjadi dengan cara pendarahan setempat, atau autohaemorrhage. Darah menitik ke luar dari sambungan sendi seperti pada kaki, antena atau antara dua sklerit sewaktu serangga diserang lawannya. Kumbang blister yang dipegang dengan kasar akan mengeluarkan droplet darah dari antara sambungan kakinya, demikian pula kumbang macan. Darah kumbang blister mengandung kantaridin (cantharidin), sedang darah kumbang macan mengandung alkaloid prekoksinelin (precoccineline). Kedua bahan ini disintesis sendiri oleh masing-masing serangga, tidak diseskueterasi dari tanaman.

Alomon yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin disimpan dari hasil seskuiterasi (pengumpulan bahan metabolit sekunder tanaman) dalam suatu kantung kutikula. Seringkali kantung ini merupakan tempat penyimpanan yang berada di dekat kelenjar eksokrin. Isi tampungan ini kemudian disapukan pada bagian yang diserang predator, misalnya pada sejenis larva familia Papilionidae. bahan yang terkandung di dalamnya adalah asam iso-butirat dan 2-metil butirat. Bahan ini juga dapat meleleh ke luar dari mulut kelenjar ekskresi, sebagaimana halnya pada kumbang blister. Selain itu juga dapat disemprotkan dengan keras dalam bentuk kabut. Acapkali kelenjar penyemprotnya dapat diarahkan dengan amat tepat kepada sasaran/jasad lain yang mengganggu, baik itu vertebrata maupun invertebrata. Pemanfaatan allomon berhubungan dengan kebutuhan serangga untuk tetap bertahan hidup, sehingga dalam evolusinya kemampuan sintesisnya juga ditentukan oleh diet/jenis makanan serangga yang bersangkutan. Umumnya kemampuan memecah metabolit sekunder pada suatu tanaman yang mungkin berbahaya untuk jasad yang tidak spesifik pada tanaman tersebut diikuti oleh kemampuan mensekuestrasi bahan metabolit sekunder tersebut sebagai allomon. Dengan demikian dapat terjadi pemanfaatan ganda : jasad pengganggu berfungsi sebagai spesialis pada tumbuhan tertentu (mengurangi jumlah herbivora yang memanfaatkan tumbuhan tersebut); serta mendapat keuntungan dengan memperoleh bahan allomon.

Koleksi dan Identifikasi Feromon

Usaha koleksi bahan feromon baru berhasil dengan baik pada tahun 1959, ketika Butenandt menemukan bombikol, bahan feromon seks pada ngengat sutera (Bombyx mori). Pada saat itu dibutuhkan sekurangnya 10.000 ekor ngengat untuk memperoleh sejumlah kecil (beberapa ml saja) bahan feromon agar dapat diidentifikasi kandungan bahan kimianya. Sebelum tahun 1972, usaha koleksi bahan feromon memang memerlukan kerja yang amat tekun, karena diperlukan sejumlah besar individu serangga baik utuh maupun potongan bagian tertentu, untuk kemudian diekstraksi menggunakan pelarut khusus. Oleh kemajuan instrumentasi dan teknik fisikokimia saat ini, terutama dengan adanya GLC kapiler, Spektrometri Massa ion selektif, dan juga HPLC; metode deteksi dapat dilakukan dengan sensitivitas dan resolusi (daya pisah) yang amat tinggi tanpa harus menggunakan jumlah serangga yang amat besar.

Golub dan Weatherston (1984) menjelaskan bahwa untuk keperluan keberhasilan suatu program PHT, penggunaan feromon harus didahului dengan (a) penentuan secara tepat kandungan molekul campuran bahan feromon yang disekresikan oleh serangga, (b) penentuan laju produksi dan pelepasan campuran tersebut oleh serangga, dan (c) pengembangan suatu sistem pelepasan feromon terkendali untuk digunakan dalam pemantauan, perangkapan massal, dan program pengendalian menggunakan pelepasan feromon. Ketiga hal tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai efektivitas bahan yang telah diformulasi jika digunakan dalam kondisi normal.

Pada dasarnya terdapat dua metode koleksi dan kuantifikasi feromon, yaitu metode ekstraksi pelarut dan metode koleks efluvial (langsung dari udara). Telah dibuktikan oleh Silk dkk. (1980) bahwa jenis bahan yang terdapat pada kelenjar yang menghasilkan feromon dan komposisi bahan yang dilepas ke udara bisa saja berbeda. Dalam menentukan laju pelepasan feromon dari suatu sumber buatan, maka kedua metode tersebut harus diterapkan agar imbang.

Koleksi dari Sumber yang Berupa Serangga

Ekstraksi

1. Pemilihan pelarut.

Jacobson (1972) menyatakan bahwa dikhlorometan, heksan, dan dietil-eter merupakan pelarut yang banyak dipilih karena cukup volatil untuk ekstrak agar dapat terkonsentrasi tanpa perlu memanaskannya pada suhu tinggi. Tambahan lagi dikhlorometan tidak mudah terbakar. Namun ada peneliti yang lebih memilih etanol 95%, yang lebih baik daripada dikhlorometan, dietil-eter, heksan, khloroform, benzen dan aseton. Juga karena etanol 95% merupakan pelarut lemak yang jelek, maka hasilnya mengandung kontaminan lipid yang lebih sedikit (Brady & Smithwick, 1968). Karbon disulfida juga pernah dicoba, dan berhasil baik karena mudah menguapkannya dan tak responsif terhadap detektor FID (sehingga deteksi bahan feromonnya lebih mudah), tetapi penggunaannya dalam jumlah banyak terbatasi karena sifatnya yang mudah terbakar dan toksik. Namun dengan semakin pekanya sistem deteksi yang sekarang ada, penggunaannya dapat dipertimbangkan kembali karena bahan ini tidak perlu lagi dibutuhkan dalam jumlah banyak.

2. Metode ekstraksi.

Dua faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah letak kelenjar penghasil feromon dan ukuran serangganya. Cara yang pernah ditempuh Bartelt (1982) misalnya, adalah dengan meletakkan kokon serangga Pikonema alaskensis dalam kapsul gelatin; serangga betina yang muncul tiga sampai lima hari kemudian dibekukan, dan baik serangga, kokon maupun gelatinnya secara terpisah dicuci menggunakan heksan.

Beberapa serangga yang ekstraksinya langsung dilakukan pada individu utuh adalah caplak Amblyomma americanum (L.), ulat kacang Anticarsia gemmatalis (Hubner), ngengat India Plodia interpunctella (Hubner), ulat daun tembakau Heliothis virescens (F.), dan lalat zaitun Dacus oleae (Gmelin). Dengan menggunakan pelarut organik (benzen, eter), serangga direndam selama beberapa menit sampai beberapa jam, bahkan ada pula yang dihomogenisasikan. Sesudah itu dilakukan filtrasi dan penguapan pelarut, dengan prosedur yang berbeda menurut kondisi bahan feromonnya (atau dugaan kandungan bahan feromon yang paling dominan). Diperlukan pengujian beberapa metode atau modifikasinya agar dapat diperoleh jumlah feromon optimal dari ekstraksi cara ini.

Untuk Lepidoptera, metode yang paling banyak digunakan adalah mengekstrak potongan abdomen bagian posterior, tempat terletaknya kelenjar feromon seks. Pada Cadra cautella (Walker) misalnya, dicoba tiga cara ekstraksi yang berbeda terhadap ujung abdomen, dan ternyata ketiganya tidak berbeda nyata. Cara pertama dilakukan dengan memotong ujung abdomen 25 ekor ngengat betina berumur dua hari (periode optimal menjelang perkawinan) dan merendamnya pada campuran heksan: eter (1:1) pada - 220C selama tepat 24 jam; cara kedua dengan homogenisasi ujung abdomen menggunakan penggiling jaringan dari gelas setelah didinginkan -220C dan selanjutnya diekstrak residunya sesudah sentrifugasi selama 30 detik dengan 1 dan 0,5 ml pelarut; dan cara ketiga menggunakan sonikasi ujung abdomen setelah pendinginan -220C selama 24 jam menggunakan Bronwill Biosonik III yang diberi ujung mikrotip.

Pada tahun 1970an beberapa peneliti kemudian telah mampu mengembangkan teknik yang hanya membutuhkan sekelumit pelarut agar ekstraksinya dapat berlangsung cepat. engan menggunakan 0,2 - 0,5 ml eter dalam waktu 1-2 detik jumlah feromon yang dikumpulkan sudah cukup untuk analisis kuantitatif dengan menggunakan GLC tanpa proses "clean-up". Pada beberapa jenis hama gudang, dilakukan anestesi menggunakan eter atau pendinginan, kelenjar feromon diperas dengan tekanan jari pada abdomen, dan ujung abdomen dicelup ke dalam eter selama 1 - 2 detik. Sesudah dikeringkan dengan MgSO4, larutan dikonsentrasikan dengan aliran nitrogen kecepatan sedang menjadi sekitar 3 - 5 μl. Jika kemudian suatu volume tertentu (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat, senyawa alkoholnya, dan (z)-9-tetradesen-1-il asetat dikonsentrasikan menjadi 5 μl dan dicampurkan ke dalam alat penyuntik sebelum analisis GC, akan dijumpai kehilangan bahan sebesar 50 - 90%, tanda bahwa di dalam bahan yang diekstraksi terdapat senyawa feromon (yang kemudian bereaksi dengan senyawa alkoholnya sehingga terbentuk senyawa netral tak terdeteksi). Kehilangan ini selanjutnya dapat dikoreksi dengan menambahkan jumlah tertentu standard internal bervolatilitas sama sebelum dikonsentrasikan.

Koleksi Langsung dari Udara

Untuk koleksi bahan volatil di udara yang berasal dari serangga, harus ditentukan dulu apakah akan dilakukan pada udara yang bergerak atau yang diam; menggunakan teknik koleksi yang mana (kriogenik atau adsorpsi, misalnya); serta ukuran, susunan serta konstruksi bahan yang dipergunakan menyusun alat koleksi.

1. Aliran udara pasif

Dengan mengalirkan udara pada betina belum kawin ngengat spesies Choristoneura fumiferana yang ditempatkan dalam kantong plastik, diperoleh bahan aktif feromon. Agar yang terekstraksi bukanlah kontaminan atau bahan plastiknya, ada peneliti yang menggunakan misalnya bejana Mason berisikan kain kasa untuk tempat hinggap ngengat, dan kemudian dimasukkan kl. 100 ekor ngengat betina yang baru muncul dari pupa. Sesudah dua hari ngengat diambil dan bejana serta kain kasa dibasuh menggunakan eter. Metode yang sama juga dipergunakan untuk mengukur laju pelepasan feromon ngengat Plodia interpunctella. Ngengat betina sejumlah 20 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas bertutup volume 500 ml pada suhu 250C selama satu jam. Sesudah ngengat dikeluarkan dengan cepat, tabung dibasuh menggunakan 5 - 6 ml eter anhidrus, larutan disaring dan diuapkan dengan N2 pada suhu 30o C sampai tinggal 3 – 5 μl, dihisap ke dalam jarum suntik dan dianalisis. Efisiensi perolehan feromon diukur dengan menempatkan volume tertentu (nanogram) (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat dan senyawa alkoholnya pada ujung spatula baja tahan karat ke dalam tabung gelas bertutup selama satu jam (dibiarkan menguap sendiri). Ternyata bahwa 80% senyawa asetat dan 40% senyawa alkohol dapat diperoleh kembali sesudah tabung gelas dibasuh dengan pelarut organik.

Berbagai teknik dan metode yang ada telah mampu dipergunakan koleksi bahan feromon sampai pada tingkat nanogram. Teknik-teknik tersebut berguna tidak hanya untuk identifikasi saja, melainkan juga untuk mengukur laju emisi, kemampuan perolehan kembali (recovery) termasuk penyempurnaannya seperti pengaruh jumlah pembasuhan, pendinginan tabung, variasi cara koleksi dll, juga isolasi dan elusidasi bahan pada kecoa, serta laju pelepasan dan produksi feromon misalnya pada Plodia dan Dacus oleae. Teknik pengambilan langsung dari udara secara pasif (passive airflow) masih dianggap kurang memadai jika dilakukan di lingkungan secara langsung sehingga perlu dicari cara koleksi yang lebih memadai.

2. Aliran udara bergerak

a. Perangkap kriogenik. Kriogenik adalah teknik yang dilakukan pada suhu amat rendah. Dalam melakukan sampling di lapangan, suhu ini diperlukan karena pada suhu nitrogen cair (-196oC) semua senyawa organik yang umumnya terdapat di udara dapat disingkirkan. Pada sistem kriogenik, masukan udara diperoleh dengan cara membuat ruang hampa di dalam perangkap melalui kondensasi udara yang masuk. Dengan demikian ada tiga faktor yang menentukan laju masuknya udara: luas permukaan untuk kondensasi udara, perbedaan suhu antara bahan pendingin dan titik cair udara, dan ukuran lubang masukan udara.

Metode semacam ini mulapertama diterapkan oleh Browne dkk. (1974). Ada tiga teknik perangkap kriogenik yang mereka kembangkan untuk memperoleh feromon volatil kumbang kulit kayu. Seperti terlihat pada gambar 1, kayu yang ada kumbangnya diletakkan pada kotak yang akan segera dialiri udara jika tabung penampung dalam hal ini tabung erlenmeyer 750 ml ditempatkan pada tabung nitrogen cair bermulut lebar. Agar tidak terjadi pembentukan es dan penyumbatan mulut tabung, maka leher tabung penampung harus berada di atas tabung nitrogen cair.

Bersama dengan semakin bertambahnya isi Erlenmeyer oleh udara cair mengandung bahan feromon, luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran panas berkurang, dan lajur aliran udara juga berkurang. Sewaktu alirannya turun sampai di bawah laju yang diinginkan, tabung koleksi di dalam nitrogen cair dipindahkan ke freezer suhu rendah (-50 oC), sehingga udara dibiarkan menguap pelan-pelan sementara bahan feromonnya tertinggal. Agar pelaksanannya dapat dilakukan dalam waktu lebih lama (umumnya hanya 4 - 6 jam), Erlenmeyer diganti dengan tabung berbentuk U yang salah satu ujungnya dihubungkan pada mesin hampa. Dengan cara ini penguapan udara dapat berlangsung sampai 48 - 96 jam. Browne et al. kemudian menyempurnakan disainnya dengan menempatkan tabung U di dalam tabung/bejana lain secara khusus sehingga kemampuan pertukaran panas pada lubang masuk menjadi lebih besar dan evaporasi udara cair pada lubang keluar berlangsung pelan-pelan. Ujung lubang keluar ini juga dilengkapi dengan alat pengatur aliran sehingga dapat dipergunakan mengatur tekanan hampa sehingga terjadi suatu "kancing cairan". Selain itu disain ini juga menghemat nitrogen cair.

b. Perangkap Dingin.

Teknik ini dipergunakan dalam isolasi dan identifikasi feromon serangga dari beberapa ordo seperti misalnya Orthoptera, Coleoptera, Diptera dan Lepidoptera. Pada tahun 1971 teknik yang berkembang sejak awal tahun 1960an ini juga dicoba untuk analisis kuantitatif.

Salah satu teknik yang dipergunakan misalnya adalah pada Trichoplusia ni. Nitrogen dengan laju 150 ml/menit dialirkan selama 10 menit pada serangga betina individual yang ujung abdomennya ditonjolkan menggunakan forsep untuk gigi, atau di atas sejumlah mikrogram feromon sintetik yang diletakkan pada cakram tembaga. Aliran gas kemudian dilewatkan melalui sejumlah kecil karbon disulfida yang ditempatkan dalam tabung U pada suhu -70 oC hasil dari penangas es kering-aseton. Sesudah dikoleksi, permukaan gelas tabung koleksi dibasuh dengan pelarut, dan larutan karbon disulfida yang terkumpul (kl. 3 ml) diuapkan menjadi 100 μl dengan menggunakan penangas air. Selanjutnya diambil alikuot 10 μl untuk dianalisis menggunakan GLC dan secara kuantitatif diperbandingkan pada kurva detektor untuk berbagai konsentrasi bahan (Z)-7-dodesen-1-il asetat.

Cara ini secara umum masih memungkinkan kehilangan perolehan. Pada teknik di atas misalnya, terjadi kehilangan 34% karena transfer dan prosedur konsentrasi yang kurang tepat. Demikian juga pemasangan cakram tembaga dapat menjadi sumber galat, karena volume pelarut yang dipergunakan tidak dilaporkan. Beberapa peneliti perlu menggunakan faktor koreksi, sehingga banyak yang menyatakan bahwa metode ini memang kurang begitu dapat dipercaya.

c. Penjerap Resin dan Adsorben Lainnya.

Untuk koleksi feromon serangga, penjerap resin (resin adsorbent) juga telah dipergunakan sebagaimana yang umum dilakukan pada koleksi polutan air, analisis aroma, dan kajian metabolit cairan tubuh. Kapasitas adsoben bahan padat khromatografi telah dipelajari dengan sangat ekstensif, dengan dicari kesesuaiannya terhadap senyawa tertentu, meski bahan adsorben seperti itu umumnya mampu berfungsi sebagai adsorben untuk berbagai bahan organik volatil.

Kelebihan teknik ini terutama adalah tidak dibutuhkannya suhu rendah, luas permukaan yang besar karena bentuknya tepung, dan tersedia berbagai jenis untuk koleksi bahan volatil yang berbeda. Salah satu kekurangannya adalah, pada suhu yang terlalu tinggi, ada kemungkinan bahan volatil mengalami pirolisis. Pada kondisi kita di Indonesia, kendala teknik menggunakan penjerap resin adalah harganya yang mahal, sehingga prosesnya pun menjadi mahal. Sekali lagi, pemahaman khusus mengenai kimia adsorben amat dibutuhkan agar diperoleh bahan yang paling efisien.

By: Winoto
Sumber :http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=317&tkt=4


Mengapa Serangga Tertarik Dengan Cahaya

Gara-gara ada serangga kecil (entah apa namanya) yang nempel dimonitor dan akhirnya membuat saya penasaran untuk mencari jawaban kenapa sih serangga tersebut selalu nempel di monitor walaupun sudah diusir berkali-kali. Ternyata.. serangga yang aktif dimalam hari memang menggunakan cahaya sebagai alat bantu navigasi, contohnya cahaya bulan dan bintang, karena penglihatan mereka memang buruk, dan ini merupakan proses alami yang telah terjadi sejak dahulu kala, maka begitu melihat ada cahaya sudah menjadi insting dan refleks mereka kali jadi pengennya nempel mulu..tapi kalo cahaya lilin kayaknya gak mau deket2 sih.. ntar kebakar donk.. huhehehehe.. nah reaksi serangga terhadap cahaya itu disebut dengan phototaxis. O ya.. intensitas dan warna cahaya juga katanya bisa mempengaruhi serangga-serannga apa saja yang mau nempel didekatnya.. gak percaya?? coba aja.. huheheehe..

sumber : http://dwimurdianto.blogspot.com/2007_02_01_archive.html