by Monica Tan
China is both the world's largest producer and consumer of rice. It's the nation's most important food crop, which is why the method in which it is grown is a question of vital importance: in regards to both human health and the health of the environment. Unfortunately two great threats to the stability of rice growing in China: the over use of chemicals and pesticides and the ever dark, ominous shadow of genetic engineering, impelled Greenpeace to commission five ecological agricultural experts to research better ways to grow rice in China. View the report here (in Chinese).
The Chinese government's funding for research and development of genetically engineered food exceeds that of eco-agriculture by thirty times. It is money that we believe would be better used to research, promote and support sustainable agriculture in China. Take a look at these five examples of simple, eco-friendly methods to grow rice in China that are good for the Earth, and therefore good for China:
Duck rice farming
Rice duck farming
In rice duck farming ducks are raised on rice paddies, and eat pests and weeds. This means the farmer doesn't have to use earth and water-ravaging pesticides and herbicides. The ducks also churn up the water with their feet helping to get more oxygen to the rice plants roots, thus helping the plants to grow stronger and taller. The duck's droppings are also an excellent, natural fertilizer for the rice plants. Rice duck farming is already an Asia-wide success story.
Fish rice farming
Rice fish farming
For over 1,200 years in Southern China farmers have been employing rice fish farming, which sees fish being raised in rice paddies. Recent scientific research from Zhejiang University has shown that the rice fish system requires 68% less pesticide use and 24% less chemical fertilizer use than the monoculture rice system. This method has been designated a "globally important agriculture heritage system" by the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO).
Inter-cropping in China
Inter-copping system
The Yunnan inter-copping rice model has shown a reduction in crop disease through the practice of the practice of growing two or more crops in proximity (inter-cropping). This technique is effective at reducing loss from rice blast disease, a particularly destructive fungus that causes damage on panicles and leaves, killing them before rice grains form. This system has proven so popular among farmers that by 2004 it had been adopted on more than 2,000,000 hectares of farmland across China.
Light trap in China
Light trap
A light trap is a device used at night in the rice field to collect and control insects such as leafhoppers, planthoppers and stem borers. This practice has proven effective for over 40% of rice planthoppers and over 30% of rice leaf folder.
Yunnan girl in rice field
Integrated pest management (IPM)
Integrated Pest Management (IPM) is an effective approach to pest management that requires less agrichemical use in the rice field. To achieve this IPM programs use current, comprehensive information on the life cycles of pests and detailed insight into their interaction with the environment. For example, there is an IPM program village in Yunnan province which conducted an integrated approach (including rice ducks, light traps, rice bio-diversity) and resulted in a 30% reduction in pesticide use, and an increase in crop yield by 6%.
http://www.greenpeace.org/eastasia/news/blog/how-ancient-chinese-farmers-had-it-right-all-/blog/38534/
LOVEGREEN
This blog is about agriculture, insects control, pest control, bugs, flowers, ect.
Thursday, December 29, 2011
Wednesday, October 7, 2009
Budidaya Sirsak
Deskripsi
Kandungan Buah sirsak tersusun atas 67% daging buah yang dapat dimakan, 20% kulit, 8,5% biji, dan 4%.poros tengah buah, dari berat keseluruhan buah. Kandungan gulanya sekitar 68% dari seluruh bagian padat daging buah. Sirsak merupakan sumber vitamin B yang lumayan jumlahnya (0,07 mg/100 g daging buah) dan vitamin C (20 mg/ 100 g daging buah), dan sedikit sampai sedang kandungan kalsium dan fosfornya. Sifat yang paling disenangi orang dari sirsak ini ialah harumnya dan aromanya yang sangat menggiurkan. Daging buahnya mirip dengan 'cherimoya', warna putihnya yang murni itu sangat stabil, walaupun sedang diolah. Sirsak berbentuk perdu atau pohon kecil, tingginya 3-10 m, tajuknya cocok dengan model arsitektur Troll, bercabang hampir mulai dari pangkalnya. Daun berbentuk lonjong-bundar telur sungsang, berukuran (8-16) cm x (3-7) cm, ujungnya lancip pendek; tangkai daun panjangnya 3-7 mm. Bunga-bunganya teratur, 1-2 kuntum berada pada perbungaan yang pendek, berwarna kuning kehijauan; gagang bunga panjangnya sampai 2,5 cm; daun kelopaknya 3 helai, berbentuk segi tiga, tidak rontok, panjangnya sekitar 4 mm; daun mahkota 6 helai dalam 2 baris, 3 lembar daun mahkota terluar berbentuk bundar telur melebar, berukuran (3-5) cm x (2-4) cm; 3 lembar daun mahkota dalam berukuran (2-4) cm x (1,5-3,5) cm, pangkalnya bertaji pendek; benang sarinya banyak, tersusun atas barisan-barisan, menempel di torus yang terangkat, panjangnya 4-5 mm, tangkai sarinya berbulu lebat; bakal buahnya banyak, berbulu lebat sekali, kemudian gundul. Buahnya yang matang, yang merupakan buah semu, berbentuk bulat telur melebar atau mendekati jorong, berukuran (10-20) cm x (15-35) cm, berwarna hijau tua dan tertutup oleh duri-duri lunak yang panjangnya sampai 6 mm, daging buahnya yang berwarna putih itu berdaging dan penuh dengan sari buah. Bijinya banyak, berbentuk bulat telur sungsang, berukuran 2 cm x 1 cm, berwarna coklat kehitaman, berkilap.
Manfaat
Sirsak dapat dimakan dalam keadaan segar sebagai pencuci mulut jika matang betul, atau dicampur dengan es krim atau susu dijadikan minuman yang lezat, seperti dilakukan di Jawa, Kuba, dan sebagian dari Amerika. Akan tetapi, buah ini lebih sering dimakan dalam bentuk 'puree' setelah daging buahnya diperas dan disaring. Juga dapat dijadikan selai buah, sari buah (setelah dicampur gula), nektar atau sirop. Juga digunakan dalam pembuatan eskrim. Di Indonesia dodol sirsak dibuat dengan cara daging buahnya dipanaskan dalam air dan diberi gula sampai campuran itu mengental. Di Filipina, buah sirsak muda beserta bijinya yang masih lunak digunakan sebagai sayuran. Buah tua yang masih keras dapat dibuat kue yang lezat rasa dan aromanya.
Syarat Tumbuh
Sirsak merupakan jenis yang paling tidak bandel tumbuhnya di antara jenis-jenis Annona lainnya dan memerlukan iklim tropik yang hangat dan lembap. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian sampai 1000 m dpl. dan meluas sampai ke 25° LS pada lahan yang ternaung. Pertumbuhan dan pembungaannya sangat terhambat oleh turunnya udara dingin, serta hujan salju yang ringan saja sudah dapat membunuh pohon sirsak. Musim kering dapat mendorong luruhnya daun dan menyelaraskan pertumbuhan memanjang d an pembungaan dalam batas-batas tertentu. Hasil panen dapat lebih tinggi pada cuaca demikian, asalkan kelembapan yang tinggi berlangsung selama periode pembentukan buah; ada indikasi bahwa untuk Annona spp. lainnya, balk kelembapan yang sangat tinggi maupun sangat rendah, dapat merusak pembentukan buah. Jika kelembapan cenderung rendah, dianjurkan untuk memberikan naungan agar transpirasi dapat dikurangi (juga karena pohon sirsak dangkal perakarannya). Sebagian besar tipe tanah cocok untuk tanaman ini, tetapi drainasenya harus balk, sebab pohon sirsak tidak tahan terhadap genangan air.
Pedoman Budidaya
Perbanyakan dan penanaman Pohon sirsak dapat diperbanyak dengan klon, terutama melalui berbagai teknik penempelan dan penyambungan pada batang bawah yang diperbanyak dengan semai, seperti dipraktekkan di berbagai wilayah Amerika (misalnya di Kolumbia dan Venezuela). Akan tetapi, umumnya sirsak ditumbuhkan dari benih. Semai dapat dipakai, sebab populasi yang tumbuh cukup seragam dan benih dari kultivar manis, misalnya, pada umumnya sifatnya sama dengan induknya, serta karena fase yuananya hanya berlangsung 2-4 tahun. Benih dapat ditanam langsung di ladang atau disemaikan dahulu di persemaian. Setelah 2030 hari, 85-90% dapat berkecambah dan semai itu dapat dipindahkan ke lapangan setelah 6-8 bulan. Pemotongan separuh daun dan kadang-kadang perompesan daun diperlukan untuk memindahtanamkan semai yang sebelumnya tidak ditumbuhkan dahulu dalam wadah. Jarak tanam di kebun buah sebaiknya antara 3 m x 4 m dan 4 m x 6 m. Berkat kecilnya ukuran pohon dan cepatnya berbuah, sirsak dapat ditanam sebagai tanaman sela di antara pohon buah-buahan yang lebih besar, seperti mangga, avokad, dan kecapi. Jika tanaman utamanya membutuhkan ruangan, pohon sirsak dapat ditebang.
Pemeliharaan
Lahan di sekitar pangkal pohon sirsak sebaiknya terbebas dari gulma atau ditutup oleh mulsa untuk menghindari dehidrasi dari perakarannya yang dangkal itu pada musim kemarau. Sirsak toleran terhadap keadaan tanah yang kering, tetapi pohonnya akan meluruhkan terlalu banyak daun jika mengalami kekeringan yang berkepanjangan; dalam situasi demikian pohon sirsak akan tertolong oleh pengairan tambahan. Pemupukan dengan pupuk kandang dan/atau NPK dalam dosis kecil beberapa kali dalam setahun dapat mendorong pertumbuhan dan pembuahan, tetapi tidak diperoleh data kuantitatif mengenai kebutuhan pupuk atau banyaknya pupuk daun yang dianjurkan. Pohon sirsak biasanya dapat mencapai bentuk yang memuaskan, tetapi dalam beberapa kasus diperlukan usaha sedini mungkin membatasi pohon itu hanya berbatang tunggal, yaitu dengan cara memotong cabang-cabang yang akan menyainginya. Tunas air (water sprout), cabang-cabang yang tumpang-tindih dan bergerombol juga harus dibuang. Kurang baiknya penyerbukan kiranya merupakan faktor pembatas utama dalam jumlah hasil, dan untuk menghilangkan kendala ini dianjurkan untuk penyerbukan dengan tangan. Akan tetapi, hal ini jarang dilakukan dan hanya dapat berlangsung jika ada masa pembungaan yang jelas.
Hama dan Penyakit
Selama vigor pohon dapat dipertahankan, kerusakan yang serius disebabkan oleh penyakit dan hama umumnya terbatas hanya pada buah. Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides merupakan penyakit utama pada sirsak di daerah yang lembap. Produksi buah sirsak dapat menyusut sekali karena bunga dan buahnya terserang penyakit sehingga menjadi busuk atau keriput; selanjutnya penyakit ini juga mengganggu buah, daun, batang, dan pematangan buah. Di Hindia Barat ada anjuran agar diadakan seleksi terhadap kemampuan pembentukan buah dalam kondisi lingkungan yang lembap. Jika terjadi musim kemarau barangkali ada kemungkinan untuk mempercepat pembungaan dan pembentukan buah agar terhindar dari periode kelembapan yang tinggi. Penyakit busuk coklat batang (Corticium sp.) menyerang pohon sirsak dan menyebabkan busuknya cabang dan mungkin membunuh pohonnya juga. Pembersihan yang sebaik-baiknya menjelang akhir musim kemarau, termasuk pembakaran bagian-bagian pohon yang terserang, dapat menolong untuk menahan penyakit pada musim hujan berikutnya. Kutu perisai seringkali menyerang pohon sirsak, dan kutu bubuk dapat bergerombol banyak sekali pada buah sirsak. Jika semut dapat diberantas dengan baik, musuh-musuh alaminya akan mampu menanggulangi hama ini. Buah dapat dibungkus untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh lalat buah. Annonaepestis bengalella adalah penggerek buah sirsak, dan ngengat ini tersebar dari India sampai ke Jawa dan Filipina. Ulat besar dari kupu-kupu Meganotron rufescens dan Papilio agamemnon sering sekali dijumpai memakan daun sirsak. Kerusakan yang disebatkan oleh ketiga jenis hama ini umumnya belum sampai mengharuskan dilakukannya pemberantasan secara kimiawi.
Panen dan Pasca Panen
Buah sirsak sebaiknya dipanen setelah tua benar tetapi masih keras. Buah ini dianggap tua jika duri-durinya sudah saling berjauhan dan warna kulitnya yang tadinya hijau berkilat telah berubah menjadi hijau kusam atau hijau kekuning-kuningan. Jika dipetik terlalu awal, kualitas buah akan jelek. Sebaliknya jika buah dibiarkan matang di pohon, seringkali buah itu dimakan oleh kelelawar sebelum jatuh ke tanah. Di daerah yang iklimnya tidak mengenal musim, buah sirsak dapat dijumpai sepanjang tahun, tetapi biasanya pohon sirsak memiliki 1-3 kali masa panen, dengan puncaknya yang nyata pada masa musim utama. Buah harus dipetik secara selektif; dipotong gagangnya dengan pisau yang tajam atau gunting setek, kemudian disimpan di dalam keranjang bambu yang telah dialasi dengan bahan yang empuk, seperti jerami.
Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=171
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Kandungan Buah sirsak tersusun atas 67% daging buah yang dapat dimakan, 20% kulit, 8,5% biji, dan 4%.poros tengah buah, dari berat keseluruhan buah. Kandungan gulanya sekitar 68% dari seluruh bagian padat daging buah. Sirsak merupakan sumber vitamin B yang lumayan jumlahnya (0,07 mg/100 g daging buah) dan vitamin C (20 mg/ 100 g daging buah), dan sedikit sampai sedang kandungan kalsium dan fosfornya. Sifat yang paling disenangi orang dari sirsak ini ialah harumnya dan aromanya yang sangat menggiurkan. Daging buahnya mirip dengan 'cherimoya', warna putihnya yang murni itu sangat stabil, walaupun sedang diolah. Sirsak berbentuk perdu atau pohon kecil, tingginya 3-10 m, tajuknya cocok dengan model arsitektur Troll, bercabang hampir mulai dari pangkalnya. Daun berbentuk lonjong-bundar telur sungsang, berukuran (8-16) cm x (3-7) cm, ujungnya lancip pendek; tangkai daun panjangnya 3-7 mm. Bunga-bunganya teratur, 1-2 kuntum berada pada perbungaan yang pendek, berwarna kuning kehijauan; gagang bunga panjangnya sampai 2,5 cm; daun kelopaknya 3 helai, berbentuk segi tiga, tidak rontok, panjangnya sekitar 4 mm; daun mahkota 6 helai dalam 2 baris, 3 lembar daun mahkota terluar berbentuk bundar telur melebar, berukuran (3-5) cm x (2-4) cm; 3 lembar daun mahkota dalam berukuran (2-4) cm x (1,5-3,5) cm, pangkalnya bertaji pendek; benang sarinya banyak, tersusun atas barisan-barisan, menempel di torus yang terangkat, panjangnya 4-5 mm, tangkai sarinya berbulu lebat; bakal buahnya banyak, berbulu lebat sekali, kemudian gundul. Buahnya yang matang, yang merupakan buah semu, berbentuk bulat telur melebar atau mendekati jorong, berukuran (10-20) cm x (15-35) cm, berwarna hijau tua dan tertutup oleh duri-duri lunak yang panjangnya sampai 6 mm, daging buahnya yang berwarna putih itu berdaging dan penuh dengan sari buah. Bijinya banyak, berbentuk bulat telur sungsang, berukuran 2 cm x 1 cm, berwarna coklat kehitaman, berkilap.
Manfaat
Sirsak dapat dimakan dalam keadaan segar sebagai pencuci mulut jika matang betul, atau dicampur dengan es krim atau susu dijadikan minuman yang lezat, seperti dilakukan di Jawa, Kuba, dan sebagian dari Amerika. Akan tetapi, buah ini lebih sering dimakan dalam bentuk 'puree' setelah daging buahnya diperas dan disaring. Juga dapat dijadikan selai buah, sari buah (setelah dicampur gula), nektar atau sirop. Juga digunakan dalam pembuatan eskrim. Di Indonesia dodol sirsak dibuat dengan cara daging buahnya dipanaskan dalam air dan diberi gula sampai campuran itu mengental. Di Filipina, buah sirsak muda beserta bijinya yang masih lunak digunakan sebagai sayuran. Buah tua yang masih keras dapat dibuat kue yang lezat rasa dan aromanya.
Syarat Tumbuh
Sirsak merupakan jenis yang paling tidak bandel tumbuhnya di antara jenis-jenis Annona lainnya dan memerlukan iklim tropik yang hangat dan lembap. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian sampai 1000 m dpl. dan meluas sampai ke 25° LS pada lahan yang ternaung. Pertumbuhan dan pembungaannya sangat terhambat oleh turunnya udara dingin, serta hujan salju yang ringan saja sudah dapat membunuh pohon sirsak. Musim kering dapat mendorong luruhnya daun dan menyelaraskan pertumbuhan memanjang d an pembungaan dalam batas-batas tertentu. Hasil panen dapat lebih tinggi pada cuaca demikian, asalkan kelembapan yang tinggi berlangsung selama periode pembentukan buah; ada indikasi bahwa untuk Annona spp. lainnya, balk kelembapan yang sangat tinggi maupun sangat rendah, dapat merusak pembentukan buah. Jika kelembapan cenderung rendah, dianjurkan untuk memberikan naungan agar transpirasi dapat dikurangi (juga karena pohon sirsak dangkal perakarannya). Sebagian besar tipe tanah cocok untuk tanaman ini, tetapi drainasenya harus balk, sebab pohon sirsak tidak tahan terhadap genangan air.
Pedoman Budidaya
Perbanyakan dan penanaman Pohon sirsak dapat diperbanyak dengan klon, terutama melalui berbagai teknik penempelan dan penyambungan pada batang bawah yang diperbanyak dengan semai, seperti dipraktekkan di berbagai wilayah Amerika (misalnya di Kolumbia dan Venezuela). Akan tetapi, umumnya sirsak ditumbuhkan dari benih. Semai dapat dipakai, sebab populasi yang tumbuh cukup seragam dan benih dari kultivar manis, misalnya, pada umumnya sifatnya sama dengan induknya, serta karena fase yuananya hanya berlangsung 2-4 tahun. Benih dapat ditanam langsung di ladang atau disemaikan dahulu di persemaian. Setelah 2030 hari, 85-90% dapat berkecambah dan semai itu dapat dipindahkan ke lapangan setelah 6-8 bulan. Pemotongan separuh daun dan kadang-kadang perompesan daun diperlukan untuk memindahtanamkan semai yang sebelumnya tidak ditumbuhkan dahulu dalam wadah. Jarak tanam di kebun buah sebaiknya antara 3 m x 4 m dan 4 m x 6 m. Berkat kecilnya ukuran pohon dan cepatnya berbuah, sirsak dapat ditanam sebagai tanaman sela di antara pohon buah-buahan yang lebih besar, seperti mangga, avokad, dan kecapi. Jika tanaman utamanya membutuhkan ruangan, pohon sirsak dapat ditebang.
Pemeliharaan
Lahan di sekitar pangkal pohon sirsak sebaiknya terbebas dari gulma atau ditutup oleh mulsa untuk menghindari dehidrasi dari perakarannya yang dangkal itu pada musim kemarau. Sirsak toleran terhadap keadaan tanah yang kering, tetapi pohonnya akan meluruhkan terlalu banyak daun jika mengalami kekeringan yang berkepanjangan; dalam situasi demikian pohon sirsak akan tertolong oleh pengairan tambahan. Pemupukan dengan pupuk kandang dan/atau NPK dalam dosis kecil beberapa kali dalam setahun dapat mendorong pertumbuhan dan pembuahan, tetapi tidak diperoleh data kuantitatif mengenai kebutuhan pupuk atau banyaknya pupuk daun yang dianjurkan. Pohon sirsak biasanya dapat mencapai bentuk yang memuaskan, tetapi dalam beberapa kasus diperlukan usaha sedini mungkin membatasi pohon itu hanya berbatang tunggal, yaitu dengan cara memotong cabang-cabang yang akan menyainginya. Tunas air (water sprout), cabang-cabang yang tumpang-tindih dan bergerombol juga harus dibuang. Kurang baiknya penyerbukan kiranya merupakan faktor pembatas utama dalam jumlah hasil, dan untuk menghilangkan kendala ini dianjurkan untuk penyerbukan dengan tangan. Akan tetapi, hal ini jarang dilakukan dan hanya dapat berlangsung jika ada masa pembungaan yang jelas.
Hama dan Penyakit
Selama vigor pohon dapat dipertahankan, kerusakan yang serius disebabkan oleh penyakit dan hama umumnya terbatas hanya pada buah. Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides merupakan penyakit utama pada sirsak di daerah yang lembap. Produksi buah sirsak dapat menyusut sekali karena bunga dan buahnya terserang penyakit sehingga menjadi busuk atau keriput; selanjutnya penyakit ini juga mengganggu buah, daun, batang, dan pematangan buah. Di Hindia Barat ada anjuran agar diadakan seleksi terhadap kemampuan pembentukan buah dalam kondisi lingkungan yang lembap. Jika terjadi musim kemarau barangkali ada kemungkinan untuk mempercepat pembungaan dan pembentukan buah agar terhindar dari periode kelembapan yang tinggi. Penyakit busuk coklat batang (Corticium sp.) menyerang pohon sirsak dan menyebabkan busuknya cabang dan mungkin membunuh pohonnya juga. Pembersihan yang sebaik-baiknya menjelang akhir musim kemarau, termasuk pembakaran bagian-bagian pohon yang terserang, dapat menolong untuk menahan penyakit pada musim hujan berikutnya. Kutu perisai seringkali menyerang pohon sirsak, dan kutu bubuk dapat bergerombol banyak sekali pada buah sirsak. Jika semut dapat diberantas dengan baik, musuh-musuh alaminya akan mampu menanggulangi hama ini. Buah dapat dibungkus untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh lalat buah. Annonaepestis bengalella adalah penggerek buah sirsak, dan ngengat ini tersebar dari India sampai ke Jawa dan Filipina. Ulat besar dari kupu-kupu Meganotron rufescens dan Papilio agamemnon sering sekali dijumpai memakan daun sirsak. Kerusakan yang disebatkan oleh ketiga jenis hama ini umumnya belum sampai mengharuskan dilakukannya pemberantasan secara kimiawi.
Panen dan Pasca Panen
Buah sirsak sebaiknya dipanen setelah tua benar tetapi masih keras. Buah ini dianggap tua jika duri-durinya sudah saling berjauhan dan warna kulitnya yang tadinya hijau berkilat telah berubah menjadi hijau kusam atau hijau kekuning-kuningan. Jika dipetik terlalu awal, kualitas buah akan jelek. Sebaliknya jika buah dibiarkan matang di pohon, seringkali buah itu dimakan oleh kelelawar sebelum jatuh ke tanah. Di daerah yang iklimnya tidak mengenal musim, buah sirsak dapat dijumpai sepanjang tahun, tetapi biasanya pohon sirsak memiliki 1-3 kali masa panen, dengan puncaknya yang nyata pada masa musim utama. Buah harus dipetik secara selektif; dipotong gagangnya dengan pisau yang tajam atau gunting setek, kemudian disimpan di dalam keranjang bambu yang telah dialasi dengan bahan yang empuk, seperti jerami.
Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=171
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Wednesday, April 8, 2009
Budidaya Tanaman Kopi
DARI PENGGEMBALA KAMBING HINGGA MINUMAN KHUSUS BANGSAWAN
Kopi memiliki istilah yang berbeda-beda. Pada masyarakat Indonesia lebih akrab dengan sebutan kopi, di Inggris dikenal coffee, Prancis menyebutnya cafe, Jerman menjulukinya kaffee, dalam bahasa Arab dinamakan quahwa.
Sejarah kopi diawali dari cerita seorang penggembala kambing Abessynia yang menemukan tumbuhan kopi sewaktu ia menggembala, hingga menjadi minuman bergengsi para aristokrat di Eropa. Bahkan oleh Bethoven menghitung sebanyak 60 biji kopi untuk setiap cangkir kopi yang mau dinikmatinya.
Sejak penemuan tumbuhan kopi tersebut kemudian seorang sufi Ali Bin Omar dari Yaman menjadikan rebusan kopi sebagai obat penyakit kulit dan obat-obatan lainnya. Sehingga pada waktu itu kopi mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat negeri itu. Dari khasiat kopi tersebut akhirnya membawa kemakmuran bagi pemilik-pemilik kebun kopi, pengusaha kedai kopi, pedagang kopi, eksportir kopi, dan pemerintah di berbagai belahan dunia tanaman minuman beraroma khas itu ditanam.
Banyaknya khasiat yang didapat dari kopi, sehingga penyebarannya cukup pesat terutama di benua Eropa. Di Salerno, Italia, kopi telah dikenal pada abad kesepuluh. Setelah itu berlanjut dengan pembukaan kedai kopi bernama Botega Delcafe pada tahun 1645 yang kemudian menjadi pusat pertemuan cerdik pandai di negara pizza tersebut.
Di Kota London, coffee house pertama dibuka di George Yard di Lombat Sreet dan di Paris, kedai kopi dibuka pada tahun 1671 di Saint Germain Fair. Sedangkan di Amerika, kopi dijadikan sebagai minuman nasional di Amerika Serikat dan menjadi menu utama di meja-meja makan pagi. Meskipun perkembangan kopi begitu pesat pada abad-abad itu tetapi orang-orang Arab telah lebih dulu memonopolinya sebagai tanaman, dan mereka hanya mengekspor kopi yang sudah digoreng atau digonseng.
Sedangkan penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 sekitar tahun 1646 yang mendapatkan biji arabika mocca dari Arabia ke Jakarta. Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi.
Kemudian kopi arabika menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan, melalui sistem tanam paksa. Setelah menyebar ke Pulau Jawa, tanaman kopi kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Pulau Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Timor. "Bahkan kopi arabika yang semula ditanam di Brasil (negara produsen kopi terbesar di dunia) konon bibitnnya berasal dari Pulau Jawa," ungkap Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Timur Mudrig Yahmadi.
Dalam sejarahnya, Indonesia bahkan pernah menjadi produsen kopi arabika terbesar di dunia, walaupun tidak lama akibat munculnya serangan hama karat daun. Serangan hama yang disebabkan cendawan hemileia vastatrix tersebut menyerang tanaman kopi di Indonesia sekitar abad ke-19.
Meskipun demikian, sisa tanaman kopi arabika masih dijumpai di kantong penghasil kopi di Indonesia, antara lain dataran tinggi Ijen (Jatim), tanah tinggi Toraja (Sulsel), serta lereng bagian atas pegunungan Bukit Barisan (Sumatera), seperti Mandailing, Lintong dan Sidikalang (Sumut) serta dataran tinggi Gayo (DI Aceh).
Perjalanan kopi bukan begitu saja menjadi salah satu minuman dunia yang disenangi. Di Italia, pendeta-pendeta melarang umatnya minum kopi dan menyatakan bahwa minuman kopi itu dimasukkan sultan-sultan muslim untuk menggantikan anggur. Bukan hanya melarang tetapi juga menghukum orang-orang yang minum kopi.
Bahkan, tahun 1656, Wazir dan Kofri, Kerajaan Usmaniyah, mengeluarkan larangan untuk membuka kedai-kedai kopi. Bukan hanya melarang kopi, tetapi menghukum orang-orang yang minum kopi dengan hukuman cambuk pada pelanggaran pertama. Tetapi bertahun-tahun kemudian, pelarangan minum kopi di Timur Tengah lambat-laun terkikis, sehingga jika seorang suami melarang istrinya minum kopi, si istri tersebut bisa memakai alasan ini untuk minta cerai.
Di Swedia, konon Raja Gustaff ke II pernah menjatuhkan hukuman terhadap dua orang saudara kembar. Yang satu hanya dizinkan meminum kopi dan yang satu lagi diizinkan hanya teh. Siapa yang terlebih dahulu mati, maka dialah yang bersalah dalam satu tindak pidana yang dituduhkan terhadap mereka. Ternyata yang mati duluan adalah peminum teh pada usia 83 tahun.
Sejak itu orang-orang Swedia berbalik menjadi peminum kopi paling fanatik yang ada di dunia, sehingga sampai sekarang negara-negara Skandinavia kini peminum kopi tertinggi per kapita di dunia. Setiap orang bisa menghabiskan 12 kg lebih per tahun dibanding dengan di Indonesia yang hanya 0,6 kg per tahun.
Begitu bergengsinya minuman kopi ini, hingga Raja Frederick Agung dari Rusia pada tahun 1777 hanya memperbolehkan kalangan atas atau kelas bangsawan saja untuk menunjukkan kearistokratan kopi.
Tanaman kopi merupakan salah satu genus dari Famili Rubiaceae. Genus kopi ini memiliki sekitar 100 spesies, namun dari 100 spesies itu hanya 2 jenis yang memiliki nilai ekonomis, yaitu Robusta dan Arabika.
Areal Tanam
Kopi arabika (Coffea arabica)
Daerah dengan ketinggian 700-1700 m dpl, suhu 16-20 ° C, beriklim kering 3 bulan/tahun secara berturut-turut. Kopi arabika peka terhadap penyakit HV, terutama bila ditanam di daerah kurang dari 500 dpl.
Kopi Robusta
Merupakan keturunan beberapa spesies kopi, terutama Coffea canephora. Tumbuh baik di ketinggian 400-700 m dpl, temperatur 21-24° C dengan bulan kering 3-4 bulan secara berturut-turut dan 3-4 kali hujan kiriman. Kualitas buah lebih rendah dari Arabika dan Liberika.
BUDIDAYA
Dalam memilih penanaman bibit kopi ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan antara lain;
· Produktivitas
· Kualitas (aroma dan rasa amat berpengaruh terutama pada jenis Arabika)
· Ketahanan terhadap gangguan hama/penyakit
Mengenai budidaya kopi Arabika dan Robusta dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
Kopi Arabika
Untuk keperluan budidaya kopi Arabika biasanya dilakukan dengan cara membuat bibit generatif (bibit semai), dan kopi Arabika tidak memerlukan cara vegetatif, kecuali untuk kebutuhan penelitian.
Kopi Robusta
Sedangkan kopi robusta budidayanya biasa dilakukan secara dengan cara mengembangkan bibit vegetatif yaitu bibit cangkokan, sambungan, okulasi dan stek. Bibit yang diperoleh dari pihak lain, sebaiknya tidak langsung ditanam agar bibit tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
Pemupukan
Pupuk yang digunakan pada umumnya harus mengandung unsur-unsur Nitrogen, Phospat dan Kalium dalam jumlah yang cukup banyak dan unsur-unsur mikro lainnya yang diberikan dalam jumlah kecil. Ketiga jenis tersebut di pasaran dijual sebagai pupuk Urea atau Za (Sumber N), Triple Super Phospat (TSP) dan KCl. Selain penggunaan pupuk tunggal, di pasaran juga tersedia penggunaan pupuk majemuk. Pupuk tersebut berbentuk tablet atau briket di dalamnya, selain mengandung unsur NPK, juga unsur-unsur mikro. Selain pupuk an organik tersebut, tanaman kopi sebaiknya juga dipupuk dengan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos.
Pemberian pupuk buatan dilakukan 2 kali per tahun yaitu pada awal dan akhir musim hujan, dengan meletakkan pupuk tersebut di dalam tanah (sekitar 10 - 20 cm dari permukaan tanah) dan disebarkan di sekeliling tanaman. Adapun pemberian pupuk kandang hanya dilakukan Tahun 0 (penanaman pertama)
Hama dan Penyakit
Hama yang menyerang tanaman kopi antara lain:
1. Bubuk buah kopi (Stephanoderes hampei)
2. Penggerek cabang cokelat dan hitam (Cylobarus morigerus dan Compactus)
3. Kutu dompolan (Pseudococcus citri)
4. Kutu lamtoro (Ferrisia virgata)
5. Nematoda Akar
6. Kutu loncat (Heteropsylla sp.)
Penyakit yang biasa menyerang tanaman kopi antara lain:
1. Penyakit Karat daun
2. Jamur upas
3. Akar hitam dan akar cokelat
4. Bercak daun
5. Mati ujung
6. Embun jelaga
7. Bercak hitam pada buah
Pola Produksi Kopi
1. Periode Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
Selama 3 tahun pertama, tanaman kopi biasanya belum menghasilkan atau dikenal sebagai periode TBM. Tanaman baru menghasilkan biasanya pada tahun ke empat dan diperkirakan dapat berumur sampai 30 tahun apabila dirawat dengan baik.
2. Periode Tanaman Menghasilkan (TM)
Tanaman kopi termasuk apa yang dinamakan "tanaman hari pendek" (short day plant), yaitu tanaman yang membentuk bakal bunga dalam periode hari pendek (yang dimaksud dengan hari pendek adalah siang hari yang panjangnya kurang dari 12 jam). Pola panen tanaman ini di Indonesia dapat dilihat pada masa panen.
3. Pola Panen
Pola panen tanaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain cuaca, musim dan terutama curah hujan. Masa panen di daerah basah dimana hujan turun sepanjang tahun biasanya lebih lama, dibandingkan masa panen di daerah kering yang produksi tertinggi pada masa puncak panen.
4. Fluktuasi Panen
Tanaman kopi termasuk tanaman yang mengalami satu kali masa panen selama dua tahun. Penurunan produksi tanaman ini yang merupakan konsekuensi sifat alaminya dapat mencapai 20 hingga 60 %, tergantung pada kondisi kesehatan tanaman tersebut. Dengan fenomena seperti ini, jika kita ingin membandingkan produktifitasnya dari satu masa panen ke masa panen yang lain, maka harus diambil tiap 2 tahun, sebagai contoh, membandingkan produksi panen pada tahun ke-4 dengan tahun ke-6, dan bukan membandingkannya dengan tahun ke-5. Dengan metode ini kita mendapatkan produksi rerata per dua tahun, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesimpulan yang menyesatkan.
Proses Produksi
Pada tanaman kopi Arabika dan Robusta dikenal dua macam proses, antara lain:
1. Proses kering
Proses kering amat sederhana dan tidak memerlukan peralatan khusus. Setelah dipetik, kopi biasanya dikeringkan dengan cara dijemur selama 10 sampai 15 hari. Baru setelah itu kopi tersebut dikupas. Hampir semua kopi Arabika dari Brazil melalui proses kering, dan kualitasnya tetap bagus karena kopi yang dipetik biasanya yang telah betul-betul matang (berwarna merah).
2. Proses basah
Pada proses basah diperlukan peralatan khusus dan hanya bisa memproses biji kopi yang telah benar-benar matang. Proses jenis ini biasanya dilakukan oleh perkebunan besar dengan peralatan yang memadai termasuk mekanik yang cakap sehingga mereka tidak tergantung pada cahaya matahari untuk mengeringkan kopi tersebut.
Rendemen dan Kualitas Biji Kopi
1. Rendemen biji kopi.
Rendemen biji kopi menurut jenisnya adalah:
· Arabika: 16-18 %
· Robusta: 20-30 %
Ini berarti bahwa setiap 100 kg biji kopi segar, untuk kopi Arabika akan menghasilkan 16-18 kilogram kopi (dengan kandungan air 12%), sedangkan untuk kopi Robusta, akan menghasilkan sekitar 20-30 kilogram kopi.
2. Ukuran biji kopi.
Ukuran biji kopi merupakan salah satu elemen penting dari kualitasnya yang berpengaruh pada harga jual kopi tersebut. Beberapa faktror yang mempengaruhi ukuran biji tersebut antara lain:
· Varietas tanaman yang ditanam
· Cuaca
· Ketinggian daerah tanam
· Kesuburan tanah
· Sistem pemotongan saat panen
3. Varietas tanaman
Pada jenis kopi Robusta (Coffea canephora) dikenal varietas Robusta yang menghasilkan biji lebih besar dibandingkan varietas lain seperti varietas kouilou atau ugandae . Diantara varietas-varietas tersebut ada yang menghasilkan biji yang lebih besar seperti BP 24 dan yang menghasilkan biji lebih kecil seperti BP 288.
sumber :
http://www.tapanulicoffee.com/hama_dan_penyakit.htm
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Kopi memiliki istilah yang berbeda-beda. Pada masyarakat Indonesia lebih akrab dengan sebutan kopi, di Inggris dikenal coffee, Prancis menyebutnya cafe, Jerman menjulukinya kaffee, dalam bahasa Arab dinamakan quahwa.
Sejarah kopi diawali dari cerita seorang penggembala kambing Abessynia yang menemukan tumbuhan kopi sewaktu ia menggembala, hingga menjadi minuman bergengsi para aristokrat di Eropa. Bahkan oleh Bethoven menghitung sebanyak 60 biji kopi untuk setiap cangkir kopi yang mau dinikmatinya.
Sejak penemuan tumbuhan kopi tersebut kemudian seorang sufi Ali Bin Omar dari Yaman menjadikan rebusan kopi sebagai obat penyakit kulit dan obat-obatan lainnya. Sehingga pada waktu itu kopi mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat negeri itu. Dari khasiat kopi tersebut akhirnya membawa kemakmuran bagi pemilik-pemilik kebun kopi, pengusaha kedai kopi, pedagang kopi, eksportir kopi, dan pemerintah di berbagai belahan dunia tanaman minuman beraroma khas itu ditanam.
Banyaknya khasiat yang didapat dari kopi, sehingga penyebarannya cukup pesat terutama di benua Eropa. Di Salerno, Italia, kopi telah dikenal pada abad kesepuluh. Setelah itu berlanjut dengan pembukaan kedai kopi bernama Botega Delcafe pada tahun 1645 yang kemudian menjadi pusat pertemuan cerdik pandai di negara pizza tersebut.
Di Kota London, coffee house pertama dibuka di George Yard di Lombat Sreet dan di Paris, kedai kopi dibuka pada tahun 1671 di Saint Germain Fair. Sedangkan di Amerika, kopi dijadikan sebagai minuman nasional di Amerika Serikat dan menjadi menu utama di meja-meja makan pagi. Meskipun perkembangan kopi begitu pesat pada abad-abad itu tetapi orang-orang Arab telah lebih dulu memonopolinya sebagai tanaman, dan mereka hanya mengekspor kopi yang sudah digoreng atau digonseng.
Sedangkan penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 sekitar tahun 1646 yang mendapatkan biji arabika mocca dari Arabia ke Jakarta. Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi.
Kemudian kopi arabika menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan, melalui sistem tanam paksa. Setelah menyebar ke Pulau Jawa, tanaman kopi kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Pulau Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Timor. "Bahkan kopi arabika yang semula ditanam di Brasil (negara produsen kopi terbesar di dunia) konon bibitnnya berasal dari Pulau Jawa," ungkap Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Timur Mudrig Yahmadi.
Dalam sejarahnya, Indonesia bahkan pernah menjadi produsen kopi arabika terbesar di dunia, walaupun tidak lama akibat munculnya serangan hama karat daun. Serangan hama yang disebabkan cendawan hemileia vastatrix tersebut menyerang tanaman kopi di Indonesia sekitar abad ke-19.
Meskipun demikian, sisa tanaman kopi arabika masih dijumpai di kantong penghasil kopi di Indonesia, antara lain dataran tinggi Ijen (Jatim), tanah tinggi Toraja (Sulsel), serta lereng bagian atas pegunungan Bukit Barisan (Sumatera), seperti Mandailing, Lintong dan Sidikalang (Sumut) serta dataran tinggi Gayo (DI Aceh).
Perjalanan kopi bukan begitu saja menjadi salah satu minuman dunia yang disenangi. Di Italia, pendeta-pendeta melarang umatnya minum kopi dan menyatakan bahwa minuman kopi itu dimasukkan sultan-sultan muslim untuk menggantikan anggur. Bukan hanya melarang tetapi juga menghukum orang-orang yang minum kopi.
Bahkan, tahun 1656, Wazir dan Kofri, Kerajaan Usmaniyah, mengeluarkan larangan untuk membuka kedai-kedai kopi. Bukan hanya melarang kopi, tetapi menghukum orang-orang yang minum kopi dengan hukuman cambuk pada pelanggaran pertama. Tetapi bertahun-tahun kemudian, pelarangan minum kopi di Timur Tengah lambat-laun terkikis, sehingga jika seorang suami melarang istrinya minum kopi, si istri tersebut bisa memakai alasan ini untuk minta cerai.
Di Swedia, konon Raja Gustaff ke II pernah menjatuhkan hukuman terhadap dua orang saudara kembar. Yang satu hanya dizinkan meminum kopi dan yang satu lagi diizinkan hanya teh. Siapa yang terlebih dahulu mati, maka dialah yang bersalah dalam satu tindak pidana yang dituduhkan terhadap mereka. Ternyata yang mati duluan adalah peminum teh pada usia 83 tahun.
Sejak itu orang-orang Swedia berbalik menjadi peminum kopi paling fanatik yang ada di dunia, sehingga sampai sekarang negara-negara Skandinavia kini peminum kopi tertinggi per kapita di dunia. Setiap orang bisa menghabiskan 12 kg lebih per tahun dibanding dengan di Indonesia yang hanya 0,6 kg per tahun.
Begitu bergengsinya minuman kopi ini, hingga Raja Frederick Agung dari Rusia pada tahun 1777 hanya memperbolehkan kalangan atas atau kelas bangsawan saja untuk menunjukkan kearistokratan kopi.
Tanaman kopi merupakan salah satu genus dari Famili Rubiaceae. Genus kopi ini memiliki sekitar 100 spesies, namun dari 100 spesies itu hanya 2 jenis yang memiliki nilai ekonomis, yaitu Robusta dan Arabika.
Areal Tanam
Kopi arabika (Coffea arabica)
Daerah dengan ketinggian 700-1700 m dpl, suhu 16-20 ° C, beriklim kering 3 bulan/tahun secara berturut-turut. Kopi arabika peka terhadap penyakit HV, terutama bila ditanam di daerah kurang dari 500 dpl.
Kopi Robusta
Merupakan keturunan beberapa spesies kopi, terutama Coffea canephora. Tumbuh baik di ketinggian 400-700 m dpl, temperatur 21-24° C dengan bulan kering 3-4 bulan secara berturut-turut dan 3-4 kali hujan kiriman. Kualitas buah lebih rendah dari Arabika dan Liberika.
BUDIDAYA
Dalam memilih penanaman bibit kopi ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan antara lain;
· Produktivitas
· Kualitas (aroma dan rasa amat berpengaruh terutama pada jenis Arabika)
· Ketahanan terhadap gangguan hama/penyakit
Mengenai budidaya kopi Arabika dan Robusta dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
Kopi Arabika
Untuk keperluan budidaya kopi Arabika biasanya dilakukan dengan cara membuat bibit generatif (bibit semai), dan kopi Arabika tidak memerlukan cara vegetatif, kecuali untuk kebutuhan penelitian.
Kopi Robusta
Sedangkan kopi robusta budidayanya biasa dilakukan secara dengan cara mengembangkan bibit vegetatif yaitu bibit cangkokan, sambungan, okulasi dan stek. Bibit yang diperoleh dari pihak lain, sebaiknya tidak langsung ditanam agar bibit tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
Pemupukan
Pupuk yang digunakan pada umumnya harus mengandung unsur-unsur Nitrogen, Phospat dan Kalium dalam jumlah yang cukup banyak dan unsur-unsur mikro lainnya yang diberikan dalam jumlah kecil. Ketiga jenis tersebut di pasaran dijual sebagai pupuk Urea atau Za (Sumber N), Triple Super Phospat (TSP) dan KCl. Selain penggunaan pupuk tunggal, di pasaran juga tersedia penggunaan pupuk majemuk. Pupuk tersebut berbentuk tablet atau briket di dalamnya, selain mengandung unsur NPK, juga unsur-unsur mikro. Selain pupuk an organik tersebut, tanaman kopi sebaiknya juga dipupuk dengan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos.
Pemberian pupuk buatan dilakukan 2 kali per tahun yaitu pada awal dan akhir musim hujan, dengan meletakkan pupuk tersebut di dalam tanah (sekitar 10 - 20 cm dari permukaan tanah) dan disebarkan di sekeliling tanaman. Adapun pemberian pupuk kandang hanya dilakukan Tahun 0 (penanaman pertama)
Hama dan Penyakit
Hama yang menyerang tanaman kopi antara lain:
1. Bubuk buah kopi (Stephanoderes hampei)
2. Penggerek cabang cokelat dan hitam (Cylobarus morigerus dan Compactus)
3. Kutu dompolan (Pseudococcus citri)
4. Kutu lamtoro (Ferrisia virgata)
5. Nematoda Akar
6. Kutu loncat (Heteropsylla sp.)
Penyakit yang biasa menyerang tanaman kopi antara lain:
1. Penyakit Karat daun
2. Jamur upas
3. Akar hitam dan akar cokelat
4. Bercak daun
5. Mati ujung
6. Embun jelaga
7. Bercak hitam pada buah
Pola Produksi Kopi
1. Periode Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
Selama 3 tahun pertama, tanaman kopi biasanya belum menghasilkan atau dikenal sebagai periode TBM. Tanaman baru menghasilkan biasanya pada tahun ke empat dan diperkirakan dapat berumur sampai 30 tahun apabila dirawat dengan baik.
2. Periode Tanaman Menghasilkan (TM)
Tanaman kopi termasuk apa yang dinamakan "tanaman hari pendek" (short day plant), yaitu tanaman yang membentuk bakal bunga dalam periode hari pendek (yang dimaksud dengan hari pendek adalah siang hari yang panjangnya kurang dari 12 jam). Pola panen tanaman ini di Indonesia dapat dilihat pada masa panen.
3. Pola Panen
Pola panen tanaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain cuaca, musim dan terutama curah hujan. Masa panen di daerah basah dimana hujan turun sepanjang tahun biasanya lebih lama, dibandingkan masa panen di daerah kering yang produksi tertinggi pada masa puncak panen.
4. Fluktuasi Panen
Tanaman kopi termasuk tanaman yang mengalami satu kali masa panen selama dua tahun. Penurunan produksi tanaman ini yang merupakan konsekuensi sifat alaminya dapat mencapai 20 hingga 60 %, tergantung pada kondisi kesehatan tanaman tersebut. Dengan fenomena seperti ini, jika kita ingin membandingkan produktifitasnya dari satu masa panen ke masa panen yang lain, maka harus diambil tiap 2 tahun, sebagai contoh, membandingkan produksi panen pada tahun ke-4 dengan tahun ke-6, dan bukan membandingkannya dengan tahun ke-5. Dengan metode ini kita mendapatkan produksi rerata per dua tahun, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesimpulan yang menyesatkan.
Proses Produksi
Pada tanaman kopi Arabika dan Robusta dikenal dua macam proses, antara lain:
1. Proses kering
Proses kering amat sederhana dan tidak memerlukan peralatan khusus. Setelah dipetik, kopi biasanya dikeringkan dengan cara dijemur selama 10 sampai 15 hari. Baru setelah itu kopi tersebut dikupas. Hampir semua kopi Arabika dari Brazil melalui proses kering, dan kualitasnya tetap bagus karena kopi yang dipetik biasanya yang telah betul-betul matang (berwarna merah).
2. Proses basah
Pada proses basah diperlukan peralatan khusus dan hanya bisa memproses biji kopi yang telah benar-benar matang. Proses jenis ini biasanya dilakukan oleh perkebunan besar dengan peralatan yang memadai termasuk mekanik yang cakap sehingga mereka tidak tergantung pada cahaya matahari untuk mengeringkan kopi tersebut.
Rendemen dan Kualitas Biji Kopi
1. Rendemen biji kopi.
Rendemen biji kopi menurut jenisnya adalah:
· Arabika: 16-18 %
· Robusta: 20-30 %
Ini berarti bahwa setiap 100 kg biji kopi segar, untuk kopi Arabika akan menghasilkan 16-18 kilogram kopi (dengan kandungan air 12%), sedangkan untuk kopi Robusta, akan menghasilkan sekitar 20-30 kilogram kopi.
2. Ukuran biji kopi.
Ukuran biji kopi merupakan salah satu elemen penting dari kualitasnya yang berpengaruh pada harga jual kopi tersebut. Beberapa faktror yang mempengaruhi ukuran biji tersebut antara lain:
· Varietas tanaman yang ditanam
· Cuaca
· Ketinggian daerah tanam
· Kesuburan tanah
· Sistem pemotongan saat panen
3. Varietas tanaman
Pada jenis kopi Robusta (Coffea canephora) dikenal varietas Robusta yang menghasilkan biji lebih besar dibandingkan varietas lain seperti varietas kouilou atau ugandae . Diantara varietas-varietas tersebut ada yang menghasilkan biji yang lebih besar seperti BP 24 dan yang menghasilkan biji lebih kecil seperti BP 288.
sumber :
http://www.tapanulicoffee.com/hama_dan_penyakit.htm
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Monday, November 3, 2008
SISTEM SYARAF SERANGGA, HUBUNGANNYA DENGAN OTOT
Ada tiga sistem yang bekerja pada serangga :
*
1. CNS atau SSP (Central Nervous System, Susunan Syaraf Pusat)
*
2. PNS atau SST (Peripheral Nervous System atau sistem syaraf tepi)
*
3. Stomagastric System atau sistem stomagastrik
Sistem pertama terdiri atas otak (tepatnya, supraesofageal ganglion, ganglion diatas esofagus) dan korda saraf ventral (ventral nerve chord). Sistem kedua adalah sistem syaraf yang dipergunakan untuk menerima sinyal atau rangsang : khemoreseptor, mekanoreseptor, semua sensila, syaraf motorik yang dihubungkan ke otot atau kelenjar. Sedang sistem ketiga adalah sistem pada perut atau pencernaan, yang tidak dikendalikan oleh "keinginan" serangga (involuntary).
Sel-sel syaraf secara embriologis berasal dari sel-sel ektodermis, terjadi karena invaginasi (pelekukan) integumen, yang pada akhirnya menghasilkan neroblas. Untuk mempelajari trend evolusi korda syaraf (tali syaraf), para peneliti menggunakan ordo diptera, karena pada ordo ini dijumpai susunan syaraf dari yang primitif sampai yang ke kompleks. Sebagai misal, ganglion (simpul syaraf, jamak: ganglia) memiliki tendensi untuk semakin terkoordinasi dalam satu organ. Pada sistem syaraf diptera kompleks, ganglia tidak lagi dijumpai pada abdomen, tetapi semuanya mengumpul menjadi satu di bagian toraks.
Neuron, Sel syaraf
Susunan di atas disebut sebagai "neuron bipolar", sedang bentuk lainnya adalah "monopolar Neuron" seperti yang dijumpai pada SSP.
Neuron bipolar dengan demikian lebih banyak dipergunakan untuk menerima dan meneruskan rangsang, sementara yang monopolar dipergunakan untuk memproses rangsang dan selanjutnya diantisipasi sesuai dengan jenis rangsang.
Sinaps
merupakan hubungan antar serabut syaraf atau antara sel syaraf dengan sel-sel muskular (disebut sebagai neuromuscular junction). Bagian ini merupakan situs penting tepat bekerjanya insektisia, terutama insektisida syaraf. Karena struktur ini sangat fragile atau ringkih, maka dibutuhkan lapisan/selubung pelindung untuk proteksi bagian ini.
Ganglion
Merupakan kumpulan badan sel syaraf yang bekelompok membentuk bangunan yang disebut neuropile, dengan axon atau serabut syaraf menuju ke dan keluar dari bundel syaraf ini. Pada bagian anterior serangga tepat di atas esophagus, terletak ganglion utama yang berfungsi juga sebagai otak serangga. Ke arah lateral kiri dan kanan terdapat lobus opticus ("optic lobe") yang merupakan serabut konektif, untuk memberikan informasi mengenai cahaya. Dari otak juga terdapat syaraf-syaraf ke korpora alata dan korpora kardiaka, yang akan menyampaikan isyarat untuk melepas hormon kepada kedua organ/badan khusus tersebut.
Transmitansi atau rambatan syaraf, merupakan gerakan elektronik di dalam serabut, dan gerakan khemis antar serabut (apabila sinaps). Namun pun gerakan elektronik yang ada adalah karena perbedaan potensial unsur-unsur kimia, sehingga tetap juga merupakan proses elektrokimia. Banyak jenis transmiter syaraf yang dimanfaatkan ileh serangga (lihat hand-out bhs. Inggris). Oktoplamina, noradrenalin, serotonin, N-asetiltiramina, N-asetildopamina, andrenalin, histamina, asetilkholin, asam glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), 5-hidroksitripolamina (5-HT) adalah beberapa contoh nerotransmiter.
Pengukuran Nerotransmitasi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut perekam elektrofisiologis (electrophysiological recorder) seperti pada gambar pada hand-out (Fig. A-12) pada prinsipnya alat tersebut adalah CRT (Cathode Ray Tube, Tabung Sinar Katoda). Oscilloscope, yang dipergunakan mengukur arus listrik pada tingkat milivolt.
Ada dua jenis pengukuran yang dapat dilakukan:
- eksternal (external recording)
Apabila dilakukan perekaman eksternal, maka alat rekamnya demikian sensitif, perlu dilindungi dari gelombang radio agar tidak menimbulkan gangguan impedansi.
- internal (internal/intracellular recording)
Dipergunakan mikro elektroda, suatu tabung kapiler ultra tipis dengan ujung sangat tipis dan mampu menyentuh sel tulang.
Contoh pelaksanaannya adalah dalam mengukur kemampuan mata serangga dalam menerima kerlipan cahaya. Serangga mampu menangkap lebih banyak kerlip dibanding manusia, sampai sekitar 60 kerlip per detik (disebut sebagai Flicker Fusion Frequency atau 3 F). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikroelektroda yang ditusukkan pada mata majemuk dan selanjutnya dirangsang oleh strobo-light. Reaksi syaraf akan nampak pada grafik yang muncul dalam osiloskop.
Pengukuran yang lain adalah terhadap khemoreseptor yang terdapat pada labellum. Adanya gula, air, asam atau garam akan menyebabkan probosis dikeluarkan atau ditarik masuk. Setiap reseptor kimia memiliki keempat jenis tanggapan tersebut. Reseptor ini ditemukan juga pada tarsi, karena pegukuran pada tarsi menunjukkan gejala yang sama dengan pada labellum.
Dengan mengganti larutan yang terdapat di dalam tabung mikroelektroda gelas, dapat diketahui apakah suatu reseptor merupakan reseptor air, gula, garam, atau asam. Rangsang lain yang dapat dipergunakan mengecek suatu jenis reseptor adalah panas/dingin, gerak mekanis, cahaya, dan bahan kimia.
Proses awalan transmisi
Membran axon/sel syaraf ternyata bersifat semi permiabel, seperti yang ditunjukkan oleh kandungan ion di luar dan di dalam membran. Terdapat konsentrasi Na tinggi di luar dan K tinggi di dalam. Adanya A- di dalam menimbulkan dikirimnya impak negatif.
Membran syaraf sendiri berfungsi sebagai suatu kapasitor, karena memiliki perbedaan potensial oleh adanya ion negatif dan positif. Dengan kata lain., membran sel syaraf berfungi juga sebagai penyimpan energi elektronik. Pada kenyataannya, membran dapat ditembus bukan hanya oleh karena ion terabsorbsi, melainkan juga oleh perbedaan polaritas.
Ion-ion Na dan K mempunyai tendensi untuk selalu merembes keluar karena gradien konsentrasinya, tetapi Na+ lebih sulit masuk dibanding mudahnya K- keluar. Dalam hal ini suatu sistem pompa bertenaga ATP akan memompa kelebihan ion di dalam sel. Pompa ini disebut sebagai pompa Na-K
Adanya anion dan kation di sekitar membran menyebabkan funsi membran sebagai kapasitor (dapat dideteksi dengan osiloskop) dengan nilai potensial "istirahat" (resting membrane potential) antara 75 mV. Untuk lebih rincinya harap dibaca hand-out bhs. Inggris.
Dalam situasi ini perhitungan potensialnya mengikuti persamaan Nernst dengan logaritma pangkat 10 :
Pada suhu 20 0 C
Sehingga apabila konsentrasi ion K diketahui, potensial membran dapat dihitung. Untuk menghitung pengaruh lebih dari satu ion (multiple ion action) dipergunakan rumus membran potensial :
Membanjirnya ion Na dari luar atau "flush in" akan menyebabkan naiknya polaritas membran, yang apabila mencapai titik jenuh akan menyebabkan ion K merembes keluar, menurunkan potensial sampai di bawah normal. Dalam keadaan inilah pompa Na-K melakukkan penyeimbangan dengan memompa kelebihan Na keluar. Pada titik potensial tertentu terdapat keadaan ketika ‘pinta Na" terbuka atau tertutup karrena bekerjanya pompa.
Proses di atas terjadi karena adanya rangsang yang mengubah komposisi ion pada membran. Ion-ion yang sama diinfiltrasi ion pada pada membran ion tak senama kemudian memunculkan rangkaian lokal (local circuit) yang kemudian mempengaruhi ion-ion di dekatnya untuk "merambatkan" konfigurasi rangkaian lokal ini. Rangkaian ini tidak mungkin mengalir ke belakang karena adanya mekanisme refractory action atau sekehendaknya mengulang proses tersebut, karena masing-masing ion harus mempertahankan kondisi seimbang/ekuilibrium. Dalam pada itu serabut syarafnya sendiri umumnya menuju ke satu sisi.
Potensial gerak (action potential) haruslah melalui suatu tingkat kenaikan potensial melampaui ambang batas, apabila tidak maka gerakan yang muncul hanyalah gerakan yang bersifat memiliki potensial lokal tergradasi (local graded potential). Reaksinya dengan demikian tertegun-tegun atau terbata-bata.
Suatu tanggapan terhadap sinyal syaraf dalam tubuh serangga akan memunculkan suatu potensial ujung lempeng (end-plate potential) pada jungsi neromuscular (sambungan antara syaraf dan otot, Neuromuscular junction), namun potensial ini makin lama makin melemah. Dengan demikian yang dipengaruhi hanyalah lingkungannya saja, tetapi tidak merangsang suatu ujung gerak tertentu. Tanggapan serangga nantinya akan tergantung kepada berapa banyak jungsi neromuskular yang memimiliki potensial ujung lempeng. Ini berarti jumlah sel-sel otot tidak perlu terlalu banyak yang mengandung ujung serabut syaraf pada tiap selnya. Pada serangga dijumpai adanya akson-akson "cepat" dan "lambat", selain kemungkinan terdapat pula sejenis akson lain yang disebut akson penghambat, yang berfungsi sebagai penghambat gerakan dan bukan meneruskannya.
Pada akson cepat dan akson lambat dijumpai asam glutamat sebagai transmiter syaraf, karena dalam darah serangga (hemolimfaa) dijumpai banyak asam amino. Asam glutamat terutama bekerja pada jungsi neromuskular dengan menyebabkan timbulnya kontraksi. Namun karena di dalam hemolimfaa yang menyelubungi j.n.m. terdapat begitu banyak asam glutamat, maka harus ada barier fisis yang melindungi j.n.m. dari pengaruh asam glutamat bebas tadi. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa asam glutamat terikat oleh suatu reseptor atau bahan tertentu di dalam hemolimfaa, boleh jadi tidak terdapat dalam plasma tetapi di dalam butir darah (hemosit).
Akson penghambat bekerja dengan menggunakan bahan kimia GABA (Gamma Amino Butyric Acid, asam butirat gama amino) yang disimpan dalam suatu relung yang disebut perforate medium. Mekanismenya adalah hiperpolarisasi, sehingga potensialnya tidak cukup besar bagi akson lambat untuk bertindak à karena polarisasinya berlebihan, sehingga ion yang muncul dinetralkan oleh ion yang berlawanan.
Dalam hubungannya dengan sistem otot, maka dijumpai tiga jenis serabut otot, yaitu tubular, close-packed dan fibrillar. Dua jenis yang pertama merupakan otot sinkronous, memiliki nisbah input/kontraksi I, sedang yang tipe terakhir adalah otot asinkronik, dengan nisbah input/kontraksi lebih kecil dari satu. Itu sebabnya serangga mampu terbang sangat cepat, dengan getaran sayap yang sangat tinggi frekuensinya. Mekanisme ini secara morfologis didukung oleh fungsi fisologis sarkosoma, mitokhondria pada sel otot untuk terbang. Tipe protein yang teerdapat pada otot sinkronik. Secara khusus kandungannya adalah banyak jenis asam amino yang mampu menyalurkan osilasi (sebagai bahan penyangga elastisitas).
Organ-organ sensorik
Ada tiga jenis organ sensorik yang dijumpai pada serangga:
1. reseptor kimia
2. reseptor mekanis
3. reseptor cahaya
Secara morfologis reseptor disebut sebagai sensillum (jamak: sensillae), yang merupakan sel untuk menghasilkan dan menghantar arus rangsang elektronik. Banyak organ (hampir semua) yang juga berfungsi sebagai reseptor.
Mekanoreseptor atau sensillum trichoidea
Disusun oleh sel-sel epidermis khusus (sel-sel trikogen). Di sekelilingnya terdapat sel-sel sendi penyangga atau sel-sel tormogen. Semuanya merupakan modifikasi sel-sel epidermis. Mekanoreseptor umumnya memiliki satu sel syaraf bipolar, yang dilindungi oleh selubung "skolopol". Potensial awalnya disebabkan oleh rangsang yang telah digradasi sehingga harus mampu mencapai "potensial penghasil" atau "potensial reseptor", yang beerbanding langsung terhadap besar kecilnya rangsang. Bila potensial ini cukup kuat, maka potensial gerak akan terbentuk dan dihasilkan suatu mata rantai beda potensial menuju ke pusat syaraf. Inilah yang disebut aliran rangsang.
Secara morfologis, bentuk reseptor ini bervariasi. Ada yang tidak berbentuk rambut, hanya merupakan tonjolan jaringan/lapis sel. Bentuk ini disebut sebagai "sensillum campaneiform", dijumpai misalnya sebagai sensilla alat pendengaran (yang memang lebih berupa membran).
Reseptor khemis
Reseptor ini memiliki struktur yang serupa dengan mekanoreseptor. Perbedaannya adalah bahwa umumnya jenis reseptor ini memiliki lebih dari satu neron bipolar. Memang dibutuhkan untuk mendeteksi rangsang yang berbeda-beda jenisnya, dan inilah yang disebut sebagai "modalitas" untuk deteksi rasa pahit (asam), gula, air dan garam. Cara kerjanya juga menyerupai mekanoreseptor. Dua di antara sensillanya adalah stimulan positif, dua lagi stimulan negatif. Sumber rangsang sendiri dapat atau tidaknya terdeteksi antara lain karena tingkat konsentrasinya. Rangsang positif jika melebihi aras tertentu akan menjadi rangsang penghambat.
Pada abdomen beberapa serangga tertentu di jumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, proprioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.
Pada abdomen beberapa serangga tertentu dijumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, propioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.
Reseptor cahaya
Mata majemuk serangga dipergunakan untuk menangkap kesan bayangan/citra, sedang oseli untuk membedakan gelap dan terang. Pada Lepidoptera juga dijumpai stemmata, suatu mata sederhana berbentuk klaster (kumpulan sensilla). Integumen serangga sendiri juga peka terhadap rangsang cahaya.
Ukuran mata majemuk menunjukkan perilaku serangganya. Ada serangga yang sama sekali tidak memiliki mata majemuk, ada yang seluruh kepalanya tertutupi oleh mata. Kemajemukan mata faset sendiri adalah karena tersusun oleh bangunan yang disebut ommatidium.
Dengan adanya bangunan ini, serangga dapat membedakan bentuk dan warna, meski jarak jangkaunya amat terbatas. Di lain pihak, pembedaan detailnya amat tinggi, sehingga gerak yang sekecil apapun dapat terlihat. Untuk susunan morfologisnya, lihat gambar. Korda pusatnya adalah suatu bangunan yang disebut rhabdon. Di sekelilingnya terdapat 8-9 sel neron yang telah dimodifikasi (tak ada dendrit, hanya akson saja) dan disebut retinula atau sel-sel retinula. Apabila rhabdon memanjang sampai menyentuh ujung bangunan bening transparan yang disebut kerucut kristalin (crystalline cone), maka jenis mata faset demikian disebut mata majemuk aposisi, sedang bila hubungannya ke kerucut kristalin disambungkan oleh suatu konektor, disebut mata majemuk superposisi. Diduga yang pertama digunakan oleh serangga-serangga diurnal, sedang yang kedua oleh serangga nokturnal. Tanpa adanya ruang antara rhabdon dan ujung kk maka jumlah cahaya yang diterima tidak akan terlampau berlebihan. Sebaliknya jika diberi ruang, maka cahaya dapat dikumpulkan sebanyak-banyaknya.
Jadi rhabdon bertugas mengubah cahaya menjadi rangsang syaraf. Impuls yang terjadi dikirim langsung ke bagian otak yang disebut lobus opticus. Perubahan kesan cahaya menjadi impuls elektronik terjadi di dalam bangunan mikrotubuler yang menyusun rhabdon.
Prosesnya melibatkan suatu pigmen visual yang dinamakan rhodopsin. Secara kimiawi strukturnya disintesis dari retinaldehide dan opsin. Sumber utamanya adalah β-karotin yang banyak dijumpai pada wortel. Mekanisme kimianya adalah perubahan isomer dari cis (Z) menjadi trans (E). detail dapat dilihat pada gambar.
By: Winoto
sumber : http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=316&tkt=4
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
*
1. CNS atau SSP (Central Nervous System, Susunan Syaraf Pusat)
*
2. PNS atau SST (Peripheral Nervous System atau sistem syaraf tepi)
*
3. Stomagastric System atau sistem stomagastrik
Sistem pertama terdiri atas otak (tepatnya, supraesofageal ganglion, ganglion diatas esofagus) dan korda saraf ventral (ventral nerve chord). Sistem kedua adalah sistem syaraf yang dipergunakan untuk menerima sinyal atau rangsang : khemoreseptor, mekanoreseptor, semua sensila, syaraf motorik yang dihubungkan ke otot atau kelenjar. Sedang sistem ketiga adalah sistem pada perut atau pencernaan, yang tidak dikendalikan oleh "keinginan" serangga (involuntary).
Sel-sel syaraf secara embriologis berasal dari sel-sel ektodermis, terjadi karena invaginasi (pelekukan) integumen, yang pada akhirnya menghasilkan neroblas. Untuk mempelajari trend evolusi korda syaraf (tali syaraf), para peneliti menggunakan ordo diptera, karena pada ordo ini dijumpai susunan syaraf dari yang primitif sampai yang ke kompleks. Sebagai misal, ganglion (simpul syaraf, jamak: ganglia) memiliki tendensi untuk semakin terkoordinasi dalam satu organ. Pada sistem syaraf diptera kompleks, ganglia tidak lagi dijumpai pada abdomen, tetapi semuanya mengumpul menjadi satu di bagian toraks.
Neuron, Sel syaraf
Susunan di atas disebut sebagai "neuron bipolar", sedang bentuk lainnya adalah "monopolar Neuron" seperti yang dijumpai pada SSP.
Neuron bipolar dengan demikian lebih banyak dipergunakan untuk menerima dan meneruskan rangsang, sementara yang monopolar dipergunakan untuk memproses rangsang dan selanjutnya diantisipasi sesuai dengan jenis rangsang.
Sinaps
merupakan hubungan antar serabut syaraf atau antara sel syaraf dengan sel-sel muskular (disebut sebagai neuromuscular junction). Bagian ini merupakan situs penting tepat bekerjanya insektisia, terutama insektisida syaraf. Karena struktur ini sangat fragile atau ringkih, maka dibutuhkan lapisan/selubung pelindung untuk proteksi bagian ini.
Ganglion
Merupakan kumpulan badan sel syaraf yang bekelompok membentuk bangunan yang disebut neuropile, dengan axon atau serabut syaraf menuju ke dan keluar dari bundel syaraf ini. Pada bagian anterior serangga tepat di atas esophagus, terletak ganglion utama yang berfungsi juga sebagai otak serangga. Ke arah lateral kiri dan kanan terdapat lobus opticus ("optic lobe") yang merupakan serabut konektif, untuk memberikan informasi mengenai cahaya. Dari otak juga terdapat syaraf-syaraf ke korpora alata dan korpora kardiaka, yang akan menyampaikan isyarat untuk melepas hormon kepada kedua organ/badan khusus tersebut.
Transmitansi atau rambatan syaraf, merupakan gerakan elektronik di dalam serabut, dan gerakan khemis antar serabut (apabila sinaps). Namun pun gerakan elektronik yang ada adalah karena perbedaan potensial unsur-unsur kimia, sehingga tetap juga merupakan proses elektrokimia. Banyak jenis transmiter syaraf yang dimanfaatkan ileh serangga (lihat hand-out bhs. Inggris). Oktoplamina, noradrenalin, serotonin, N-asetiltiramina, N-asetildopamina, andrenalin, histamina, asetilkholin, asam glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), 5-hidroksitripolamina (5-HT) adalah beberapa contoh nerotransmiter.
Pengukuran Nerotransmitasi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut perekam elektrofisiologis (electrophysiological recorder) seperti pada gambar pada hand-out (Fig. A-12) pada prinsipnya alat tersebut adalah CRT (Cathode Ray Tube, Tabung Sinar Katoda). Oscilloscope, yang dipergunakan mengukur arus listrik pada tingkat milivolt.
Ada dua jenis pengukuran yang dapat dilakukan:
- eksternal (external recording)
Apabila dilakukan perekaman eksternal, maka alat rekamnya demikian sensitif, perlu dilindungi dari gelombang radio agar tidak menimbulkan gangguan impedansi.
- internal (internal/intracellular recording)
Dipergunakan mikro elektroda, suatu tabung kapiler ultra tipis dengan ujung sangat tipis dan mampu menyentuh sel tulang.
Contoh pelaksanaannya adalah dalam mengukur kemampuan mata serangga dalam menerima kerlipan cahaya. Serangga mampu menangkap lebih banyak kerlip dibanding manusia, sampai sekitar 60 kerlip per detik (disebut sebagai Flicker Fusion Frequency atau 3 F). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikroelektroda yang ditusukkan pada mata majemuk dan selanjutnya dirangsang oleh strobo-light. Reaksi syaraf akan nampak pada grafik yang muncul dalam osiloskop.
Pengukuran yang lain adalah terhadap khemoreseptor yang terdapat pada labellum. Adanya gula, air, asam atau garam akan menyebabkan probosis dikeluarkan atau ditarik masuk. Setiap reseptor kimia memiliki keempat jenis tanggapan tersebut. Reseptor ini ditemukan juga pada tarsi, karena pegukuran pada tarsi menunjukkan gejala yang sama dengan pada labellum.
Dengan mengganti larutan yang terdapat di dalam tabung mikroelektroda gelas, dapat diketahui apakah suatu reseptor merupakan reseptor air, gula, garam, atau asam. Rangsang lain yang dapat dipergunakan mengecek suatu jenis reseptor adalah panas/dingin, gerak mekanis, cahaya, dan bahan kimia.
Proses awalan transmisi
Membran axon/sel syaraf ternyata bersifat semi permiabel, seperti yang ditunjukkan oleh kandungan ion di luar dan di dalam membran. Terdapat konsentrasi Na tinggi di luar dan K tinggi di dalam. Adanya A- di dalam menimbulkan dikirimnya impak negatif.
Membran syaraf sendiri berfungsi sebagai suatu kapasitor, karena memiliki perbedaan potensial oleh adanya ion negatif dan positif. Dengan kata lain., membran sel syaraf berfungi juga sebagai penyimpan energi elektronik. Pada kenyataannya, membran dapat ditembus bukan hanya oleh karena ion terabsorbsi, melainkan juga oleh perbedaan polaritas.
Ion-ion Na dan K mempunyai tendensi untuk selalu merembes keluar karena gradien konsentrasinya, tetapi Na+ lebih sulit masuk dibanding mudahnya K- keluar. Dalam hal ini suatu sistem pompa bertenaga ATP akan memompa kelebihan ion di dalam sel. Pompa ini disebut sebagai pompa Na-K
Adanya anion dan kation di sekitar membran menyebabkan funsi membran sebagai kapasitor (dapat dideteksi dengan osiloskop) dengan nilai potensial "istirahat" (resting membrane potential) antara 75 mV. Untuk lebih rincinya harap dibaca hand-out bhs. Inggris.
Dalam situasi ini perhitungan potensialnya mengikuti persamaan Nernst dengan logaritma pangkat 10 :
Pada suhu 20 0 C
Sehingga apabila konsentrasi ion K diketahui, potensial membran dapat dihitung. Untuk menghitung pengaruh lebih dari satu ion (multiple ion action) dipergunakan rumus membran potensial :
Membanjirnya ion Na dari luar atau "flush in" akan menyebabkan naiknya polaritas membran, yang apabila mencapai titik jenuh akan menyebabkan ion K merembes keluar, menurunkan potensial sampai di bawah normal. Dalam keadaan inilah pompa Na-K melakukkan penyeimbangan dengan memompa kelebihan Na keluar. Pada titik potensial tertentu terdapat keadaan ketika ‘pinta Na" terbuka atau tertutup karrena bekerjanya pompa.
Proses di atas terjadi karena adanya rangsang yang mengubah komposisi ion pada membran. Ion-ion yang sama diinfiltrasi ion pada pada membran ion tak senama kemudian memunculkan rangkaian lokal (local circuit) yang kemudian mempengaruhi ion-ion di dekatnya untuk "merambatkan" konfigurasi rangkaian lokal ini. Rangkaian ini tidak mungkin mengalir ke belakang karena adanya mekanisme refractory action atau sekehendaknya mengulang proses tersebut, karena masing-masing ion harus mempertahankan kondisi seimbang/ekuilibrium. Dalam pada itu serabut syarafnya sendiri umumnya menuju ke satu sisi.
Potensial gerak (action potential) haruslah melalui suatu tingkat kenaikan potensial melampaui ambang batas, apabila tidak maka gerakan yang muncul hanyalah gerakan yang bersifat memiliki potensial lokal tergradasi (local graded potential). Reaksinya dengan demikian tertegun-tegun atau terbata-bata.
Suatu tanggapan terhadap sinyal syaraf dalam tubuh serangga akan memunculkan suatu potensial ujung lempeng (end-plate potential) pada jungsi neromuscular (sambungan antara syaraf dan otot, Neuromuscular junction), namun potensial ini makin lama makin melemah. Dengan demikian yang dipengaruhi hanyalah lingkungannya saja, tetapi tidak merangsang suatu ujung gerak tertentu. Tanggapan serangga nantinya akan tergantung kepada berapa banyak jungsi neromuskular yang memimiliki potensial ujung lempeng. Ini berarti jumlah sel-sel otot tidak perlu terlalu banyak yang mengandung ujung serabut syaraf pada tiap selnya. Pada serangga dijumpai adanya akson-akson "cepat" dan "lambat", selain kemungkinan terdapat pula sejenis akson lain yang disebut akson penghambat, yang berfungsi sebagai penghambat gerakan dan bukan meneruskannya.
Pada akson cepat dan akson lambat dijumpai asam glutamat sebagai transmiter syaraf, karena dalam darah serangga (hemolimfaa) dijumpai banyak asam amino. Asam glutamat terutama bekerja pada jungsi neromuskular dengan menyebabkan timbulnya kontraksi. Namun karena di dalam hemolimfaa yang menyelubungi j.n.m. terdapat begitu banyak asam glutamat, maka harus ada barier fisis yang melindungi j.n.m. dari pengaruh asam glutamat bebas tadi. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa asam glutamat terikat oleh suatu reseptor atau bahan tertentu di dalam hemolimfaa, boleh jadi tidak terdapat dalam plasma tetapi di dalam butir darah (hemosit).
Akson penghambat bekerja dengan menggunakan bahan kimia GABA (Gamma Amino Butyric Acid, asam butirat gama amino) yang disimpan dalam suatu relung yang disebut perforate medium. Mekanismenya adalah hiperpolarisasi, sehingga potensialnya tidak cukup besar bagi akson lambat untuk bertindak à karena polarisasinya berlebihan, sehingga ion yang muncul dinetralkan oleh ion yang berlawanan.
Dalam hubungannya dengan sistem otot, maka dijumpai tiga jenis serabut otot, yaitu tubular, close-packed dan fibrillar. Dua jenis yang pertama merupakan otot sinkronous, memiliki nisbah input/kontraksi I, sedang yang tipe terakhir adalah otot asinkronik, dengan nisbah input/kontraksi lebih kecil dari satu. Itu sebabnya serangga mampu terbang sangat cepat, dengan getaran sayap yang sangat tinggi frekuensinya. Mekanisme ini secara morfologis didukung oleh fungsi fisologis sarkosoma, mitokhondria pada sel otot untuk terbang. Tipe protein yang teerdapat pada otot sinkronik. Secara khusus kandungannya adalah banyak jenis asam amino yang mampu menyalurkan osilasi (sebagai bahan penyangga elastisitas).
Organ-organ sensorik
Ada tiga jenis organ sensorik yang dijumpai pada serangga:
1. reseptor kimia
2. reseptor mekanis
3. reseptor cahaya
Secara morfologis reseptor disebut sebagai sensillum (jamak: sensillae), yang merupakan sel untuk menghasilkan dan menghantar arus rangsang elektronik. Banyak organ (hampir semua) yang juga berfungsi sebagai reseptor.
Mekanoreseptor atau sensillum trichoidea
Disusun oleh sel-sel epidermis khusus (sel-sel trikogen). Di sekelilingnya terdapat sel-sel sendi penyangga atau sel-sel tormogen. Semuanya merupakan modifikasi sel-sel epidermis. Mekanoreseptor umumnya memiliki satu sel syaraf bipolar, yang dilindungi oleh selubung "skolopol". Potensial awalnya disebabkan oleh rangsang yang telah digradasi sehingga harus mampu mencapai "potensial penghasil" atau "potensial reseptor", yang beerbanding langsung terhadap besar kecilnya rangsang. Bila potensial ini cukup kuat, maka potensial gerak akan terbentuk dan dihasilkan suatu mata rantai beda potensial menuju ke pusat syaraf. Inilah yang disebut aliran rangsang.
Secara morfologis, bentuk reseptor ini bervariasi. Ada yang tidak berbentuk rambut, hanya merupakan tonjolan jaringan/lapis sel. Bentuk ini disebut sebagai "sensillum campaneiform", dijumpai misalnya sebagai sensilla alat pendengaran (yang memang lebih berupa membran).
Reseptor khemis
Reseptor ini memiliki struktur yang serupa dengan mekanoreseptor. Perbedaannya adalah bahwa umumnya jenis reseptor ini memiliki lebih dari satu neron bipolar. Memang dibutuhkan untuk mendeteksi rangsang yang berbeda-beda jenisnya, dan inilah yang disebut sebagai "modalitas" untuk deteksi rasa pahit (asam), gula, air dan garam. Cara kerjanya juga menyerupai mekanoreseptor. Dua di antara sensillanya adalah stimulan positif, dua lagi stimulan negatif. Sumber rangsang sendiri dapat atau tidaknya terdeteksi antara lain karena tingkat konsentrasinya. Rangsang positif jika melebihi aras tertentu akan menjadi rangsang penghambat.
Pada abdomen beberapa serangga tertentu di jumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, proprioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.
Pada abdomen beberapa serangga tertentu dijumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, propioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.
Reseptor cahaya
Mata majemuk serangga dipergunakan untuk menangkap kesan bayangan/citra, sedang oseli untuk membedakan gelap dan terang. Pada Lepidoptera juga dijumpai stemmata, suatu mata sederhana berbentuk klaster (kumpulan sensilla). Integumen serangga sendiri juga peka terhadap rangsang cahaya.
Ukuran mata majemuk menunjukkan perilaku serangganya. Ada serangga yang sama sekali tidak memiliki mata majemuk, ada yang seluruh kepalanya tertutupi oleh mata. Kemajemukan mata faset sendiri adalah karena tersusun oleh bangunan yang disebut ommatidium.
Dengan adanya bangunan ini, serangga dapat membedakan bentuk dan warna, meski jarak jangkaunya amat terbatas. Di lain pihak, pembedaan detailnya amat tinggi, sehingga gerak yang sekecil apapun dapat terlihat. Untuk susunan morfologisnya, lihat gambar. Korda pusatnya adalah suatu bangunan yang disebut rhabdon. Di sekelilingnya terdapat 8-9 sel neron yang telah dimodifikasi (tak ada dendrit, hanya akson saja) dan disebut retinula atau sel-sel retinula. Apabila rhabdon memanjang sampai menyentuh ujung bangunan bening transparan yang disebut kerucut kristalin (crystalline cone), maka jenis mata faset demikian disebut mata majemuk aposisi, sedang bila hubungannya ke kerucut kristalin disambungkan oleh suatu konektor, disebut mata majemuk superposisi. Diduga yang pertama digunakan oleh serangga-serangga diurnal, sedang yang kedua oleh serangga nokturnal. Tanpa adanya ruang antara rhabdon dan ujung kk maka jumlah cahaya yang diterima tidak akan terlampau berlebihan. Sebaliknya jika diberi ruang, maka cahaya dapat dikumpulkan sebanyak-banyaknya.
Jadi rhabdon bertugas mengubah cahaya menjadi rangsang syaraf. Impuls yang terjadi dikirim langsung ke bagian otak yang disebut lobus opticus. Perubahan kesan cahaya menjadi impuls elektronik terjadi di dalam bangunan mikrotubuler yang menyusun rhabdon.
Prosesnya melibatkan suatu pigmen visual yang dinamakan rhodopsin. Secara kimiawi strukturnya disintesis dari retinaldehide dan opsin. Sumber utamanya adalah β-karotin yang banyak dijumpai pada wortel. Mekanisme kimianya adalah perubahan isomer dari cis (Z) menjadi trans (E). detail dapat dilihat pada gambar.
By: Winoto
sumber : http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=316&tkt=4
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
FEROMON, ALLOMON, KAIROMON: SISTEM KOMUNIKASI SERANGGA, KONSEP DASAR, ELEKTROANTENOGRAM (EAG), OLFAKTOMETER DAN UJI BIOLOGIS LAINNYA
Berbeda dengan hormon, yang merupakan isyarat internal bagi serangga secara individual, feromon dan alomon merupakan bahan kimia yang disekresi keluar tubuh serangga oleh kelenjar eksokrin sehingga bereaksi di luar tubuh (antar individu). Feromon menjembatani komunikasi individu dalam satu spesies. Kegunaannya beragam mulai dari daya tarik antar kelamin, mencari pasangan, mengisyaratkan bahaya, menandai jejak dan wilayah, serta berbagai interaksi intraspesifik lainnya.
Wilson dan Bosert, peneliti dari Harvard, membagi feromon menjadi dua subklas:
1. releaser, yang beraksi cepat menimbulkan rangsang perilaku, dan
2. primer, yang bekerja mengubah kondisi fisiologis.
Sedangkan allomon merupakan bahan kimia yang bekerja menjembatani komunikasi antar spesies dengan keuntungan bagi penghasil allomonnya. Allomon dipergunakan untuk mengusir predator, membingungkan mangsa, dan memediasi interaksi simbiotik.
Komunikasi khemis memerlukan sumber molekul, senyawa atau molekul isyarat itu sendiri dan penerima. Sumber yang paling banyak dijumpai adalah kelenjar eksokrin, yang terletak pada permukaan tubuh serangga. Kelenjar ini letaknya bervariasi: dapat di bagian alat mulut, membran intersegmental, sklerit, tungkai atau bagian tubuh lainnya. Produk kelenjar ini harus mampu menembus eksoskeleton serangga yang keras dan liat. Sel sekretori tipe I terletak tepat di bawah epidermis dan mengalirkan sekresinya ke luar melalui duktula memanjang yang merupakan lekukan epikutikula yang menjorok ke dalam (Gambar B.). Sedangkan sel skretori tipe II memiliki kutikula yang berlubang-lubang kecil sehingga sekresi dapat terperkolasi dari sel sekretori ke luar (Gambar B.)
Feromon
Dari beragam rangsang khemis yang terdapat di luar tubuh serangga, feromon harus mampu muncul dengan sifat khas dan menyampaikan pesan tertentu bagi serangga yang menerimanya. Tidak semua molekul dapat bersifat feromon. Isyarat yang dikirimkannya harus jelas, dan dalam lingkungan terestrial senyawanya harus bersifat volatil. Glukose dan glikogen sulit dipergunakan sebagai feromon. Secara teoritis, semakin besar molekulnya, semakin besar pula kemungkinannya menjadi struktur yang unik dengan sifat khas. Tetapi pada prakteknya molekul tersebut harus pula volatil, sehingga rantai karbonnya terbatasi paling banyak hanya sampai 20 saja. Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino.
Kalau jenis-jenis hormon pada subklas Insekta tak banyak bervariasi, lain halnya dengan feromon. Jenisnya demikian banyak karena masing-masing khas untuk spesies tertentu saja. Keragaman ini gunanya untuk menghindarkan terjadinya kekeliruan antara satu spesies dengan spesies lain. Agar nilai komunikasinya semakin khas, feromon kebanyakan merupakan campuran beberapa senyawa kimia, sehingga isyarat yang terkirim sebenarnya datang dari daya kerja total kumpulan senyawa tersebut.
Ruang aktif.
Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah.
Agar dapat menimbulkan rangsang, haruslah ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space".
Besar kecilnya ruang ini tergantung dari "kemauan" si pelepas feromon. Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.
Feromon Seks
Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku "courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon.
Pada mulanya diduga bahwa masing-masing spesies memiliki kekhasan molekul feromon seks yang dipergunakan untuk memikat lawan jenisnya. Molekul ini diduga khas, unik dan menimbulkan rangsang bagi lawan jenis dalam spesies yang sama, tidak pada serangga lain. Pada kenyataannya yang terdapat di alam ternyata jauh lebih menarik dan lebih kompleks dari dugaan tersebut. Kebanyakan feromon merupakan campuran kompleks dari beberapa senyawa penimbul bau, dan campuran aroma demikian memiliki perbedaan arti yang dapat cukup luas hanya karena sedikit perbedaan kadar campurannya. Karena jenisnya yang menjadi beratus-ratus (atau bahkan beribu-ribu) oleh bentukan campuran senyawanya, maka di sini hanya akan diketengahkan contoh feromon seks pada ulat sutera dan kupu-kupu ratu saja.
Ngengat sutera
Pengetahuan tentang adanya sifat atraktan yang dimiliki oleh sekresi ngengat telah diketahui sejak abad sembilanbelas ketika seorang ahli Perancis J.H. Fabre menunjukkan adanya ngengat jantan yang lebih tertarik pada sehelai kertas yang pernah ditempati ngengat betina dan mengandung sekresi ngengat, dibanding terhadap ngengat betinanya sendiri. Namun baru pada tahun 1959 elusidasi senyawa atraktan dapat dilakukan, yaitu oleh Adolf Butenandt (Jerman) yang mengidentifikasi senyawa atraktan pada ngengat sutera.
Butenandt bersama rekan-rekannya dengan tekum memotong ujung abdomen sekitar 500.000 ekor ngengat betina, kemudian mengekstraksinya menggunakan etanol-eter, memurnikan komponen aktifnya dan selanjutnya mencirikan kandungan senyawa yang diperoleh menggunakan teknik mikrokimia susunan Butenandt sendiri. Dari jumlah ngengat itu diperolehnya 12 mg atraktan murni, suatu senyawa karbon rantai 16 yang diberinya nama bombykol.
Ngengat jantan sangat sensitif terhadap senyawa ini, dan pada kenyataannya tanggapan jantan yang berupa kepakan sayap ("fluttering") merupakan cara mengukur tingkat konsentrasi senyawa feromon bersangkutan, suatu teknik bioassay sederhana. Dari percobaan-percobaan yang pernah diadakan, tingkat konsentrasi terendah yang masih dapat dideteksi ngengat jantan berkisar antara 10-6 - 10-4 æg.
Pada saat itu diduga bahwa bombikol adalah satu-satunya senyawa feromon yang dihasilkan oleh ngengat sutera betina. Dugaan ini diperbaiki oleh Kaissling dkk. (1978) dari Jerman yang menemukan senyawa aldehidnya (disebut bombikal) dalam campuran senyawa feromon dengan rasio 10:1. Adanya bombikal yang kerjanya menghambat respons ngengat jantan terhadap bombikol menyebabkan efektivitas feromon seks sutera menjadi lebih tinggi. Kisaran konsentrasinya lebih lebar, dari 10-5 sampai mendekati 100, sehingga tanggapan jantan lebih bersifat "graded" atau sedikit demi sedikit.
Detektor feromon terdapat pada antenna ngengat jantan. Antena ngengat sutera yang besar dan berbentuk seperti bulu ayam mengandung sekitar 64.000 rambut-rambut indera, yang 80% di antaranya khusus untuk menanggapi senyawa feromon. Tiap sensillum dilengkapi dengan dua neron sensorik, yang satu peka terhadap bombikol, yang lain terhadap bombikal; dan masing-masing neron mengirim rangsang secara terpisah ke otak. Otaklah yang kemudian menentukan, menanggapi rangsang tersebut atau tidak.
Di alam terdapat beribu-ribu spesies, yang pada suatu ketika betinanya melepas feromon seks sehingga terdapat berbagai senyawa feromon yang berhubungan dekat satu sama lain di udara. Ini berarti ngengat jantan harus mampu membedakan berbagai feromon dari spesies lain, dan menanggapi dengan tepat feromon spesiesnya sendiri. Roelofs dari Cornell University menunjukkan bahwa senyawa feromon dari dua spesies dengan genus yang sama (Archips argyrospillus dan A. mortuanus), sama-sama mengandung empat komponen utama, tetapi dalam perbandingan yang berbeda, yaitu 60 : 40 : 4 : 200 untuk A. argyropillus dan 90 : 10 : 1 : 200 untuk A. mortuanus.
Berapa banyak jantan yang dapat dipikat oleh seekor betina ?
Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 ng bombikol, yang secara teoritis mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Namun perhitungan ini mengabaikan kehadiran senyawa bombikal. Selain itu, yang penting dalam hal banyak-sedikitnya jumlah feromon adalah peranannya dalam memperluas ruang aktif, sehingga kemungkinan menarik lebih banyak jantan akan lebih besar.
Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis. Orientasi yang pertama berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di "atas" angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut "Schwink effect", dan berlaku baik pada ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas. Orientasi yang kedua berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek ("short-range").
Kupu-kupu ratu. Isyarat visual membantu ngengat jantan mengenali betinanya, seperti halnya pada kupu-kupu ratu (Danaus gilippus berenice). Perilaku kawinnya merupakan pertukaran isyarat yang sangat intens antara jantan dan betina, seperti dijelaskan oleh Lincoln dan Van Zandt-Bower dari Amherst College, Massachussetts.
Kupu-kupu jantan memiliki alat tubuh yang disebut rambut pensil yang merupakan sekumpulan tonjolan tipis dan halus seperti rambut pada ujung abdomen. Bila kupu jantan melihat betina terbang, segera dikejarnya dan didahului, kemudian rambut pensilnya dikibas-kibaskan di depan kepala betinanya, terutama pada antenna.Pliske dan Eisner mengamati bahwa rambut pensil ini mengandung partikel-partikel halus seperti debu, yang kemudian menempel pada antenna, namun bukan bahan ini yang bersifat memikat betina, melainkan suatu jenis bahan senyawa minyak yang disusulkan kemudian. Meinwald dkk. mendapatkan bahwa senyawa yang terkandung dalam minyak ini adalah keton dan suatu diol terpenoid cair.
Adanya rangsangan jantan pada antennanya menyebabkan betina hinggap, dan kemudian melipat sayapnya. Pada saat inilah jantan mencoba melakukan kopulasi. Penelitian Fliske dan Eisner selanjutnya menunjukkan, bahwa jantan yang dipelihara di lab dan diberi makan tumbuhan inang utama kupu-kupu ratu, lebih sering gagal berkopulasi, sementara yang dilepas di luar lab, dan bebas mencari makan, selalu berhasil melakukan mating. Pada pengamatan detail terbukti bahwa kupu-kupu biakan lab tidak memiliki senyawa keton pada feromonnya. Kupu-kupu yang hidup bebas ternyata mendapatkan prekursor keton dari tumbuhan inang lain yang hanya didatanginya dalam waktu sangat singkat, namun diperlukan agar dapat memperoleh sumber keton. Apabila pada feromon kupu biakan lab ditambahkan keton, ternyata bahwa mereka pun kemudian mampu melakukan mating dengan baik.
Feromon lain yang juga berperan penting antara lain adalah:
- feromon agregasi
- feromon alarm
- feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan.
Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya.
Feromon agregasi tersebar penggunaannya pada berbagai ordo seperti misalnya Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Familia yang paling banyak dipelajari adalah Scolytidae, Coleoptera; terutama pada kumbang kulit kayu; seperti genus Dendrocnotus dan Ips. Yang menarik, hampir semua feromon agregasi kumbang kulit kayu adalah monoterpen yang secara rumus bangun mirip dengan jenis yang dihasilkan oleh pohon inangnya. Reaksi agregasi merupakan tanggapan terhadap campuran molekul serupa yang saling menunjang efektivitas masing-masing. Komponen molekul serupa semacam itu membentuk suatu kerja kimia yang disebut sinergistik. Masing-masing senyawa sinergis mungkin cukup efektif sebagai molekul tunggal, tetapi lebih efektif jika bahan tersebut bercampur, jauh lebih efektif dibanding sekadar jumlah total efektivitas masing-masing.
Feromon Alarm merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya, dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi.
Wilson dan Bosert, ahli serangga sosial terutama semut, menduga bahwa bahan feromon alarm harus menghasilkan penanda yang bersifat lokal, jelas dan pendek/singkat. Feromon harus menyebar dengan cepat untuk dapat mengkoordinir terbentuknya pertahanan koloni dan harus segera lenyap agar tidak memunculkan tanda bahaya yang keliru. Agar dapat dilacak dengan mudah, ruang aktifnya harus sempit. Pada semut misalnya, feromon ini bahan utamanya adalah senyawa 4-metil-3-heptanon dan dikeluarkan melalui kelenjar mandibula. Jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan, isi kelenjar mandibulanya akan menyebar mencapai radius ruang aktif sekitar 6 cm dalam 13 detik, dan jika dibiarkan meluas, dalam 35 detik ruang aktif ini akan hilang. Semut pekerja lain yang mendeteksi feromon ini oleh karenanya akan menambahkan feromonnya sendiri sehingga keberadaan ruang aktifnya dapat bertahan lebih lama. Feromon alarm bersifat sangat volatil, dan kebanyakan memiliki berat molekul rendah, dengan rantai karbon 12 atau kurang. Senyawa dari kelenjar mandibula umumnya mengandung gugus keton atau aldehid, sedang yang berasal dari kelenjar Dufour (di dekat sengat) berupa hidrokarbon. Banyak di antaranya yang toksik dan rasanya tak enak, sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai senyawa pertahanan diri.
Peneliti dari Inggris (Bradshaw, Baker dan Howse) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 33 jenis senyawa volatil jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan. Dari jumlah itu ada empat jenis senyawa yang merupakan feromon alarm, dan masing memiliki volatilitas yang berbeda, mulai dari heksanal (yang sangat volatil) sampai 2-butil-2-oktenal (yang kurang volatil). Mekanisme kerjanya dapat digambarkan dengan suatu lingkaran konsentris, yang pada bagian tengahnya merupakan tempat melepas feromon. Dalam kondisi tak ada angin, bahan volatil feromon akan berdifusi ke segala arah dengan kecepatan yang berbeda karena volatilitasnya berbeda. Dalam waktu singkat heksenal akan menempati ruang aktif terbesar, atau lingkaran konsentris terluar. Bila ada serangga memasuki wilayah ini, muncul perilaku khas karena memperoleh "peringatan". Begitu serangga menuju ke lingkaran berikutnya (heksanol), serangga pekerja akan terpikat ke arah sumber feromon. Pada wilayah terdalam, terdapat 2-butil-2-oktenal sebagai penanda perilaku menggigit, dan 3-undekanon sebagai penunjuk orientasi arah jarak pendek. Setelah bahan feromon menguap, maka pengaruh heksanal dan heksanol tidak ada lagi, tetapi pekerja yang sufdah berada di tengah akan menunjukkan perilaku agresif, menggigit. Jadi feromon alarm sebenarnya akan mengawali munculnya serangkaian perilaku yang polanya sudah tertentu.
Apakah feromon alarm khas spesies atau koloni ?
Dibanding dengan feromon seks, feromon alarm kurang spesifik. Sering terjadi komponen feromon yang sama dipergunakan oleh spesies pada genus yang sama, atau beberapa genera pada subfamili yang sama. Namun juga teramati adanya feromon alarm yang berbeda pada spesies yang memiliki kekerabatan dekat, seperti yang terjadi pada genus Myrmica. Terdapat empat spesies genus ini yang dijumpai pada habitat yang serupa di Inggris dan Belgia, memanfaatkan komponen yang sama tetapi dengan proporsi senyawa yang berbeda. Akibatnya masing-masing spesies memiliki "dialek" yang berbeda.
Feromon penjejak/trail pheromone.
Karena baik makanan dan habitat bersifat terbatas, dibutuhkan penanda/pembatas wilayah dan penjejak agar penggunaan sumberdaya dapat dilakukan secara efisien. Banyak jenis makanan yang ukuran atau jumlahnya terbatas, sehingga perlu diberi tanda agar tidak dimanfaatkan individu lain. Ngengat parasitoid banyak yang menggunakan feromon penanda pada waktu meletakkan telur ke dalam tubuh inangnya. Lalat buah apel menandai tiap buah yang ditelurinya. Setelah telur dikeluarkan, serangga betina akan menyeret ovipositornya sepanjang permukaan buah untuk menyebarkan feromon penanda. Ukuran penanda tersebut disesuaikan dengan kebutuhan anakannya dari sejak menetas sampai menjadi imago.
Sebetulnya amat mudah melacak keberadaan feromon penjejak atau trail pheromone, karena dapat ditandai misalnya dari iring-iringan semut atau rayap yang mengikuti jalur tertentu. Yang sulit adalah mengidentifikasi dan mengisolasi bahannya. Jumlah senyawa feromon ini yang telah dideteksi belum genap duapuluh. Salah satunya, neokambrene A, adalah suatu terpen kompleks yang dipergunakan oleh rayap sebagai feromon jejak, kemudian terdapat sejenis senyawa pirazin yang dipergunakan oleh beberapa spesies anggota familia Myrmicinae. Setidaknya pada semut-semut ini feromon jejak tersebut tidak khas spesies. Feromon ini diproduksi oleh kelenjar racun, yang dibantu oleh sekresi volatil dari kelenjar Dufour. Komponen dari kelenjar yang terakhir ini berfungsi sebagai penarik perhatian, dan diketahui ternyata merupakan senyawa yang khas spesies. Jadi oleh adanya senyawa kelenjar Dufour suatu jejak feromon akan menjadi khas untuk suatu spesies tertentu.
Feromon Primer
Feromon primer bekerja mempengaruhi kondisi fisiologis serangga yang menerimanya. Pada umumnya diduga bahwa pengaruh feromon primer bekerja melalui sistem endokrin, artinya feromon ini mempengaruhi kelenjar endokrin, selanjutnya hormon dari kelenjar endokrin ini langsung mempengaruhi kondisi fisiologi serangga. Primer dijumpai pada serangga subsosial dan sosial, yang memungkinkan terjadinya perangsangan oleh satu individu kepada individu yang lain.
Kebanyakan feromon primer mempengaruhi kapasitas reproduksi. Sejenis feromon primer dari belalang kembara jantan dipergunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan pradewasa baik jantan maupun betina. Kumbang ulat hongkong jantan dan betina mampu mengeluarkan bahan yang mempercepat kemasakan telur serta merangsang aspek reproduksi kumbang betina muda lainnya. Bahan ratu lebah madu menghambat pertumbuhan ovarium lebah pekerja. Belalang kembara memiliki feromon primer yang efeknya mempengaruhi sifat soliter sehingga berubah menjadi sifat gregarius.
Allomon
Beberapa jenis serangga tidak disukai predator karena rasa-nya tidak enak. Rasa ini timbul karena adanya bahan kimia yang berbau busuk dan berasa tajam, suatu cara yang umum dipakai oleh hewan maupun tumbuhan untuk menjaga diri dari serangan musuhnya. Bentuk paling sederhana dari perilaku mempertahankan diri dengan bahan khemis adalah memuntahkan isi perut (regurgitasi) serangga kepada penyerangnya, seperti yang dilakukan kebanyakan belalang. Bahan khemis ini berasal dari tumbuhan yang dimakan belalang, seperti juga yang dilakukan oleh larva lalat kayu pada pohon pinus. Resin terpenoid pohon pinus disimpan dalam dua kantong di dalam perut depan (foregut). Jika diserang semut atau laba-laba, larva ini mengangkat kepalanya, meregurgitasi cairan resin, dan "meludahkannya" kepada si penyerang. Resin pohon pinus (badam) penuh dengan bahan yang tidak disukai burung serta predator lainnya.
Allomon ada yang memang telah terkandung dalam darah serangga, ada pula yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin. Kebanyakan serangga yang rasanya tak enak berpenampilan aposematik (berwarna mencolok untuk memperingatkan jasad lain), sehingga predator dapat segera mengetahui dari penampilannya bahwa mangsa yang dikejarnya beracun. Sebagai contoh kupu-kupu ratu memiliki pola warna sayap jingga dan hitam yang amat mencolok. Jika suatu allomon terdapat di dalam darah, cara keluarnya dapat terjadi dengan cara pendarahan setempat, atau autohaemorrhage. Darah menitik ke luar dari sambungan sendi seperti pada kaki, antena atau antara dua sklerit sewaktu serangga diserang lawannya. Kumbang blister yang dipegang dengan kasar akan mengeluarkan droplet darah dari antara sambungan kakinya, demikian pula kumbang macan. Darah kumbang blister mengandung kantaridin (cantharidin), sedang darah kumbang macan mengandung alkaloid prekoksinelin (precoccineline). Kedua bahan ini disintesis sendiri oleh masing-masing serangga, tidak diseskueterasi dari tanaman.
Alomon yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin disimpan dari hasil seskuiterasi (pengumpulan bahan metabolit sekunder tanaman) dalam suatu kantung kutikula. Seringkali kantung ini merupakan tempat penyimpanan yang berada di dekat kelenjar eksokrin. Isi tampungan ini kemudian disapukan pada bagian yang diserang predator, misalnya pada sejenis larva familia Papilionidae. bahan yang terkandung di dalamnya adalah asam iso-butirat dan 2-metil butirat. Bahan ini juga dapat meleleh ke luar dari mulut kelenjar ekskresi, sebagaimana halnya pada kumbang blister. Selain itu juga dapat disemprotkan dengan keras dalam bentuk kabut. Acapkali kelenjar penyemprotnya dapat diarahkan dengan amat tepat kepada sasaran/jasad lain yang mengganggu, baik itu vertebrata maupun invertebrata. Pemanfaatan allomon berhubungan dengan kebutuhan serangga untuk tetap bertahan hidup, sehingga dalam evolusinya kemampuan sintesisnya juga ditentukan oleh diet/jenis makanan serangga yang bersangkutan. Umumnya kemampuan memecah metabolit sekunder pada suatu tanaman yang mungkin berbahaya untuk jasad yang tidak spesifik pada tanaman tersebut diikuti oleh kemampuan mensekuestrasi bahan metabolit sekunder tersebut sebagai allomon. Dengan demikian dapat terjadi pemanfaatan ganda : jasad pengganggu berfungsi sebagai spesialis pada tumbuhan tertentu (mengurangi jumlah herbivora yang memanfaatkan tumbuhan tersebut); serta mendapat keuntungan dengan memperoleh bahan allomon.
Koleksi dan Identifikasi Feromon
Usaha koleksi bahan feromon baru berhasil dengan baik pada tahun 1959, ketika Butenandt menemukan bombikol, bahan feromon seks pada ngengat sutera (Bombyx mori). Pada saat itu dibutuhkan sekurangnya 10.000 ekor ngengat untuk memperoleh sejumlah kecil (beberapa ml saja) bahan feromon agar dapat diidentifikasi kandungan bahan kimianya. Sebelum tahun 1972, usaha koleksi bahan feromon memang memerlukan kerja yang amat tekun, karena diperlukan sejumlah besar individu serangga baik utuh maupun potongan bagian tertentu, untuk kemudian diekstraksi menggunakan pelarut khusus. Oleh kemajuan instrumentasi dan teknik fisikokimia saat ini, terutama dengan adanya GLC kapiler, Spektrometri Massa ion selektif, dan juga HPLC; metode deteksi dapat dilakukan dengan sensitivitas dan resolusi (daya pisah) yang amat tinggi tanpa harus menggunakan jumlah serangga yang amat besar.
Golub dan Weatherston (1984) menjelaskan bahwa untuk keperluan keberhasilan suatu program PHT, penggunaan feromon harus didahului dengan (a) penentuan secara tepat kandungan molekul campuran bahan feromon yang disekresikan oleh serangga, (b) penentuan laju produksi dan pelepasan campuran tersebut oleh serangga, dan (c) pengembangan suatu sistem pelepasan feromon terkendali untuk digunakan dalam pemantauan, perangkapan massal, dan program pengendalian menggunakan pelepasan feromon. Ketiga hal tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai efektivitas bahan yang telah diformulasi jika digunakan dalam kondisi normal.
Pada dasarnya terdapat dua metode koleksi dan kuantifikasi feromon, yaitu metode ekstraksi pelarut dan metode koleks efluvial (langsung dari udara). Telah dibuktikan oleh Silk dkk. (1980) bahwa jenis bahan yang terdapat pada kelenjar yang menghasilkan feromon dan komposisi bahan yang dilepas ke udara bisa saja berbeda. Dalam menentukan laju pelepasan feromon dari suatu sumber buatan, maka kedua metode tersebut harus diterapkan agar imbang.
Koleksi dari Sumber yang Berupa Serangga
Ekstraksi
1. Pemilihan pelarut.
Jacobson (1972) menyatakan bahwa dikhlorometan, heksan, dan dietil-eter merupakan pelarut yang banyak dipilih karena cukup volatil untuk ekstrak agar dapat terkonsentrasi tanpa perlu memanaskannya pada suhu tinggi. Tambahan lagi dikhlorometan tidak mudah terbakar. Namun ada peneliti yang lebih memilih etanol 95%, yang lebih baik daripada dikhlorometan, dietil-eter, heksan, khloroform, benzen dan aseton. Juga karena etanol 95% merupakan pelarut lemak yang jelek, maka hasilnya mengandung kontaminan lipid yang lebih sedikit (Brady & Smithwick, 1968). Karbon disulfida juga pernah dicoba, dan berhasil baik karena mudah menguapkannya dan tak responsif terhadap detektor FID (sehingga deteksi bahan feromonnya lebih mudah), tetapi penggunaannya dalam jumlah banyak terbatasi karena sifatnya yang mudah terbakar dan toksik. Namun dengan semakin pekanya sistem deteksi yang sekarang ada, penggunaannya dapat dipertimbangkan kembali karena bahan ini tidak perlu lagi dibutuhkan dalam jumlah banyak.
2. Metode ekstraksi.
Dua faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah letak kelenjar penghasil feromon dan ukuran serangganya. Cara yang pernah ditempuh Bartelt (1982) misalnya, adalah dengan meletakkan kokon serangga Pikonema alaskensis dalam kapsul gelatin; serangga betina yang muncul tiga sampai lima hari kemudian dibekukan, dan baik serangga, kokon maupun gelatinnya secara terpisah dicuci menggunakan heksan.
Beberapa serangga yang ekstraksinya langsung dilakukan pada individu utuh adalah caplak Amblyomma americanum (L.), ulat kacang Anticarsia gemmatalis (Hubner), ngengat India Plodia interpunctella (Hubner), ulat daun tembakau Heliothis virescens (F.), dan lalat zaitun Dacus oleae (Gmelin). Dengan menggunakan pelarut organik (benzen, eter), serangga direndam selama beberapa menit sampai beberapa jam, bahkan ada pula yang dihomogenisasikan. Sesudah itu dilakukan filtrasi dan penguapan pelarut, dengan prosedur yang berbeda menurut kondisi bahan feromonnya (atau dugaan kandungan bahan feromon yang paling dominan). Diperlukan pengujian beberapa metode atau modifikasinya agar dapat diperoleh jumlah feromon optimal dari ekstraksi cara ini.
Untuk Lepidoptera, metode yang paling banyak digunakan adalah mengekstrak potongan abdomen bagian posterior, tempat terletaknya kelenjar feromon seks. Pada Cadra cautella (Walker) misalnya, dicoba tiga cara ekstraksi yang berbeda terhadap ujung abdomen, dan ternyata ketiganya tidak berbeda nyata. Cara pertama dilakukan dengan memotong ujung abdomen 25 ekor ngengat betina berumur dua hari (periode optimal menjelang perkawinan) dan merendamnya pada campuran heksan: eter (1:1) pada - 220C selama tepat 24 jam; cara kedua dengan homogenisasi ujung abdomen menggunakan penggiling jaringan dari gelas setelah didinginkan -220C dan selanjutnya diekstrak residunya sesudah sentrifugasi selama 30 detik dengan 1 dan 0,5 ml pelarut; dan cara ketiga menggunakan sonikasi ujung abdomen setelah pendinginan -220C selama 24 jam menggunakan Bronwill Biosonik III yang diberi ujung mikrotip.
Pada tahun 1970an beberapa peneliti kemudian telah mampu mengembangkan teknik yang hanya membutuhkan sekelumit pelarut agar ekstraksinya dapat berlangsung cepat. engan menggunakan 0,2 - 0,5 ml eter dalam waktu 1-2 detik jumlah feromon yang dikumpulkan sudah cukup untuk analisis kuantitatif dengan menggunakan GLC tanpa proses "clean-up". Pada beberapa jenis hama gudang, dilakukan anestesi menggunakan eter atau pendinginan, kelenjar feromon diperas dengan tekanan jari pada abdomen, dan ujung abdomen dicelup ke dalam eter selama 1 - 2 detik. Sesudah dikeringkan dengan MgSO4, larutan dikonsentrasikan dengan aliran nitrogen kecepatan sedang menjadi sekitar 3 - 5 μl. Jika kemudian suatu volume tertentu (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat, senyawa alkoholnya, dan (z)-9-tetradesen-1-il asetat dikonsentrasikan menjadi 5 μl dan dicampurkan ke dalam alat penyuntik sebelum analisis GC, akan dijumpai kehilangan bahan sebesar 50 - 90%, tanda bahwa di dalam bahan yang diekstraksi terdapat senyawa feromon (yang kemudian bereaksi dengan senyawa alkoholnya sehingga terbentuk senyawa netral tak terdeteksi). Kehilangan ini selanjutnya dapat dikoreksi dengan menambahkan jumlah tertentu standard internal bervolatilitas sama sebelum dikonsentrasikan.
Koleksi Langsung dari Udara
Untuk koleksi bahan volatil di udara yang berasal dari serangga, harus ditentukan dulu apakah akan dilakukan pada udara yang bergerak atau yang diam; menggunakan teknik koleksi yang mana (kriogenik atau adsorpsi, misalnya); serta ukuran, susunan serta konstruksi bahan yang dipergunakan menyusun alat koleksi.
1. Aliran udara pasif
Dengan mengalirkan udara pada betina belum kawin ngengat spesies Choristoneura fumiferana yang ditempatkan dalam kantong plastik, diperoleh bahan aktif feromon. Agar yang terekstraksi bukanlah kontaminan atau bahan plastiknya, ada peneliti yang menggunakan misalnya bejana Mason berisikan kain kasa untuk tempat hinggap ngengat, dan kemudian dimasukkan kl. 100 ekor ngengat betina yang baru muncul dari pupa. Sesudah dua hari ngengat diambil dan bejana serta kain kasa dibasuh menggunakan eter. Metode yang sama juga dipergunakan untuk mengukur laju pelepasan feromon ngengat Plodia interpunctella. Ngengat betina sejumlah 20 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas bertutup volume 500 ml pada suhu 250C selama satu jam. Sesudah ngengat dikeluarkan dengan cepat, tabung dibasuh menggunakan 5 - 6 ml eter anhidrus, larutan disaring dan diuapkan dengan N2 pada suhu 30o C sampai tinggal 3 – 5 μl, dihisap ke dalam jarum suntik dan dianalisis. Efisiensi perolehan feromon diukur dengan menempatkan volume tertentu (nanogram) (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat dan senyawa alkoholnya pada ujung spatula baja tahan karat ke dalam tabung gelas bertutup selama satu jam (dibiarkan menguap sendiri). Ternyata bahwa 80% senyawa asetat dan 40% senyawa alkohol dapat diperoleh kembali sesudah tabung gelas dibasuh dengan pelarut organik.
Berbagai teknik dan metode yang ada telah mampu dipergunakan koleksi bahan feromon sampai pada tingkat nanogram. Teknik-teknik tersebut berguna tidak hanya untuk identifikasi saja, melainkan juga untuk mengukur laju emisi, kemampuan perolehan kembali (recovery) termasuk penyempurnaannya seperti pengaruh jumlah pembasuhan, pendinginan tabung, variasi cara koleksi dll, juga isolasi dan elusidasi bahan pada kecoa, serta laju pelepasan dan produksi feromon misalnya pada Plodia dan Dacus oleae. Teknik pengambilan langsung dari udara secara pasif (passive airflow) masih dianggap kurang memadai jika dilakukan di lingkungan secara langsung sehingga perlu dicari cara koleksi yang lebih memadai.
2. Aliran udara bergerak
a. Perangkap kriogenik. Kriogenik adalah teknik yang dilakukan pada suhu amat rendah. Dalam melakukan sampling di lapangan, suhu ini diperlukan karena pada suhu nitrogen cair (-196oC) semua senyawa organik yang umumnya terdapat di udara dapat disingkirkan. Pada sistem kriogenik, masukan udara diperoleh dengan cara membuat ruang hampa di dalam perangkap melalui kondensasi udara yang masuk. Dengan demikian ada tiga faktor yang menentukan laju masuknya udara: luas permukaan untuk kondensasi udara, perbedaan suhu antara bahan pendingin dan titik cair udara, dan ukuran lubang masukan udara.
Metode semacam ini mulapertama diterapkan oleh Browne dkk. (1974). Ada tiga teknik perangkap kriogenik yang mereka kembangkan untuk memperoleh feromon volatil kumbang kulit kayu. Seperti terlihat pada gambar 1, kayu yang ada kumbangnya diletakkan pada kotak yang akan segera dialiri udara jika tabung penampung dalam hal ini tabung erlenmeyer 750 ml ditempatkan pada tabung nitrogen cair bermulut lebar. Agar tidak terjadi pembentukan es dan penyumbatan mulut tabung, maka leher tabung penampung harus berada di atas tabung nitrogen cair.
Bersama dengan semakin bertambahnya isi Erlenmeyer oleh udara cair mengandung bahan feromon, luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran panas berkurang, dan lajur aliran udara juga berkurang. Sewaktu alirannya turun sampai di bawah laju yang diinginkan, tabung koleksi di dalam nitrogen cair dipindahkan ke freezer suhu rendah (-50 oC), sehingga udara dibiarkan menguap pelan-pelan sementara bahan feromonnya tertinggal. Agar pelaksanannya dapat dilakukan dalam waktu lebih lama (umumnya hanya 4 - 6 jam), Erlenmeyer diganti dengan tabung berbentuk U yang salah satu ujungnya dihubungkan pada mesin hampa. Dengan cara ini penguapan udara dapat berlangsung sampai 48 - 96 jam. Browne et al. kemudian menyempurnakan disainnya dengan menempatkan tabung U di dalam tabung/bejana lain secara khusus sehingga kemampuan pertukaran panas pada lubang masuk menjadi lebih besar dan evaporasi udara cair pada lubang keluar berlangsung pelan-pelan. Ujung lubang keluar ini juga dilengkapi dengan alat pengatur aliran sehingga dapat dipergunakan mengatur tekanan hampa sehingga terjadi suatu "kancing cairan". Selain itu disain ini juga menghemat nitrogen cair.
b. Perangkap Dingin.
Teknik ini dipergunakan dalam isolasi dan identifikasi feromon serangga dari beberapa ordo seperti misalnya Orthoptera, Coleoptera, Diptera dan Lepidoptera. Pada tahun 1971 teknik yang berkembang sejak awal tahun 1960an ini juga dicoba untuk analisis kuantitatif.
Salah satu teknik yang dipergunakan misalnya adalah pada Trichoplusia ni. Nitrogen dengan laju 150 ml/menit dialirkan selama 10 menit pada serangga betina individual yang ujung abdomennya ditonjolkan menggunakan forsep untuk gigi, atau di atas sejumlah mikrogram feromon sintetik yang diletakkan pada cakram tembaga. Aliran gas kemudian dilewatkan melalui sejumlah kecil karbon disulfida yang ditempatkan dalam tabung U pada suhu -70 oC hasil dari penangas es kering-aseton. Sesudah dikoleksi, permukaan gelas tabung koleksi dibasuh dengan pelarut, dan larutan karbon disulfida yang terkumpul (kl. 3 ml) diuapkan menjadi 100 μl dengan menggunakan penangas air. Selanjutnya diambil alikuot 10 μl untuk dianalisis menggunakan GLC dan secara kuantitatif diperbandingkan pada kurva detektor untuk berbagai konsentrasi bahan (Z)-7-dodesen-1-il asetat.
Cara ini secara umum masih memungkinkan kehilangan perolehan. Pada teknik di atas misalnya, terjadi kehilangan 34% karena transfer dan prosedur konsentrasi yang kurang tepat. Demikian juga pemasangan cakram tembaga dapat menjadi sumber galat, karena volume pelarut yang dipergunakan tidak dilaporkan. Beberapa peneliti perlu menggunakan faktor koreksi, sehingga banyak yang menyatakan bahwa metode ini memang kurang begitu dapat dipercaya.
c. Penjerap Resin dan Adsorben Lainnya.
Untuk koleksi feromon serangga, penjerap resin (resin adsorbent) juga telah dipergunakan sebagaimana yang umum dilakukan pada koleksi polutan air, analisis aroma, dan kajian metabolit cairan tubuh. Kapasitas adsoben bahan padat khromatografi telah dipelajari dengan sangat ekstensif, dengan dicari kesesuaiannya terhadap senyawa tertentu, meski bahan adsorben seperti itu umumnya mampu berfungsi sebagai adsorben untuk berbagai bahan organik volatil.
Kelebihan teknik ini terutama adalah tidak dibutuhkannya suhu rendah, luas permukaan yang besar karena bentuknya tepung, dan tersedia berbagai jenis untuk koleksi bahan volatil yang berbeda. Salah satu kekurangannya adalah, pada suhu yang terlalu tinggi, ada kemungkinan bahan volatil mengalami pirolisis. Pada kondisi kita di Indonesia, kendala teknik menggunakan penjerap resin adalah harganya yang mahal, sehingga prosesnya pun menjadi mahal. Sekali lagi, pemahaman khusus mengenai kimia adsorben amat dibutuhkan agar diperoleh bahan yang paling efisien.
By: Winoto
Sumber :http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=317&tkt=4
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Wilson dan Bosert, peneliti dari Harvard, membagi feromon menjadi dua subklas:
1. releaser, yang beraksi cepat menimbulkan rangsang perilaku, dan
2. primer, yang bekerja mengubah kondisi fisiologis.
Sedangkan allomon merupakan bahan kimia yang bekerja menjembatani komunikasi antar spesies dengan keuntungan bagi penghasil allomonnya. Allomon dipergunakan untuk mengusir predator, membingungkan mangsa, dan memediasi interaksi simbiotik.
Komunikasi khemis memerlukan sumber molekul, senyawa atau molekul isyarat itu sendiri dan penerima. Sumber yang paling banyak dijumpai adalah kelenjar eksokrin, yang terletak pada permukaan tubuh serangga. Kelenjar ini letaknya bervariasi: dapat di bagian alat mulut, membran intersegmental, sklerit, tungkai atau bagian tubuh lainnya. Produk kelenjar ini harus mampu menembus eksoskeleton serangga yang keras dan liat. Sel sekretori tipe I terletak tepat di bawah epidermis dan mengalirkan sekresinya ke luar melalui duktula memanjang yang merupakan lekukan epikutikula yang menjorok ke dalam (Gambar B.). Sedangkan sel skretori tipe II memiliki kutikula yang berlubang-lubang kecil sehingga sekresi dapat terperkolasi dari sel sekretori ke luar (Gambar B.)
Feromon
Dari beragam rangsang khemis yang terdapat di luar tubuh serangga, feromon harus mampu muncul dengan sifat khas dan menyampaikan pesan tertentu bagi serangga yang menerimanya. Tidak semua molekul dapat bersifat feromon. Isyarat yang dikirimkannya harus jelas, dan dalam lingkungan terestrial senyawanya harus bersifat volatil. Glukose dan glikogen sulit dipergunakan sebagai feromon. Secara teoritis, semakin besar molekulnya, semakin besar pula kemungkinannya menjadi struktur yang unik dengan sifat khas. Tetapi pada prakteknya molekul tersebut harus pula volatil, sehingga rantai karbonnya terbatasi paling banyak hanya sampai 20 saja. Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino.
Kalau jenis-jenis hormon pada subklas Insekta tak banyak bervariasi, lain halnya dengan feromon. Jenisnya demikian banyak karena masing-masing khas untuk spesies tertentu saja. Keragaman ini gunanya untuk menghindarkan terjadinya kekeliruan antara satu spesies dengan spesies lain. Agar nilai komunikasinya semakin khas, feromon kebanyakan merupakan campuran beberapa senyawa kimia, sehingga isyarat yang terkirim sebenarnya datang dari daya kerja total kumpulan senyawa tersebut.
Ruang aktif.
Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah.
Agar dapat menimbulkan rangsang, haruslah ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space".
Besar kecilnya ruang ini tergantung dari "kemauan" si pelepas feromon. Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.
Feromon Seks
Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku "courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon.
Pada mulanya diduga bahwa masing-masing spesies memiliki kekhasan molekul feromon seks yang dipergunakan untuk memikat lawan jenisnya. Molekul ini diduga khas, unik dan menimbulkan rangsang bagi lawan jenis dalam spesies yang sama, tidak pada serangga lain. Pada kenyataannya yang terdapat di alam ternyata jauh lebih menarik dan lebih kompleks dari dugaan tersebut. Kebanyakan feromon merupakan campuran kompleks dari beberapa senyawa penimbul bau, dan campuran aroma demikian memiliki perbedaan arti yang dapat cukup luas hanya karena sedikit perbedaan kadar campurannya. Karena jenisnya yang menjadi beratus-ratus (atau bahkan beribu-ribu) oleh bentukan campuran senyawanya, maka di sini hanya akan diketengahkan contoh feromon seks pada ulat sutera dan kupu-kupu ratu saja.
Ngengat sutera
Pengetahuan tentang adanya sifat atraktan yang dimiliki oleh sekresi ngengat telah diketahui sejak abad sembilanbelas ketika seorang ahli Perancis J.H. Fabre menunjukkan adanya ngengat jantan yang lebih tertarik pada sehelai kertas yang pernah ditempati ngengat betina dan mengandung sekresi ngengat, dibanding terhadap ngengat betinanya sendiri. Namun baru pada tahun 1959 elusidasi senyawa atraktan dapat dilakukan, yaitu oleh Adolf Butenandt (Jerman) yang mengidentifikasi senyawa atraktan pada ngengat sutera.
Butenandt bersama rekan-rekannya dengan tekum memotong ujung abdomen sekitar 500.000 ekor ngengat betina, kemudian mengekstraksinya menggunakan etanol-eter, memurnikan komponen aktifnya dan selanjutnya mencirikan kandungan senyawa yang diperoleh menggunakan teknik mikrokimia susunan Butenandt sendiri. Dari jumlah ngengat itu diperolehnya 12 mg atraktan murni, suatu senyawa karbon rantai 16 yang diberinya nama bombykol.
Ngengat jantan sangat sensitif terhadap senyawa ini, dan pada kenyataannya tanggapan jantan yang berupa kepakan sayap ("fluttering") merupakan cara mengukur tingkat konsentrasi senyawa feromon bersangkutan, suatu teknik bioassay sederhana. Dari percobaan-percobaan yang pernah diadakan, tingkat konsentrasi terendah yang masih dapat dideteksi ngengat jantan berkisar antara 10-6 - 10-4 æg.
Pada saat itu diduga bahwa bombikol adalah satu-satunya senyawa feromon yang dihasilkan oleh ngengat sutera betina. Dugaan ini diperbaiki oleh Kaissling dkk. (1978) dari Jerman yang menemukan senyawa aldehidnya (disebut bombikal) dalam campuran senyawa feromon dengan rasio 10:1. Adanya bombikal yang kerjanya menghambat respons ngengat jantan terhadap bombikol menyebabkan efektivitas feromon seks sutera menjadi lebih tinggi. Kisaran konsentrasinya lebih lebar, dari 10-5 sampai mendekati 100, sehingga tanggapan jantan lebih bersifat "graded" atau sedikit demi sedikit.
Detektor feromon terdapat pada antenna ngengat jantan. Antena ngengat sutera yang besar dan berbentuk seperti bulu ayam mengandung sekitar 64.000 rambut-rambut indera, yang 80% di antaranya khusus untuk menanggapi senyawa feromon. Tiap sensillum dilengkapi dengan dua neron sensorik, yang satu peka terhadap bombikol, yang lain terhadap bombikal; dan masing-masing neron mengirim rangsang secara terpisah ke otak. Otaklah yang kemudian menentukan, menanggapi rangsang tersebut atau tidak.
Di alam terdapat beribu-ribu spesies, yang pada suatu ketika betinanya melepas feromon seks sehingga terdapat berbagai senyawa feromon yang berhubungan dekat satu sama lain di udara. Ini berarti ngengat jantan harus mampu membedakan berbagai feromon dari spesies lain, dan menanggapi dengan tepat feromon spesiesnya sendiri. Roelofs dari Cornell University menunjukkan bahwa senyawa feromon dari dua spesies dengan genus yang sama (Archips argyrospillus dan A. mortuanus), sama-sama mengandung empat komponen utama, tetapi dalam perbandingan yang berbeda, yaitu 60 : 40 : 4 : 200 untuk A. argyropillus dan 90 : 10 : 1 : 200 untuk A. mortuanus.
Berapa banyak jantan yang dapat dipikat oleh seekor betina ?
Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 ng bombikol, yang secara teoritis mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Namun perhitungan ini mengabaikan kehadiran senyawa bombikal. Selain itu, yang penting dalam hal banyak-sedikitnya jumlah feromon adalah peranannya dalam memperluas ruang aktif, sehingga kemungkinan menarik lebih banyak jantan akan lebih besar.
Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis. Orientasi yang pertama berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di "atas" angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut "Schwink effect", dan berlaku baik pada ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas. Orientasi yang kedua berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek ("short-range").
Kupu-kupu ratu. Isyarat visual membantu ngengat jantan mengenali betinanya, seperti halnya pada kupu-kupu ratu (Danaus gilippus berenice). Perilaku kawinnya merupakan pertukaran isyarat yang sangat intens antara jantan dan betina, seperti dijelaskan oleh Lincoln dan Van Zandt-Bower dari Amherst College, Massachussetts.
Kupu-kupu jantan memiliki alat tubuh yang disebut rambut pensil yang merupakan sekumpulan tonjolan tipis dan halus seperti rambut pada ujung abdomen. Bila kupu jantan melihat betina terbang, segera dikejarnya dan didahului, kemudian rambut pensilnya dikibas-kibaskan di depan kepala betinanya, terutama pada antenna.Pliske dan Eisner mengamati bahwa rambut pensil ini mengandung partikel-partikel halus seperti debu, yang kemudian menempel pada antenna, namun bukan bahan ini yang bersifat memikat betina, melainkan suatu jenis bahan senyawa minyak yang disusulkan kemudian. Meinwald dkk. mendapatkan bahwa senyawa yang terkandung dalam minyak ini adalah keton dan suatu diol terpenoid cair.
Adanya rangsangan jantan pada antennanya menyebabkan betina hinggap, dan kemudian melipat sayapnya. Pada saat inilah jantan mencoba melakukan kopulasi. Penelitian Fliske dan Eisner selanjutnya menunjukkan, bahwa jantan yang dipelihara di lab dan diberi makan tumbuhan inang utama kupu-kupu ratu, lebih sering gagal berkopulasi, sementara yang dilepas di luar lab, dan bebas mencari makan, selalu berhasil melakukan mating. Pada pengamatan detail terbukti bahwa kupu-kupu biakan lab tidak memiliki senyawa keton pada feromonnya. Kupu-kupu yang hidup bebas ternyata mendapatkan prekursor keton dari tumbuhan inang lain yang hanya didatanginya dalam waktu sangat singkat, namun diperlukan agar dapat memperoleh sumber keton. Apabila pada feromon kupu biakan lab ditambahkan keton, ternyata bahwa mereka pun kemudian mampu melakukan mating dengan baik.
Feromon lain yang juga berperan penting antara lain adalah:
- feromon agregasi
- feromon alarm
- feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan.
Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya.
Feromon agregasi tersebar penggunaannya pada berbagai ordo seperti misalnya Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Familia yang paling banyak dipelajari adalah Scolytidae, Coleoptera; terutama pada kumbang kulit kayu; seperti genus Dendrocnotus dan Ips. Yang menarik, hampir semua feromon agregasi kumbang kulit kayu adalah monoterpen yang secara rumus bangun mirip dengan jenis yang dihasilkan oleh pohon inangnya. Reaksi agregasi merupakan tanggapan terhadap campuran molekul serupa yang saling menunjang efektivitas masing-masing. Komponen molekul serupa semacam itu membentuk suatu kerja kimia yang disebut sinergistik. Masing-masing senyawa sinergis mungkin cukup efektif sebagai molekul tunggal, tetapi lebih efektif jika bahan tersebut bercampur, jauh lebih efektif dibanding sekadar jumlah total efektivitas masing-masing.
Feromon Alarm merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya, dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi.
Wilson dan Bosert, ahli serangga sosial terutama semut, menduga bahwa bahan feromon alarm harus menghasilkan penanda yang bersifat lokal, jelas dan pendek/singkat. Feromon harus menyebar dengan cepat untuk dapat mengkoordinir terbentuknya pertahanan koloni dan harus segera lenyap agar tidak memunculkan tanda bahaya yang keliru. Agar dapat dilacak dengan mudah, ruang aktifnya harus sempit. Pada semut misalnya, feromon ini bahan utamanya adalah senyawa 4-metil-3-heptanon dan dikeluarkan melalui kelenjar mandibula. Jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan, isi kelenjar mandibulanya akan menyebar mencapai radius ruang aktif sekitar 6 cm dalam 13 detik, dan jika dibiarkan meluas, dalam 35 detik ruang aktif ini akan hilang. Semut pekerja lain yang mendeteksi feromon ini oleh karenanya akan menambahkan feromonnya sendiri sehingga keberadaan ruang aktifnya dapat bertahan lebih lama. Feromon alarm bersifat sangat volatil, dan kebanyakan memiliki berat molekul rendah, dengan rantai karbon 12 atau kurang. Senyawa dari kelenjar mandibula umumnya mengandung gugus keton atau aldehid, sedang yang berasal dari kelenjar Dufour (di dekat sengat) berupa hidrokarbon. Banyak di antaranya yang toksik dan rasanya tak enak, sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai senyawa pertahanan diri.
Peneliti dari Inggris (Bradshaw, Baker dan Howse) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 33 jenis senyawa volatil jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan. Dari jumlah itu ada empat jenis senyawa yang merupakan feromon alarm, dan masing memiliki volatilitas yang berbeda, mulai dari heksanal (yang sangat volatil) sampai 2-butil-2-oktenal (yang kurang volatil). Mekanisme kerjanya dapat digambarkan dengan suatu lingkaran konsentris, yang pada bagian tengahnya merupakan tempat melepas feromon. Dalam kondisi tak ada angin, bahan volatil feromon akan berdifusi ke segala arah dengan kecepatan yang berbeda karena volatilitasnya berbeda. Dalam waktu singkat heksenal akan menempati ruang aktif terbesar, atau lingkaran konsentris terluar. Bila ada serangga memasuki wilayah ini, muncul perilaku khas karena memperoleh "peringatan". Begitu serangga menuju ke lingkaran berikutnya (heksanol), serangga pekerja akan terpikat ke arah sumber feromon. Pada wilayah terdalam, terdapat 2-butil-2-oktenal sebagai penanda perilaku menggigit, dan 3-undekanon sebagai penunjuk orientasi arah jarak pendek. Setelah bahan feromon menguap, maka pengaruh heksanal dan heksanol tidak ada lagi, tetapi pekerja yang sufdah berada di tengah akan menunjukkan perilaku agresif, menggigit. Jadi feromon alarm sebenarnya akan mengawali munculnya serangkaian perilaku yang polanya sudah tertentu.
Apakah feromon alarm khas spesies atau koloni ?
Dibanding dengan feromon seks, feromon alarm kurang spesifik. Sering terjadi komponen feromon yang sama dipergunakan oleh spesies pada genus yang sama, atau beberapa genera pada subfamili yang sama. Namun juga teramati adanya feromon alarm yang berbeda pada spesies yang memiliki kekerabatan dekat, seperti yang terjadi pada genus Myrmica. Terdapat empat spesies genus ini yang dijumpai pada habitat yang serupa di Inggris dan Belgia, memanfaatkan komponen yang sama tetapi dengan proporsi senyawa yang berbeda. Akibatnya masing-masing spesies memiliki "dialek" yang berbeda.
Feromon penjejak/trail pheromone.
Karena baik makanan dan habitat bersifat terbatas, dibutuhkan penanda/pembatas wilayah dan penjejak agar penggunaan sumberdaya dapat dilakukan secara efisien. Banyak jenis makanan yang ukuran atau jumlahnya terbatas, sehingga perlu diberi tanda agar tidak dimanfaatkan individu lain. Ngengat parasitoid banyak yang menggunakan feromon penanda pada waktu meletakkan telur ke dalam tubuh inangnya. Lalat buah apel menandai tiap buah yang ditelurinya. Setelah telur dikeluarkan, serangga betina akan menyeret ovipositornya sepanjang permukaan buah untuk menyebarkan feromon penanda. Ukuran penanda tersebut disesuaikan dengan kebutuhan anakannya dari sejak menetas sampai menjadi imago.
Sebetulnya amat mudah melacak keberadaan feromon penjejak atau trail pheromone, karena dapat ditandai misalnya dari iring-iringan semut atau rayap yang mengikuti jalur tertentu. Yang sulit adalah mengidentifikasi dan mengisolasi bahannya. Jumlah senyawa feromon ini yang telah dideteksi belum genap duapuluh. Salah satunya, neokambrene A, adalah suatu terpen kompleks yang dipergunakan oleh rayap sebagai feromon jejak, kemudian terdapat sejenis senyawa pirazin yang dipergunakan oleh beberapa spesies anggota familia Myrmicinae. Setidaknya pada semut-semut ini feromon jejak tersebut tidak khas spesies. Feromon ini diproduksi oleh kelenjar racun, yang dibantu oleh sekresi volatil dari kelenjar Dufour. Komponen dari kelenjar yang terakhir ini berfungsi sebagai penarik perhatian, dan diketahui ternyata merupakan senyawa yang khas spesies. Jadi oleh adanya senyawa kelenjar Dufour suatu jejak feromon akan menjadi khas untuk suatu spesies tertentu.
Feromon Primer
Feromon primer bekerja mempengaruhi kondisi fisiologis serangga yang menerimanya. Pada umumnya diduga bahwa pengaruh feromon primer bekerja melalui sistem endokrin, artinya feromon ini mempengaruhi kelenjar endokrin, selanjutnya hormon dari kelenjar endokrin ini langsung mempengaruhi kondisi fisiologi serangga. Primer dijumpai pada serangga subsosial dan sosial, yang memungkinkan terjadinya perangsangan oleh satu individu kepada individu yang lain.
Kebanyakan feromon primer mempengaruhi kapasitas reproduksi. Sejenis feromon primer dari belalang kembara jantan dipergunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan pradewasa baik jantan maupun betina. Kumbang ulat hongkong jantan dan betina mampu mengeluarkan bahan yang mempercepat kemasakan telur serta merangsang aspek reproduksi kumbang betina muda lainnya. Bahan ratu lebah madu menghambat pertumbuhan ovarium lebah pekerja. Belalang kembara memiliki feromon primer yang efeknya mempengaruhi sifat soliter sehingga berubah menjadi sifat gregarius.
Allomon
Beberapa jenis serangga tidak disukai predator karena rasa-nya tidak enak. Rasa ini timbul karena adanya bahan kimia yang berbau busuk dan berasa tajam, suatu cara yang umum dipakai oleh hewan maupun tumbuhan untuk menjaga diri dari serangan musuhnya. Bentuk paling sederhana dari perilaku mempertahankan diri dengan bahan khemis adalah memuntahkan isi perut (regurgitasi) serangga kepada penyerangnya, seperti yang dilakukan kebanyakan belalang. Bahan khemis ini berasal dari tumbuhan yang dimakan belalang, seperti juga yang dilakukan oleh larva lalat kayu pada pohon pinus. Resin terpenoid pohon pinus disimpan dalam dua kantong di dalam perut depan (foregut). Jika diserang semut atau laba-laba, larva ini mengangkat kepalanya, meregurgitasi cairan resin, dan "meludahkannya" kepada si penyerang. Resin pohon pinus (badam) penuh dengan bahan yang tidak disukai burung serta predator lainnya.
Allomon ada yang memang telah terkandung dalam darah serangga, ada pula yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin. Kebanyakan serangga yang rasanya tak enak berpenampilan aposematik (berwarna mencolok untuk memperingatkan jasad lain), sehingga predator dapat segera mengetahui dari penampilannya bahwa mangsa yang dikejarnya beracun. Sebagai contoh kupu-kupu ratu memiliki pola warna sayap jingga dan hitam yang amat mencolok. Jika suatu allomon terdapat di dalam darah, cara keluarnya dapat terjadi dengan cara pendarahan setempat, atau autohaemorrhage. Darah menitik ke luar dari sambungan sendi seperti pada kaki, antena atau antara dua sklerit sewaktu serangga diserang lawannya. Kumbang blister yang dipegang dengan kasar akan mengeluarkan droplet darah dari antara sambungan kakinya, demikian pula kumbang macan. Darah kumbang blister mengandung kantaridin (cantharidin), sedang darah kumbang macan mengandung alkaloid prekoksinelin (precoccineline). Kedua bahan ini disintesis sendiri oleh masing-masing serangga, tidak diseskueterasi dari tanaman.
Alomon yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin disimpan dari hasil seskuiterasi (pengumpulan bahan metabolit sekunder tanaman) dalam suatu kantung kutikula. Seringkali kantung ini merupakan tempat penyimpanan yang berada di dekat kelenjar eksokrin. Isi tampungan ini kemudian disapukan pada bagian yang diserang predator, misalnya pada sejenis larva familia Papilionidae. bahan yang terkandung di dalamnya adalah asam iso-butirat dan 2-metil butirat. Bahan ini juga dapat meleleh ke luar dari mulut kelenjar ekskresi, sebagaimana halnya pada kumbang blister. Selain itu juga dapat disemprotkan dengan keras dalam bentuk kabut. Acapkali kelenjar penyemprotnya dapat diarahkan dengan amat tepat kepada sasaran/jasad lain yang mengganggu, baik itu vertebrata maupun invertebrata. Pemanfaatan allomon berhubungan dengan kebutuhan serangga untuk tetap bertahan hidup, sehingga dalam evolusinya kemampuan sintesisnya juga ditentukan oleh diet/jenis makanan serangga yang bersangkutan. Umumnya kemampuan memecah metabolit sekunder pada suatu tanaman yang mungkin berbahaya untuk jasad yang tidak spesifik pada tanaman tersebut diikuti oleh kemampuan mensekuestrasi bahan metabolit sekunder tersebut sebagai allomon. Dengan demikian dapat terjadi pemanfaatan ganda : jasad pengganggu berfungsi sebagai spesialis pada tumbuhan tertentu (mengurangi jumlah herbivora yang memanfaatkan tumbuhan tersebut); serta mendapat keuntungan dengan memperoleh bahan allomon.
Koleksi dan Identifikasi Feromon
Usaha koleksi bahan feromon baru berhasil dengan baik pada tahun 1959, ketika Butenandt menemukan bombikol, bahan feromon seks pada ngengat sutera (Bombyx mori). Pada saat itu dibutuhkan sekurangnya 10.000 ekor ngengat untuk memperoleh sejumlah kecil (beberapa ml saja) bahan feromon agar dapat diidentifikasi kandungan bahan kimianya. Sebelum tahun 1972, usaha koleksi bahan feromon memang memerlukan kerja yang amat tekun, karena diperlukan sejumlah besar individu serangga baik utuh maupun potongan bagian tertentu, untuk kemudian diekstraksi menggunakan pelarut khusus. Oleh kemajuan instrumentasi dan teknik fisikokimia saat ini, terutama dengan adanya GLC kapiler, Spektrometri Massa ion selektif, dan juga HPLC; metode deteksi dapat dilakukan dengan sensitivitas dan resolusi (daya pisah) yang amat tinggi tanpa harus menggunakan jumlah serangga yang amat besar.
Golub dan Weatherston (1984) menjelaskan bahwa untuk keperluan keberhasilan suatu program PHT, penggunaan feromon harus didahului dengan (a) penentuan secara tepat kandungan molekul campuran bahan feromon yang disekresikan oleh serangga, (b) penentuan laju produksi dan pelepasan campuran tersebut oleh serangga, dan (c) pengembangan suatu sistem pelepasan feromon terkendali untuk digunakan dalam pemantauan, perangkapan massal, dan program pengendalian menggunakan pelepasan feromon. Ketiga hal tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai efektivitas bahan yang telah diformulasi jika digunakan dalam kondisi normal.
Pada dasarnya terdapat dua metode koleksi dan kuantifikasi feromon, yaitu metode ekstraksi pelarut dan metode koleks efluvial (langsung dari udara). Telah dibuktikan oleh Silk dkk. (1980) bahwa jenis bahan yang terdapat pada kelenjar yang menghasilkan feromon dan komposisi bahan yang dilepas ke udara bisa saja berbeda. Dalam menentukan laju pelepasan feromon dari suatu sumber buatan, maka kedua metode tersebut harus diterapkan agar imbang.
Koleksi dari Sumber yang Berupa Serangga
Ekstraksi
1. Pemilihan pelarut.
Jacobson (1972) menyatakan bahwa dikhlorometan, heksan, dan dietil-eter merupakan pelarut yang banyak dipilih karena cukup volatil untuk ekstrak agar dapat terkonsentrasi tanpa perlu memanaskannya pada suhu tinggi. Tambahan lagi dikhlorometan tidak mudah terbakar. Namun ada peneliti yang lebih memilih etanol 95%, yang lebih baik daripada dikhlorometan, dietil-eter, heksan, khloroform, benzen dan aseton. Juga karena etanol 95% merupakan pelarut lemak yang jelek, maka hasilnya mengandung kontaminan lipid yang lebih sedikit (Brady & Smithwick, 1968). Karbon disulfida juga pernah dicoba, dan berhasil baik karena mudah menguapkannya dan tak responsif terhadap detektor FID (sehingga deteksi bahan feromonnya lebih mudah), tetapi penggunaannya dalam jumlah banyak terbatasi karena sifatnya yang mudah terbakar dan toksik. Namun dengan semakin pekanya sistem deteksi yang sekarang ada, penggunaannya dapat dipertimbangkan kembali karena bahan ini tidak perlu lagi dibutuhkan dalam jumlah banyak.
2. Metode ekstraksi.
Dua faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah letak kelenjar penghasil feromon dan ukuran serangganya. Cara yang pernah ditempuh Bartelt (1982) misalnya, adalah dengan meletakkan kokon serangga Pikonema alaskensis dalam kapsul gelatin; serangga betina yang muncul tiga sampai lima hari kemudian dibekukan, dan baik serangga, kokon maupun gelatinnya secara terpisah dicuci menggunakan heksan.
Beberapa serangga yang ekstraksinya langsung dilakukan pada individu utuh adalah caplak Amblyomma americanum (L.), ulat kacang Anticarsia gemmatalis (Hubner), ngengat India Plodia interpunctella (Hubner), ulat daun tembakau Heliothis virescens (F.), dan lalat zaitun Dacus oleae (Gmelin). Dengan menggunakan pelarut organik (benzen, eter), serangga direndam selama beberapa menit sampai beberapa jam, bahkan ada pula yang dihomogenisasikan. Sesudah itu dilakukan filtrasi dan penguapan pelarut, dengan prosedur yang berbeda menurut kondisi bahan feromonnya (atau dugaan kandungan bahan feromon yang paling dominan). Diperlukan pengujian beberapa metode atau modifikasinya agar dapat diperoleh jumlah feromon optimal dari ekstraksi cara ini.
Untuk Lepidoptera, metode yang paling banyak digunakan adalah mengekstrak potongan abdomen bagian posterior, tempat terletaknya kelenjar feromon seks. Pada Cadra cautella (Walker) misalnya, dicoba tiga cara ekstraksi yang berbeda terhadap ujung abdomen, dan ternyata ketiganya tidak berbeda nyata. Cara pertama dilakukan dengan memotong ujung abdomen 25 ekor ngengat betina berumur dua hari (periode optimal menjelang perkawinan) dan merendamnya pada campuran heksan: eter (1:1) pada - 220C selama tepat 24 jam; cara kedua dengan homogenisasi ujung abdomen menggunakan penggiling jaringan dari gelas setelah didinginkan -220C dan selanjutnya diekstrak residunya sesudah sentrifugasi selama 30 detik dengan 1 dan 0,5 ml pelarut; dan cara ketiga menggunakan sonikasi ujung abdomen setelah pendinginan -220C selama 24 jam menggunakan Bronwill Biosonik III yang diberi ujung mikrotip.
Pada tahun 1970an beberapa peneliti kemudian telah mampu mengembangkan teknik yang hanya membutuhkan sekelumit pelarut agar ekstraksinya dapat berlangsung cepat. engan menggunakan 0,2 - 0,5 ml eter dalam waktu 1-2 detik jumlah feromon yang dikumpulkan sudah cukup untuk analisis kuantitatif dengan menggunakan GLC tanpa proses "clean-up". Pada beberapa jenis hama gudang, dilakukan anestesi menggunakan eter atau pendinginan, kelenjar feromon diperas dengan tekanan jari pada abdomen, dan ujung abdomen dicelup ke dalam eter selama 1 - 2 detik. Sesudah dikeringkan dengan MgSO4, larutan dikonsentrasikan dengan aliran nitrogen kecepatan sedang menjadi sekitar 3 - 5 μl. Jika kemudian suatu volume tertentu (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat, senyawa alkoholnya, dan (z)-9-tetradesen-1-il asetat dikonsentrasikan menjadi 5 μl dan dicampurkan ke dalam alat penyuntik sebelum analisis GC, akan dijumpai kehilangan bahan sebesar 50 - 90%, tanda bahwa di dalam bahan yang diekstraksi terdapat senyawa feromon (yang kemudian bereaksi dengan senyawa alkoholnya sehingga terbentuk senyawa netral tak terdeteksi). Kehilangan ini selanjutnya dapat dikoreksi dengan menambahkan jumlah tertentu standard internal bervolatilitas sama sebelum dikonsentrasikan.
Koleksi Langsung dari Udara
Untuk koleksi bahan volatil di udara yang berasal dari serangga, harus ditentukan dulu apakah akan dilakukan pada udara yang bergerak atau yang diam; menggunakan teknik koleksi yang mana (kriogenik atau adsorpsi, misalnya); serta ukuran, susunan serta konstruksi bahan yang dipergunakan menyusun alat koleksi.
1. Aliran udara pasif
Dengan mengalirkan udara pada betina belum kawin ngengat spesies Choristoneura fumiferana yang ditempatkan dalam kantong plastik, diperoleh bahan aktif feromon. Agar yang terekstraksi bukanlah kontaminan atau bahan plastiknya, ada peneliti yang menggunakan misalnya bejana Mason berisikan kain kasa untuk tempat hinggap ngengat, dan kemudian dimasukkan kl. 100 ekor ngengat betina yang baru muncul dari pupa. Sesudah dua hari ngengat diambil dan bejana serta kain kasa dibasuh menggunakan eter. Metode yang sama juga dipergunakan untuk mengukur laju pelepasan feromon ngengat Plodia interpunctella. Ngengat betina sejumlah 20 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas bertutup volume 500 ml pada suhu 250C selama satu jam. Sesudah ngengat dikeluarkan dengan cepat, tabung dibasuh menggunakan 5 - 6 ml eter anhidrus, larutan disaring dan diuapkan dengan N2 pada suhu 30o C sampai tinggal 3 – 5 μl, dihisap ke dalam jarum suntik dan dianalisis. Efisiensi perolehan feromon diukur dengan menempatkan volume tertentu (nanogram) (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat dan senyawa alkoholnya pada ujung spatula baja tahan karat ke dalam tabung gelas bertutup selama satu jam (dibiarkan menguap sendiri). Ternyata bahwa 80% senyawa asetat dan 40% senyawa alkohol dapat diperoleh kembali sesudah tabung gelas dibasuh dengan pelarut organik.
Berbagai teknik dan metode yang ada telah mampu dipergunakan koleksi bahan feromon sampai pada tingkat nanogram. Teknik-teknik tersebut berguna tidak hanya untuk identifikasi saja, melainkan juga untuk mengukur laju emisi, kemampuan perolehan kembali (recovery) termasuk penyempurnaannya seperti pengaruh jumlah pembasuhan, pendinginan tabung, variasi cara koleksi dll, juga isolasi dan elusidasi bahan pada kecoa, serta laju pelepasan dan produksi feromon misalnya pada Plodia dan Dacus oleae. Teknik pengambilan langsung dari udara secara pasif (passive airflow) masih dianggap kurang memadai jika dilakukan di lingkungan secara langsung sehingga perlu dicari cara koleksi yang lebih memadai.
2. Aliran udara bergerak
a. Perangkap kriogenik. Kriogenik adalah teknik yang dilakukan pada suhu amat rendah. Dalam melakukan sampling di lapangan, suhu ini diperlukan karena pada suhu nitrogen cair (-196oC) semua senyawa organik yang umumnya terdapat di udara dapat disingkirkan. Pada sistem kriogenik, masukan udara diperoleh dengan cara membuat ruang hampa di dalam perangkap melalui kondensasi udara yang masuk. Dengan demikian ada tiga faktor yang menentukan laju masuknya udara: luas permukaan untuk kondensasi udara, perbedaan suhu antara bahan pendingin dan titik cair udara, dan ukuran lubang masukan udara.
Metode semacam ini mulapertama diterapkan oleh Browne dkk. (1974). Ada tiga teknik perangkap kriogenik yang mereka kembangkan untuk memperoleh feromon volatil kumbang kulit kayu. Seperti terlihat pada gambar 1, kayu yang ada kumbangnya diletakkan pada kotak yang akan segera dialiri udara jika tabung penampung dalam hal ini tabung erlenmeyer 750 ml ditempatkan pada tabung nitrogen cair bermulut lebar. Agar tidak terjadi pembentukan es dan penyumbatan mulut tabung, maka leher tabung penampung harus berada di atas tabung nitrogen cair.
Bersama dengan semakin bertambahnya isi Erlenmeyer oleh udara cair mengandung bahan feromon, luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran panas berkurang, dan lajur aliran udara juga berkurang. Sewaktu alirannya turun sampai di bawah laju yang diinginkan, tabung koleksi di dalam nitrogen cair dipindahkan ke freezer suhu rendah (-50 oC), sehingga udara dibiarkan menguap pelan-pelan sementara bahan feromonnya tertinggal. Agar pelaksanannya dapat dilakukan dalam waktu lebih lama (umumnya hanya 4 - 6 jam), Erlenmeyer diganti dengan tabung berbentuk U yang salah satu ujungnya dihubungkan pada mesin hampa. Dengan cara ini penguapan udara dapat berlangsung sampai 48 - 96 jam. Browne et al. kemudian menyempurnakan disainnya dengan menempatkan tabung U di dalam tabung/bejana lain secara khusus sehingga kemampuan pertukaran panas pada lubang masuk menjadi lebih besar dan evaporasi udara cair pada lubang keluar berlangsung pelan-pelan. Ujung lubang keluar ini juga dilengkapi dengan alat pengatur aliran sehingga dapat dipergunakan mengatur tekanan hampa sehingga terjadi suatu "kancing cairan". Selain itu disain ini juga menghemat nitrogen cair.
b. Perangkap Dingin.
Teknik ini dipergunakan dalam isolasi dan identifikasi feromon serangga dari beberapa ordo seperti misalnya Orthoptera, Coleoptera, Diptera dan Lepidoptera. Pada tahun 1971 teknik yang berkembang sejak awal tahun 1960an ini juga dicoba untuk analisis kuantitatif.
Salah satu teknik yang dipergunakan misalnya adalah pada Trichoplusia ni. Nitrogen dengan laju 150 ml/menit dialirkan selama 10 menit pada serangga betina individual yang ujung abdomennya ditonjolkan menggunakan forsep untuk gigi, atau di atas sejumlah mikrogram feromon sintetik yang diletakkan pada cakram tembaga. Aliran gas kemudian dilewatkan melalui sejumlah kecil karbon disulfida yang ditempatkan dalam tabung U pada suhu -70 oC hasil dari penangas es kering-aseton. Sesudah dikoleksi, permukaan gelas tabung koleksi dibasuh dengan pelarut, dan larutan karbon disulfida yang terkumpul (kl. 3 ml) diuapkan menjadi 100 μl dengan menggunakan penangas air. Selanjutnya diambil alikuot 10 μl untuk dianalisis menggunakan GLC dan secara kuantitatif diperbandingkan pada kurva detektor untuk berbagai konsentrasi bahan (Z)-7-dodesen-1-il asetat.
Cara ini secara umum masih memungkinkan kehilangan perolehan. Pada teknik di atas misalnya, terjadi kehilangan 34% karena transfer dan prosedur konsentrasi yang kurang tepat. Demikian juga pemasangan cakram tembaga dapat menjadi sumber galat, karena volume pelarut yang dipergunakan tidak dilaporkan. Beberapa peneliti perlu menggunakan faktor koreksi, sehingga banyak yang menyatakan bahwa metode ini memang kurang begitu dapat dipercaya.
c. Penjerap Resin dan Adsorben Lainnya.
Untuk koleksi feromon serangga, penjerap resin (resin adsorbent) juga telah dipergunakan sebagaimana yang umum dilakukan pada koleksi polutan air, analisis aroma, dan kajian metabolit cairan tubuh. Kapasitas adsoben bahan padat khromatografi telah dipelajari dengan sangat ekstensif, dengan dicari kesesuaiannya terhadap senyawa tertentu, meski bahan adsorben seperti itu umumnya mampu berfungsi sebagai adsorben untuk berbagai bahan organik volatil.
Kelebihan teknik ini terutama adalah tidak dibutuhkannya suhu rendah, luas permukaan yang besar karena bentuknya tepung, dan tersedia berbagai jenis untuk koleksi bahan volatil yang berbeda. Salah satu kekurangannya adalah, pada suhu yang terlalu tinggi, ada kemungkinan bahan volatil mengalami pirolisis. Pada kondisi kita di Indonesia, kendala teknik menggunakan penjerap resin adalah harganya yang mahal, sehingga prosesnya pun menjadi mahal. Sekali lagi, pemahaman khusus mengenai kimia adsorben amat dibutuhkan agar diperoleh bahan yang paling efisien.
By: Winoto
Sumber :http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=317&tkt=4
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Mengapa Serangga Tertarik Dengan Cahaya
Gara-gara ada serangga kecil (entah apa namanya) yang nempel dimonitor dan akhirnya membuat saya penasaran untuk mencari jawaban kenapa sih serangga tersebut selalu nempel di monitor walaupun sudah diusir berkali-kali. Ternyata.. serangga yang aktif dimalam hari memang menggunakan cahaya sebagai alat bantu navigasi, contohnya cahaya bulan dan bintang, karena penglihatan mereka memang buruk, dan ini merupakan proses alami yang telah terjadi sejak dahulu kala, maka begitu melihat ada cahaya sudah menjadi insting dan refleks mereka kali jadi pengennya nempel mulu..tapi kalo cahaya lilin kayaknya gak mau deket2 sih.. ntar kebakar donk.. huhehehehe.. nah reaksi serangga terhadap cahaya itu disebut dengan phototaxis. O ya.. intensitas dan warna cahaya juga katanya bisa mempengaruhi serangga-serannga apa saja yang mau nempel didekatnya.. gak percaya?? coba aja.. huheheehe..
sumber : http://dwimurdianto.blogspot.com/2007_02_01_archive.html
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
sumber : http://dwimurdianto.blogspot.com/2007_02_01_archive.html
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Thursday, July 24, 2008
KENTANG
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Family Solanaceae
Deskripsi
Kentang merupakan tanaman dikotil yang bersifat semusim dan berbentuk semak/herba. Batangnya yang berada di atas permukaan tanah ada yang berwarna hijau, kemerah-merahan, atau ungu tua. Akan tetapi, warna batang ini juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan keadaan lingkungan. Pada kesuburan tanah yang lebih baik atau lebih kering, biasanya warna batang tanaman yang lebih tua akan lebih menyolok. Bagian bawah batangnya bisa berkayu. Sedangkan batang tanaman muda tidak berkayu sehingga tidak terlalu kuat dan mudah roboh.
Manfaat
Kentang sangat digemari hampir semua orang. Bahkan di beberapa daerah, ada yang menjadikannya makanan pokok. Selain itu, kentang juga banyak mengandung vitamin B, vitamin C, dan sejumlah vitamin A. Sebagai sumber karbohidrat yang penting, di Indonesia, kentang masih dianggap sebagai sayuran yang mewah.
Nutrisi, Nilai per 100 gram porsi makanan
Air, 83.29 g
Energi, 58 kcal
Energi, 243 kj
Protein, 2.57 g
Total Lemak, 0.1 g
Karbohidrat, 12.44 g
Serat, 2.5 g
Ampas, 1.61 g
Mineral
Kalsium, Ca, 30 mg
Besi, Fe, 3.24 mg
Magnesium, Mg, 23 mg
Phospor, P, 38 mg
Potassium, K, 413 mg
Sodium, Na, 10 mg
Seng, Zn, 0.35 mg
Tembaga, Cu, 0.423 mg
Mangan, Mn, 0.602 mg
Selenium, Se, 0.3 mcg
Vitamin
Vitamin C, asam ascorbic, 11.4 mg
Thiamin, 0.021 mg
Riboflavin, 0.038 mg
Niacin, 1.033 mg
Asam Pantothenic, 0.302 mg
Vitamin B-6, 0.239 mg
Folate, 17.3 mcg
Vitamin B-12, 0 mcg
Vitamin A, 0 IU
Vitamin A, RE, 0 mcg_RE
Lemak
Asam Lemak Jenuh, saturated, 0.026 g
10:0, 0.001 g
12:0, 0.003 g
14:0, 0.001 g
16:0, 0.016 g
18:0, 0.004 g
Asam Lemak Tak Jenuh, monounsaturated, 0.g
16:1, 0.001 g
18:1, 0.001 g
Asam Lemak Tak Jenuh, polyunsaturated, 0.043 g
18:2, 0.032 g
18:3, 0.010 g
Kolesterol, 0 mg
Syarat Tumbuh
Kentang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya. Keadaan iklim dan tanah merupakan hal penting yang perlu diperhatikan, di samping faktor penunjang lainnya. Kentang dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi antara 500-3.000 m dpl. Dan, yang terbaik adalah pada ketinggian 1.300 m dpl dengan suhu relatif sekitar 20°C. Selain, itu daerah dengan curah hujan 200-300 mm setiap bulan atau 1.000 mm selama masa pertumbuhan kentang merupakan daerah yang baik untuk pertumbuhan kentang. Tanah yang baik untuk kentang adalah tanah yang subur, dalam, drainase baik, dan pH antara 5-6,5. Pada tanah yang pHnya rendah, akan dihasilkan kentang yang mutunya jelek.
Pedoman Budidaya
Kentang dikembangbiakkan dengan umbi. Umbi yang baik untuk ditanam adalah umbi yang telah bertunas sehingga perlu diadakan penunasan. Penunasan berarti menumbuhkan sejumlah tunas yang sehat dari umbi bibit beberapa minggu sebelum ditanam sehingga diperoleh tanaman yang seragam. Penunasan dilakukan sekitar 2 bulan menjelang tanam pada rak-rak penumbuh berukuran 60 x 40 x 10 cm dengan kaki 7,5 cm. Rak-rak penumbuh ini disusun bertingkat. Banyaknya rak tergantung dari umbi yang akan ditunaskan. Rak itu diletakkan di tempat yang tidak langsung kena sinar matahari. Apabila menggunakan sinar matahari langsung, suhu tidak boleh terlampau tinggi. Dan, setelah tunas-tunas kecil keluar, bibit harus dipindahkan ke tempat yang lebih dingin (6-12° C). Untuk setiap hektar, kentang varietas Granola, membutuhkan 1.500-2.000 kg bibit. Sambil menunggu umbi bertunas, dilakukan pengolahan tanah. Tanah dibajak atau dicangkul, kemudian diistirahatkan selama 1-2 minggu untuk memperbaiki keadaan tata udara tanah. Selanjutnya tanah diratakan, diikuti dengan pembersihan rerumputan liar. Setelah itu pada tanah itu dibuatkan garitan-garitan sedalam 5- 10 cm. Jarak antargaritan biasanya disesuaikan dengan jarak tanam yang akan digunakan. Sedangkan jarak tanam yang digunakan tergantung pada jenis kentang yang akan diusahakan. Penanaman dilakukan bersamaan dengan pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang. Untuk setiap hektar, diperlukan sekitar 20 ton pupuk kandang, 500 kg Urea, 300 kg TSP, dan 200 kg KCI. Pupuk ini diletakkan di antara umbi-umbi di dalam garitan yang selanjutnya ditimbun dengan tanah. Bibit kentang akan tumbuh di atas tanah ± 10 hari kemudian.
Pemeliharaan
Setelah tanaman berumur sebulan, tanaman mulai didangir dan dibumbun. Pembumbunan ini penting untuk mencegah agar umbi kentang yang terbentuk tidak terkena sinar matahari.
Hama dan Penyakit
Hama yang sering menyerang tanaman kentang antara lain sebagai berikut. Aphids atau kutu daun Aphids (Myzus persicae Sulz., Aphis gossypii Glov., dan A. spiraecola Patch.) ini dapat menularkan penyakit yang disebabkan oleh virus. Pengendaliannya dapat dengan menggunakan insektisida sistemik seperti Furadan 3 G (80 kg/ha), atau dengan Desis 2,5 EC (0,04%), Tamaran 200 LC (0,2 %), dan Hostatron 40 EC (0,2 %). Wereng kentang Wereng kentang (Empoasca fabae Harr.) dapat menyebabkan kerusakan pada daun kentang. Selain itu, sambil memakan daun hama ini menyuntikkan zat beracun hytotoximia sehingga menimbulkan kerusakan pada daun seperti terbakar. Yang biasa menyerang kentang adalah nimfa dan serangga dewasa. Serangga dewasa berwarna hijau kekuning-kuningan dan panjangnya 2,35-2,65 mm. Pengendaliannya sama seperti pada aphids. Thrips Thrips (Thrips palmy Karny) adalah hama yang kecil sekali, sulit dilihat dengan mata telanjang. Hama ini berkembang biak secara partenogenesis (telur dapat menetas tanpa dibuahi). Thrips menimbulkan kerusakan karena ia mengisap cairan daun sehingga warna daun berubah menjadi keperakan. Serangan yang berat dapat terjadi pada cuaca kering dan dapat mengakibatkan semua daun mengering lalu mati. Pemberantasannya dapat dengan meng- gunakan Orthene 75 SP (0,1 %), Tamaron 200 LC (0,2 %), atau Bayrusi1250 EC (0,2 %). Kumbang kentang Larva dan serangga dewasa kumbang kentang (Ephilachna sparsa forma vigintioctopunctata Boisd.) memakan jaringan daun sehingga yang tinggal hanyalah tulang-tulang daun dan lapisan epidermis. Serangga dewasa panjangnya sekitar 1 cm, berwarna merah, dan berbintik-bintik hitam. Pemberantasannya sama seperti hama thrips. Penggerek umbi kentang Penggerek umbi kentang (Phthorimaea operculella Zell.) merusak umbi kentang di dalam gudang dan memakan daun kentang di lapangan. Gejala serangannya adalah daun berwarna merah tua dan tampak adanya jalinan seperti benang yang membungkus ulat kecil berwarna kelabu. Biasanya daun menggulung karena larvanya bersembunyi di dalamnya. Sedangkan gejala serangan pada umbi di dalam gudang adalah tampak adanya kotoran yang berwarna cokelat tua pada kulit umbi. Apabila umbi dibelah, akan tampak lubang-lubang atau alur-alur. Pemberantasannya di lapanb an adalah dengan menyemprotkan Tamaron 200 LC (0,2010) atau Orthene 75 SP (0,1 %). Sedangkan pemberantasannya di gudang adalah dengan menggunakan Sevin 5 D sebanyak 1,5 kg/ton kentang, atau dengan menaburkan serbuk daun Lantana camara yang telah dikeringkan setebal 2 cm pada umbi kentang. Penyakit Penyakit yang sering menyerang pertanaman kentang antara lain sebagai berikut. Bercak kering Gejala serangannya adalah mula-mula tampak berupa bercak kecil pada daun-daun bawah, kemudian berkembang. Bercak ini berwarna cokelat dengan tanda khas berupa lingkaran-lingkaran. Serangan dapat dijumpai pada tangkai daun, batang, bahkan umbi. Pada tangkai daun dan batang, gejala serangannya berupa bercak cokelat yang memanjang. Sedangkan pada umbi, bercaknya agak melekuk, pinggirannya menonjol bulat, dan dalamnya sekitar 0,3 cm. Penyebab penyakit ini adalah jamur Altenaria solani. Penyakit ini dapat dicegah dengan Dithane M-45, Blitox-50, dan Antracol. Busuk daun Gejala serangan tampak dengan adanya bercak basah bertepi tidak teratur pada tepi daun atau tengahnya. Bercak ini kemudian melebar dan terbentuklah daerah nekrotik berwarna cokelat. Di sekitar daerah itu, terdapat bagian yang berwarna hijau kelabu yang dihasilkan oleh massa sporangium yang tampak berwarna putih. Serangan juga dapat terjadi pada tangkai daun atau tangkai anak daun dengan warna cokelat, melingkar, agak mengendap, dan dapat menimbulkan defoliasi. Penyakit busuk daun ini disebabkan oleh Phytophthora infestans, yang umumnya dijumpai pada tanaman kentang yang berumur 5-6 minggu ke atas. Untuk pengendaliannya sebaiknya kita menggunakan varietas yang tahan atau penggunaan fungisida yang telah diizinkan pemakaiannnya. Penyakit tanaman kentang lainnya adalah penyakit layu fusarium, kanker batang, dan penyakit kudis.
Panen dan Pasca Panen
Umur panen kentang berbeda menurut jenisnya, tetapi umumnya dipanen saat berumur 3-4 bulan setelah tanam. Setelah panen, sebaiknya kentang dipungut seminggu setelah daun dan ujung batangnya kering. Bila belum kering, mutu umbinya akan rendah dan kulitnya akan lecet sehingga tidak bisa dijadikan bibit. Penggalian untuk memungut umbi harus berhati-hati jangan sampai umbinya terluka kena cangkul atau alat penggali lainnya.
Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=1
http://www.asiamaya.com/nutrients/kentang.htm
Subscribe to:
Posts (Atom)