Saturday, May 24, 2008

Sesawi

Tanaman ini hidup di Israel dan dapat mencapai tinggi sampai 4-5 meter di tanah yang baik, normalnya biasanya sekitar 1,2 meter. Sesawi termasuk dalam jenis tanaman sayuran. Biji sesawi merupakan biji yang paling kecil dari semua benih yang digambar-kan di dalam Alkitab.

Sesawi (brassica nigra, Latin | sinapsis, Yunani) merupakan tanaman penting di Israel, tumbuh sebagai tanaman yang beraroma dan bijinya berminyak, biasanya dibuat rempah-rempah dalam bentuk bubuk atau bisa dibuat dalam bentuk pasta / adonan kental. Sedangkan untuk daun yang hijau dapat dimakan sebagai sayuran.

Beberapa ahli mengatakan biji sesawi hitam biasanya diolah menjadi minyak yang dipakai untuk keperluan masak memasak. Tanaman pohon sesawi yang besar menjadi kesukaan dan sering dikunjungi oleh burung-burung kecil.
Klasifikasi

Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Familia : Brassicaceae (suku sawi-sawian)
Genus : Brassica
Spesies : Brassica nigra (L.) W.D.J. Koch

Kerabat dekat:
Sawi putih, Sawi daging, Kol rabi, Brokoli, Kubis, Kembang kol, Sawi hijau, Rutabaga, Kol rabi, Kol tunas, Kol keriting

Sumber :
http://www.plantamor.com/spcdtail.php?recid=1913&popname=Sesawi%20hitam
http://www.gkjtp.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=68




Friday, May 16, 2008

Kembali ke Sayuran Organik

by : Luther Sembiring

SAYUR organik kini banyak dicari. Keinginan masyarakat mengonsumsi back to nature (kembali ke alam) menjadikan produk bebas pestisida ini diminati masyarakat. Sayangnya, saat ini baru bisa dilihat di supermarket tertentu dengan harga relatif mahal.

Pada pameran sayuran organik di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Selasa(4/3), sayuran dan buah-buahan kategori ini dijual sekitar Rp5.000 per 200 gram hingga Rp15.000 per 300 gram.

Sayur jenis white pachcoy aeroponic, kailan aeroponic, butterhead aeroponic, lollorosa aeroponic, dan kangkung misalnya dijual Rp5.000 per kemasan 250 gram. Tomat kuning dipatok Rp10.000 per kg, dan tomat unik Rp15.000 per 300 gram.

Erwin Dali, marketing PT Kebun Sayur Segar, mengatakan, sayuran organik dipasarkan di supermarket. ''Biasanya pembeli hanya orang-orang di kota seperti Jakarta,'' katanya.

Selain beredar di supermarket, masyarakat penggemar sayuran nonpestisida ini dapat memburu di kawasan pertanian di Parung, Bogor, Jawa Barat. Di kawasan ini memang dikenal sebagai area tanam sayur organik kalangan orang berduit dari Jakarta.

Sayur, ditanam pada tempat seperti kolam. Dengan mesin pompa, pupuk cair diedarkan ke setiap petakan kolam yang ditumbuhi bibit sayuran. Areal tanaman ini ditutupi terpal guna melindungi tanaman dari cuaca panas, hujan, hama atau wereng hingga tidak perlu menggunakan pestisida.

Benih sayuran terlebih dulu disemai sebelum diletakkan pada kolam yang sudah diberi pengambangan. Tanaman sayur akan mengambang di air dan tumbuh subur. Buah tomat diletakkan di kantung plastik (polyback) yang diberi jerami lapuk.

Dia mengatakan, buah tomat hydroponic organic dapat dipanen dalam waktu dua bulan. Tanaman produktif berbuah selama empat bulan ke depan. Untuk sayur-sayuran, waktu panen setelah 40 hari masa tanam. Luther Kembaren

sumber : http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Ekonomi%20Mikro/Sektor%20Riil&rbrk=&id=38844&postdate=2008-03-06&detail=Ekonomi%20Mikro/Sektor%20Riil


POTENSI PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA PADA BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK

Muhammad Sarjan
Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian UniversitasMataram
Jl. Pendidikan Mataram-Lombok-NTB


ABSTRAK

Hama merupakan salah satu masalah yang penting diperhatikan dalam usaha produksi tanaman secara umum karena hama mampu menurunkan produksi secara signifikan baik kualitatif maupun kuantitatif. Demikian juga halnya pada tanaman sayuran yang sebagaian besar produknya dikonsumsi dalam keadaan segar, masih mengandalkan insektisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama. Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang sangat perlu dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan terhadap mahluk hidup lainnya serta satwa-satwa liar. Oleh karena itu harus dicari cara alternatif yang lebih aman dalam pengendalian hama antara lain dengan mengusahakan budidaya pertanian organik yang pada prinsipnya meminimalkan input produksi seperti pupuk dan pestisida dari senyawa kimia sintetis. Salah satu komponen dalam budidaya organik adalah pemanfaatan pestisida non-kimiawi sintetis baik berupa insektisida hayati maupun nabati untuk mengendaliklan hama. Sementara ini sudah banyak dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama dari berbagai spesies dengan hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya penggunaan pestisida nabati terutama untuk mendukung usaha pengembangan sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan dipaparkan bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem budidaya sayuran organik.
Kata kunci: Insektisida nabati, sayuran organik


PENDAHULUAN

Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang sangat dilematis, terutama pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di satu pihak dengan digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme penggangu tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti berkembangnya ras hama yang resisten terhadap insektisida, resurjensi hama, munculnya hama sekunder, terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta terjadinya pencemaran lingkungan (Prijono, 1994). Sedangkan di lain pihak tanpa pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang diakibatkan OPT (Kardinan, 2001).
Untuk mengatasi masalah tersebut dan menciptakan tanaman holtikultura terutama sayuran yang ramah lingkungan untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi maka penerapan usaha tani berbasis organik (pertanian organik) merupakan keharusan (Anonim,2004). Saat ini petani menerapkan budidaya sayuran organik sebagai respon terhadap semakin perlunya kesehatan konsumen dan produsen, dan juga sebagai upaya untuk membuat pertanian yang berwawasan lingkungan (Riza dan Tahjadi, 2001).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi menyebabkan bertambahnya permintaan sayuran, dan jenis sayurannya pun semakin bervariasi. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan produksi tanaman sayuran antara lain dengan cara mengembangkan pertanian organik yang diharapkan dapat menghasilkan produk pertanian yang mampu bersaing di pasaran, karena pertanian organik selain mempunyai biaya produksi rendah, juga hasil panen umumnya mengandung residu bahan kimia yang relatif rendah, sehingga hasilnya digemari oleh masyarakat. Saat ini banyak konsumen yang menuntut kualitas produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi, sehingga pengembangan pertanian organik ke depan mempunyai prospek yang bagus, jika dikelola dengan baik, dan menerapkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan (Sustainable Agricultural Development) (Anonim, 2004).
Beberapa tindakan pengendalian yang dapat digunakan untuk mecegah serangan hama pada tanaman sayuran antara lain dengan teknik bercocok tanam (rotasi tanaman, sanitasi), penggunaan varietas yang tahan, pengendalian hayati dengan memanfaatkan predator dan parasitoid, pengendalian dengan menggunakan pestisida botani dari ekstrak tumbuhan serta pengendalian secara kimia dengan menggunakan insektisida. Budidaya sayuran organik dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada berupa pestisida hayati dan botani serta pengunaan pupuk organik diharapkan dapat menekan populasi dan intensitas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada ekosistem sayuran organik. Sementara ini sudah banyak dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama dari berbagai spesies dengan hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha pengembangan sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil produk sayuran dengan penggunaan insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan dipaparkan bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem budidaya sayuran organik.


POTENSI TUMBUHAN TROPIS SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI

Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida botani dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Dilaporkan bahwa lebih dari 1500 jenis tumbuhan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge & Ahmed, 1988). Di Filipina, tidak kurang dari 100 jenis tumbuhan telah diketahui mengandung bahan aktif insektisida (Rejesus, 1987). Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et. al., 1993; Isman, 1995), namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Anggota Meliaceae yang paling banyak diteliti adalah nimba/mimba (Azadirachta indica A. Juss) dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tanaman ini tersebar di daratan India. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di sekitar Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur). Ekstrak biji tanaman mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Senyawa aktif dari tanaman ini memiliki aktivitas insektisida, antifeedant dan penghambat perkembangan (Scmutterer & Singh 1995) serta berpengaruh terhadap reproduksi berbagai serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Sediaan insektisida komersial dengan formulasi dasar ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan India (Wood et al. 1995, Parmer 1995). Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida.
Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan salah satu tanaman yang akhir-akhir ini banyak diteliti aktivitasnya. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik. Di Indonesia tumbuhan ini dapat ditemui tumbuh di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Flores. Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan, pacar cina) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya, yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah diisolasi dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A. duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta daun A. harmsiana. Tiga jenis tanaman yang disebutkan terakhir tumbuh dengan baik di Kebun Raya Bogor. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat perkembangan.
Beberapa spesies tanaman famili Annonaceae ternyata cukup berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Jenis-jenis tanaman famili Annonaceae yang disebutkan di atas umum dijumpai di Indonesia. Ekstrak biji tanaman srikaya (Annona squamosa) dan nona seberang (A. glabra) mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi terhadap Crocidolomia binotalis (Basana & Prijono, 1994; Prijono et al., 1995). Sementara itu Budiman (1994) melaporkan ekstrak biji tanaman A. reticulata, A. montana, A. deliciosa dan Polyalthia littoralis efektif terhadap serangga gudang Callosobruchus chinensis. Senyawa aktif utama dalam A. sqoamosa dan A. glabra adalah squamosin dan asimisin yang termasuk golongan asetogenin (Mitsui et al., 1991). Di samping itu mungkin masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang belum dilaporkan berpotensi sebagai pestisida nabati yang perlu dieksplorasi dan diujicoba.
HASIL UJI COBA DAN IMPLEMENTASI INSEKTISIDA NABATI PADA BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK

Penggunaan pestisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama mempunyai dampak negatif terhadap komponen ekosistem lainnya seperti terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan. Alternatif lain untuk pengendalian hama yaitu dengan memanfaatkan senyawa beracun yang terdapat pada tumbuhan yang dikenal dengan insektisida nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenolik (Anonim, 1994).
Efektivitas suatu bahan-bahan alami yang digunakan sebagai insektisida nabati sangat tergantung dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang berbeda dapat menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat racunnya tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut (Grainge and Ahmed 1987 dalam Wasiati 2003). Menurut Sarjan dan Wiresyamsi (1997), penggunaan insektisida non kimiawi sintetis nimba (Azadirachta indica) dan Bt memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai agen pengendali hama ulat kubis Plutella xylostella yang dalam prakteknya hampir sama dengan insektisida kimia Sumithion 50 EC mampu menekan intensitas serangan sekitar 80%.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tumbuhan dan tanaman yang berpotensi sebagai pestisida yang aman bagi lingkungan. Namun sampai saat ini pemanfaatan belum dilakukan secara maksimal dan di bawah ini hasil penelitian yang telah dilakukan pada budidaya sayuran organik Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 2.000 jenis tanaman yang telah dikenal memiliki kemampuan sebagai pestisida. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) di Bogor memiliki koleksi puluhan jenis tanaman yang dapat dipakai sebagai insektisida. Penelitian tentang tanaman-tanaman beracun botani di Indonesia dimulai sejak didirikannya Pusat Ilmu Pengetahuan Botani oleh Belanda pada tahun 1888. Sementara itu, penelitian tentang pemanfaatan tanaman tuba (Derris sp.), bunga krisan liar (Pyrethrum), dan bengkuang sebagai pestisida botani dimulai sejak tahun 1950 an di Bogor (Novizan, 2002).
Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensi insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, dan Rutaceae (Arnoson et al., 1993 ; Isman, 1995 dalam Sarjan 2005). Potensi insektisida nabati yang berasal dari famili Meliaceae terutama ekstrak biji memiliki aktifitas penghambat makan dan penghambat perkembangan yang kuat terhadap serangga, seperti nimba memiliki senyawa azadirachtin yang bersifat racun perut. Selain dari famuli Meliaceae, tanaman dari famili Annonaceae yang potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber insektisida nabati adalah srikaya. Senyawa aktif utama yang terkandung dalam srikaya adalah squamosin yang termasuk senyawa asetogenin, yang memiliki efek kontak cukup baik terhadap serangga (Djoko, 1994).
Seperti dilaporkan oleh Sarjan (2004) menyatakan bahwa penggunaan insektisida non kimia sintetis dari nimba, dan srikaya mempunyai kemampuan untuk menekan populasi Spodoptera litura F. dan melestarikan populasi musuh alami berupa predator pada tanaman kedelai. Selain mampu menekan populasi S. litura, insektisida non kimia sintetis nimba memiliki potensi yang cukup tinggi yaitu mampu menekan intensitas serangan yang hampir sama dengan insektisida kimia. Sedangkan insektisida non kimia sintetis dari srikaya memiliki kemampuan yang paling rendah dalam mengendalikan hama ulat kubis Plutella xylostella (Sarjan dan Wiresyamsi, 1997).
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana keberadaan hama pengisap daun, Thrips parvispinus dan Myzus persicae pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata- rata populasi Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional yaitu 137,59 ekor/tanaman untuk nimfa, dan 41,01 ekor/tanaman untuk imago dibandingkan dengan kondisi organik berturut-turut sebesar 74,89% dan 23,05%. Sedangkan intensitas serangan kedua hama pengisap daun tersebut tidak berbeda antara tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dibandingkan dengan konvensional. Tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik berproduksi lebih tinggi yaitu 125 kw/ha dari pada tanaman secara konvensional sebesar 120 kw/ ha.
Tabel 1. Uji Statistik T-Test Untuk Populasi dan Intensitas Serangan Hama Pengisap Daun Tomat yang Diperlakukan Secara Konvensional dan Organik.
Uraian
Organik
Konvensional
F. hitung
F. tabel
t.hitung
t. tabel
ket
Populasi Hama (ekor/ 8tanaman)
Imago Myzus persicae
0,65
0,53
2,086815
1,860811
0,67818
2,006646
NS
Imago Thrips parvispinus
23,05
41,01
2,694896
1,860811
2,408404
2,010635
S
Nimfa Thrips parvispinus
74,89
1376,59
2,636344
1,860811
2,27959
2,010635
S
Intensitas serangan (%/8 tanaman)
Myzus persicae
0,05
0,04
1,3682203
1,860611
0,6760154
2,001717
NS
Thrips parvispinus
3,01
3,69
1,060862
1,860811
1,747459
2,001717
NS
Sumber : Data Primer diolah
Besarnya populasi dan intensitas serangan serta pola fluktuasi hama Myzus persicae pada kondisi organik dan konvensional hampir sama pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. Rata- rata populasi dan intensitas serangan Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional dibandingkan dengan kondisi organik.
Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangan pada kedua kondisi tanaman tomat yang dibudidayakan secara konvensional dan organik adalah sama yaitu mulai meningkat sejak tanaman berumur 22 hari setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur tanaman antara 32 dan 37 hari setelah tanam untuk Thrips parvispinus dan 42 hari setelah tanam untuk Myzus persicae. Perlakuan secara organik dapat menghasilkan tomat lebih tinggi dari pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional yaitu 125 kw/ ha untuk organik dan 120 kw/ ha untuk konvensional.

A B
Gambar 1. Fluktuasi populasi imago (A) dan Intensitas Serangan (B) Myzus persicae yang menyerang tanaman tomat pada dua sistem budidaya yang berbeda.
Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi dan intensitas serangan hama Thrips parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara organik maupun secara konvensional . Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan juga hampir sama yaitu menncapai puncakya pada saat tanaman berumur 87 – 97 hari. Namun berdasarkan hasil yang dicapai menunjukkan bahwa produksi cabe pada kondisi organik lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional yaitu , tanaman cabai merah yang dibudidayakan secara organik mampu menghasilkan buah dua kali lipat dibandingkan dengan hasil budidaya secara konvensional, sehinga budidaya cabai merah secara organik mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.
Tabel 2. Data hasil analisis rata-rata populasi dan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.
No.
Analisis
Pengamatan
Populasi
Intensitas Serangan
1
F hitung
1,617566
1,386460
2
F tabel
1,860811
1,860812
3
T hitung
1,347937
1,618329
4
T tabel
2,001716
2,001716
Keterangan
NS
NS


Gambar 2. Perkembangan populasi hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.

Gambar 3. Perkembangan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.
Perkembangan populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang sama, dimana hama ini akan mencapai puncaknya pada saat fase tanaman mengahsilkan tunas-tunas muda dan menurun pada saat bagian tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan insektisida (baik kimiawi sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun demikian terlihat bahwa hasil cabe merah yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada konvensional. Oleh karena itu budidaya cabae merah secara organik mempunyai prospek untuk dikembangkan baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama pengisap daun, maupun untuk tujuan peningkatan produksi.
Pada tanaman kubis, untuk mengetahui fluktuasi intensitas serangan ulat S. litura pada kondisi yang berbeda yaitu pada sisitem budidaya organik dan konvensional telah dilakukan penelitian yang menunjukan bahwa tidak terdapat berbedaan intensitas serangan ulat S. litura pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik dan konvensional dengan pola fluktuasi yang berbeda. Intensitas serangan S. litura mencapai puncaknya pada umur tanaman 27 hari setelah tanam pada kondisi organik , sedangkan pada kondisi konvensinal pada 42 hari setelah tanam.
Tabel 3. Uji statistik t-test intensitas serangan ulat Spodoptera litura pada tanaman kubis yang diperlakukan secara organik.dan konvensional
Parameter
Organik
Konvensional
F. hitung
F. tabel
t. hitung
t. tabel
ket
Intensitas serangan
2,561
2,900
2,207
3,179
- 0,642
2,101
NS
Sumber : Data Primer Diolah
Rata-rata intensitas serangan hama Spodoptera litura tidak berbeda pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik maupun konvensional. Pola fluktuasi intensitas serangan hama Spodoptera litura cendrung berbeda pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik maupun konvensional.Intensitas serangan hama Spodoptera litura mencapai puncaknya lebih awal pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik yaitu pada umur tanaman 35 hari, sedangkan pada kondisi konvensional pada saat tanaman berumur 56 hari setelah tanam.

Keterangan :
: Konvensional
: Organik
Gambar 4. Perkembangan Intensitas Hama S. litura pada Tanaman Kubis yang dibudidayakan secara Konvensional dan Organik dari Pengamatan ke-1 -ke-10.


PENUTUP

Produksi pestisida nabati secara masal untuk keperluan komersial masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak mencukupi. Rendahnya kandungan metabolik sekunder dalam tanaman, sehingga diperlukan pasokan bahan baku yang sangat besar. Jika untuk keperluan sendiri, kebutuhan bahan baku cukup melimpah dan sangat murah. Oleh karena itu perlu menggalakkan dan mengembangkan teknik ekstraksi sederhana yang dapat dilakukan oleh petani untuk mengendalikan hama secara individu dan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan sosialisasi baik melalui penyuluhan maupun pelatihan dan demplot sebagai upaya untuk menyebarkan informasi tentang potensi suatu bahan ekstrak tumbuhan sebagai pestisida nabati. Demikian juga pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengarah kepada pemanfaatan pestisida nabati untuk keperluan pengendalian hama, terutama pada sistem pertanian organik. Dari beberapa laporan menyatakan bahwa sebenarnya efektivitas pestisida nabati tidak kalah dibandingkan pestisida kimia sintetis, namun karena petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia sentetis sebagai cara yang ampuh dengan alasan antara lain mudah didapat, cepat bekerja membunuh hama sasaran serta relatif murah (subsidi), maka pemanfaatan insektisida nabati masih sangat terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian pada sayuran organik (Cabe, tomat dan kubis) dapat disimpulkan bahwa rata-rata populasi dan intensitas serangan hama hama penting pada tanaman tersebut relatif sama pada tanaman yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. Demikian juga dengan perkembangan populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang sama, dimana hama ini akan mencapai puncaknya pada saat fase tanaman menghasilkan tunas-tunas muda dan menurun pada saat bagian tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan insektisida (baik kimiawi sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun demikian terlihat bahwa hasil cabe merah maupun tomat yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada konvensional. Oleh karena itu budidaya cabae merah ,tomat dan kubis secara organik mempunyai prospek untuk dikembangkan baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama maupun untuk tujuan peningkatan produksi.
Dengan mengetahui pola perkembangan hama pada tanaman, maka hasil penelitian ini diharapkan akan berguna untuk kegiatan monitoring hama dalam rangka penerapan pengelolaan hama secara terpadu.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman dalam upaya pengelolaan hama sayuran organik ( cabe, tomat dan kubis), terutama program monitoring untuk menentukan saat yang tepat dalam pengendalian hama.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Buku Pedoman Non Kimia. Departemen Pertanian. Jakarta. 13 h.
Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman, M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press.
Basana, I.R., D. Prijono. 1994. Insecticidal Activity of Aqueous Extracts of Four Species of Annona (Annonaceae) against Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Bul. HPT. 7:50-60.
Kardinan, A. dan Ruhnayat, A., 2003. Mimba Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta. 7-9 h.
Kardinan,A., 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. 2 h.
Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Parnata, A.S., 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi dan Manfaatnya. Agromedia Pustaka. Jakarta. 62 h.
Prijono, D., dan Hasan E., 1993. Pengaruh Ekstrak Nimba Terhadap Perkembangan dan Mortalitas Croccidolonia binotalis. Proseding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1 – 2 Desember 1993.
________1994. Pedoman Praktikum Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Riza,V. dan Tahjadi, 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia. Jakarta. 63 h.
Sarjan, M., 2004a. Pengelolaan Hama Terpadu Dalam Perspektif Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Era Galobalisasi. Orasi Ilmiah Dies Natalis UNRAM. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
_______, 2004b. Potensi Insektisida Non Kimia Sintetik Dalam Konservasi Predator Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Kedelai. Agroteksos. Majalah Ilmiah Pertanian (Agronomi, dan Sosial Ekonomi) Volume 13 No 4. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
________, dan Astam Wiresyamsi, 1997. Laporan Penelitian Potensi Insektisida Non Kimiawi Sintetis Sebagai Pengendali Ulat Kubis Plutella xylostella. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
________, 2006a. Intensitas Serangan Ulat Spodoptera litura pada Tanaman Kubis yang Dibudidayakan Secara Organik dan Konvensional ( Jurnal HAPETE, Vol 3:1. April 2006)
________, 2006 b. Pengelolaan hama Pengisap daun Thrips parvispinus Karny Pada Tanaman cabe Yang dibudidayakan Secara Organik dan Konvensional (Jurnal Penenltian Universitas Mataram, Edisi A: Sains dan Teknologi. Vol 2:10. Agustus 2006)
________, 2007. Perkembangan ulat grayak (Spodoptera litura Hbn) pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. (Jurnal PARTNER Politeknik Pertanian Kupang NTT tahun 14.No periode januari 2007)

sumber : ntb.litbang.deptan.go.id/2007/TPH/potensipemanfaatan.doc

Monday, May 5, 2008

Pupuk Organik Untuk Anggrek

Seringkali apabila kita memelihara anggrek jenis terestrial, litofit, saprofit atau semi terestrial untuk menambahkan pupuk organik kedalam media tanamnya sebagai sumber unsur hara makro dan miro dan juga dapat untuk memperbaiki sifat kimia, biologi dan fisik tanah disekitar perakaran anggrek. Selain itu jika kita kreatif, maka sumber bahan organik dapat kita peroleh dengan mudah dari lingkungan sekitar kita, bahkan dari diri kita sendiri (ups!!). Berikut saya sajikan nilai kandungan rata-rata pupuk organik dari berbagai sumber bahan organik.
Jenis Pupuk Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%)
Kerbau 0,6-0,7 2,0-2,5 0,4
Sapi 0,5-1,6 2,4-2,9 0,5
Kuda 1,5-1,7 3,6-3,9 4,0
Domba 0,6-3,7 0,2-0,8 0,1-1,0
Ayam 1,0-2,1 8,9-10,0 0,4
Guano 0,5-0,6 23,5-31,6 0,2
Tinja Manusia 3,0-3,2 3,2-3,4 0,7
Kompos 0,5-0,7 1,7-3,1 0,3-0,5
Azzola 3,0-4,0 1,0-1,5 2,0-3,0
Daun lamtoro 2,0-4,3 0,2-0,4 1,3-4,0
Darah hewan kering 10,0-12 1,0-1,5 -
Jerami padi 0,8 0,2 -

Penggunaan pupuk organik juga memiliki kelemahan, diantaranya ialah, diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari suatu pertanaman (karena kandungan hara relatif rendah), bersifat ruah, baik dalam pengangkutan dan penggunaannya di lapangan, kemungkinan menimbulkan kekahatan unsur hara apabila bahan organik yang diberikan belum cukup matang (tanaman justru akan menguning dan merana). Oleh karena itu meskipun sangat dianjurkan, namun dalam pemakaiannya juga harus cermat dan tepat.

Oh iya, berikut saya berikan pula beberapa informasi mengenai karakterisasi kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi secara sempurna (matang) ditinjau dari kondisi fisik.

* Berwarna coklat tua sampai kehitam-hitaman
* Tidak dijumpai adanya lalat atau bau busuk yang masih menyengat
* Suhu pupuk sudah tidak tinggi/panas/hangat (pendinginan merupakan indikator selesainya proses pengomposan, meskipun bahan kompos telah dibalik dan disiram tetap tidak timbul panas)
* Struktur nya remah, pupuk menjadi media yang lepas-lepas dan tidak kompak,
sehingga sulit dikenali lagi bahan dasarnya.

Jika masih ragu, berikut tips uji tingkat kematangan pupuk menggunakan perkecambahan benih.
Untuk menguji kematangan pupuk organik, botol bekas selai atau botol minuman mineral yang dipotong setengah diisi pupuk yang sudah disaring, benih tanaman tertentu (yang pernah saya coba yaitu biji bayam liar) ditanam dan pertahankan kondisi pupuk tetap lembab. Botol berisi pupuk dan benih diletakkan di tempat yang terang dan terbuka. Karena benih sangat sensitif terhadap faktor tumbuh, maka tingkat kematangan pupuk dapat diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan benih.

* Pupuk matang : benih akan berkecambah setelah 2-3 hari dan setelah 5-7 hari
berwarna hijau dengan akar cukup panjang berwarna putih.
* Pupuk segar : hanya beberapa benih yang tumbuh dan memerlukan waktu yang lebih lama, daun berwarna hijau pucat, akar pendek pertumbuhan tanaman kerdil, dan daun kadang-kadang berwarna kuning kecoklatan.

Selamat berpupuk dan beranggrek ria!!
By. Destario Metusala 06

sumber : http://www.anggrek.org/index.php/2006/07/13/pupuk-organik-untuk-anggrek/










Google