Monday, November 3, 2008

SISTEM SYARAF SERANGGA, HUBUNGANNYA DENGAN OTOT

Ada tiga sistem yang bekerja pada serangga :

*
1. CNS atau SSP (Central Nervous System, Susunan Syaraf Pusat)
*
2. PNS atau SST (Peripheral Nervous System atau sistem syaraf tepi)
*
3. Stomagastric System atau sistem stomagastrik

Sistem pertama terdiri atas otak (tepatnya, supraesofageal ganglion, ganglion diatas esofagus) dan korda saraf ventral (ventral nerve chord). Sistem kedua adalah sistem syaraf yang dipergunakan untuk menerima sinyal atau rangsang : khemoreseptor, mekanoreseptor, semua sensila, syaraf motorik yang dihubungkan ke otot atau kelenjar. Sedang sistem ketiga adalah sistem pada perut atau pencernaan, yang tidak dikendalikan oleh "keinginan" serangga (involuntary).

Sel-sel syaraf secara embriologis berasal dari sel-sel ektodermis, terjadi karena invaginasi (pelekukan) integumen, yang pada akhirnya menghasilkan neroblas. Untuk mempelajari trend evolusi korda syaraf (tali syaraf), para peneliti menggunakan ordo diptera, karena pada ordo ini dijumpai susunan syaraf dari yang primitif sampai yang ke kompleks. Sebagai misal, ganglion (simpul syaraf, jamak: ganglia) memiliki tendensi untuk semakin terkoordinasi dalam satu organ. Pada sistem syaraf diptera kompleks, ganglia tidak lagi dijumpai pada abdomen, tetapi semuanya mengumpul menjadi satu di bagian toraks.

Neuron, Sel syaraf

Susunan di atas disebut sebagai "neuron bipolar", sedang bentuk lainnya adalah "monopolar Neuron" seperti yang dijumpai pada SSP.

Neuron bipolar dengan demikian lebih banyak dipergunakan untuk menerima dan meneruskan rangsang, sementara yang monopolar dipergunakan untuk memproses rangsang dan selanjutnya diantisipasi sesuai dengan jenis rangsang.

Sinaps

merupakan hubungan antar serabut syaraf atau antara sel syaraf dengan sel-sel muskular (disebut sebagai neuromuscular junction). Bagian ini merupakan situs penting tepat bekerjanya insektisia, terutama insektisida syaraf. Karena struktur ini sangat fragile atau ringkih, maka dibutuhkan lapisan/selubung pelindung untuk proteksi bagian ini.

Ganglion

Merupakan kumpulan badan sel syaraf yang bekelompok membentuk bangunan yang disebut neuropile, dengan axon atau serabut syaraf menuju ke dan keluar dari bundel syaraf ini. Pada bagian anterior serangga tepat di atas esophagus, terletak ganglion utama yang berfungsi juga sebagai otak serangga. Ke arah lateral kiri dan kanan terdapat lobus opticus ("optic lobe") yang merupakan serabut konektif, untuk memberikan informasi mengenai cahaya. Dari otak juga terdapat syaraf-syaraf ke korpora alata dan korpora kardiaka, yang akan menyampaikan isyarat untuk melepas hormon kepada kedua organ/badan khusus tersebut.

Transmitansi atau rambatan syaraf, merupakan gerakan elektronik di dalam serabut, dan gerakan khemis antar serabut (apabila sinaps). Namun pun gerakan elektronik yang ada adalah karena perbedaan potensial unsur-unsur kimia, sehingga tetap juga merupakan proses elektrokimia. Banyak jenis transmiter syaraf yang dimanfaatkan ileh serangga (lihat hand-out bhs. Inggris). Oktoplamina, noradrenalin, serotonin, N-asetiltiramina, N-asetildopamina, andrenalin, histamina, asetilkholin, asam glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), 5-hidroksitripolamina (5-HT) adalah beberapa contoh nerotransmiter.

Pengukuran Nerotransmitasi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut perekam elektrofisiologis (electrophysiological recorder) seperti pada gambar pada hand-out (Fig. A-12) pada prinsipnya alat tersebut adalah CRT (Cathode Ray Tube, Tabung Sinar Katoda). Oscilloscope, yang dipergunakan mengukur arus listrik pada tingkat milivolt.

Ada dua jenis pengukuran yang dapat dilakukan:

- eksternal (external recording)

Apabila dilakukan perekaman eksternal, maka alat rekamnya demikian sensitif, perlu dilindungi dari gelombang radio agar tidak menimbulkan gangguan impedansi.

- internal (internal/intracellular recording)

Dipergunakan mikro elektroda, suatu tabung kapiler ultra tipis dengan ujung sangat tipis dan mampu menyentuh sel tulang.

Contoh pelaksanaannya adalah dalam mengukur kemampuan mata serangga dalam menerima kerlipan cahaya. Serangga mampu menangkap lebih banyak kerlip dibanding manusia, sampai sekitar 60 kerlip per detik (disebut sebagai Flicker Fusion Frequency atau 3 F). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikroelektroda yang ditusukkan pada mata majemuk dan selanjutnya dirangsang oleh strobo-light. Reaksi syaraf akan nampak pada grafik yang muncul dalam osiloskop.

Pengukuran yang lain adalah terhadap khemoreseptor yang terdapat pada labellum. Adanya gula, air, asam atau garam akan menyebabkan probosis dikeluarkan atau ditarik masuk. Setiap reseptor kimia memiliki keempat jenis tanggapan tersebut. Reseptor ini ditemukan juga pada tarsi, karena pegukuran pada tarsi menunjukkan gejala yang sama dengan pada labellum.

Dengan mengganti larutan yang terdapat di dalam tabung mikroelektroda gelas, dapat diketahui apakah suatu reseptor merupakan reseptor air, gula, garam, atau asam. Rangsang lain yang dapat dipergunakan mengecek suatu jenis reseptor adalah panas/dingin, gerak mekanis, cahaya, dan bahan kimia.

Proses awalan transmisi

Membran axon/sel syaraf ternyata bersifat semi permiabel, seperti yang ditunjukkan oleh kandungan ion di luar dan di dalam membran. Terdapat konsentrasi Na tinggi di luar dan K tinggi di dalam. Adanya A- di dalam menimbulkan dikirimnya impak negatif.

Membran syaraf sendiri berfungsi sebagai suatu kapasitor, karena memiliki perbedaan potensial oleh adanya ion negatif dan positif. Dengan kata lain., membran sel syaraf berfungi juga sebagai penyimpan energi elektronik. Pada kenyataannya, membran dapat ditembus bukan hanya oleh karena ion terabsorbsi, melainkan juga oleh perbedaan polaritas.

Ion-ion Na dan K mempunyai tendensi untuk selalu merembes keluar karena gradien konsentrasinya, tetapi Na+ lebih sulit masuk dibanding mudahnya K- keluar. Dalam hal ini suatu sistem pompa bertenaga ATP akan memompa kelebihan ion di dalam sel. Pompa ini disebut sebagai pompa Na-K

Adanya anion dan kation di sekitar membran menyebabkan funsi membran sebagai kapasitor (dapat dideteksi dengan osiloskop) dengan nilai potensial "istirahat" (resting membrane potential) antara 75 mV. Untuk lebih rincinya harap dibaca hand-out bhs. Inggris.

Dalam situasi ini perhitungan potensialnya mengikuti persamaan Nernst dengan logaritma pangkat 10 :

Pada suhu 20 0 C

Sehingga apabila konsentrasi ion K diketahui, potensial membran dapat dihitung. Untuk menghitung pengaruh lebih dari satu ion (multiple ion action) dipergunakan rumus membran potensial :

Membanjirnya ion Na dari luar atau "flush in" akan menyebabkan naiknya polaritas membran, yang apabila mencapai titik jenuh akan menyebabkan ion K merembes keluar, menurunkan potensial sampai di bawah normal. Dalam keadaan inilah pompa Na-K melakukkan penyeimbangan dengan memompa kelebihan Na keluar. Pada titik potensial tertentu terdapat keadaan ketika ‘pinta Na" terbuka atau tertutup karrena bekerjanya pompa.

Proses di atas terjadi karena adanya rangsang yang mengubah komposisi ion pada membran. Ion-ion yang sama diinfiltrasi ion pada pada membran ion tak senama kemudian memunculkan rangkaian lokal (local circuit) yang kemudian mempengaruhi ion-ion di dekatnya untuk "merambatkan" konfigurasi rangkaian lokal ini. Rangkaian ini tidak mungkin mengalir ke belakang karena adanya mekanisme refractory action atau sekehendaknya mengulang proses tersebut, karena masing-masing ion harus mempertahankan kondisi seimbang/ekuilibrium. Dalam pada itu serabut syarafnya sendiri umumnya menuju ke satu sisi.

Potensial gerak (action potential) haruslah melalui suatu tingkat kenaikan potensial melampaui ambang batas, apabila tidak maka gerakan yang muncul hanyalah gerakan yang bersifat memiliki potensial lokal tergradasi (local graded potential). Reaksinya dengan demikian tertegun-tegun atau terbata-bata.

Suatu tanggapan terhadap sinyal syaraf dalam tubuh serangga akan memunculkan suatu potensial ujung lempeng (end-plate potential) pada jungsi neromuscular (sambungan antara syaraf dan otot, Neuromuscular junction), namun potensial ini makin lama makin melemah. Dengan demikian yang dipengaruhi hanyalah lingkungannya saja, tetapi tidak merangsang suatu ujung gerak tertentu. Tanggapan serangga nantinya akan tergantung kepada berapa banyak jungsi neromuskular yang memimiliki potensial ujung lempeng. Ini berarti jumlah sel-sel otot tidak perlu terlalu banyak yang mengandung ujung serabut syaraf pada tiap selnya. Pada serangga dijumpai adanya akson-akson "cepat" dan "lambat", selain kemungkinan terdapat pula sejenis akson lain yang disebut akson penghambat, yang berfungsi sebagai penghambat gerakan dan bukan meneruskannya.

Pada akson cepat dan akson lambat dijumpai asam glutamat sebagai transmiter syaraf, karena dalam darah serangga (hemolimfaa) dijumpai banyak asam amino. Asam glutamat terutama bekerja pada jungsi neromuskular dengan menyebabkan timbulnya kontraksi. Namun karena di dalam hemolimfaa yang menyelubungi j.n.m. terdapat begitu banyak asam glutamat, maka harus ada barier fisis yang melindungi j.n.m. dari pengaruh asam glutamat bebas tadi. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa asam glutamat terikat oleh suatu reseptor atau bahan tertentu di dalam hemolimfaa, boleh jadi tidak terdapat dalam plasma tetapi di dalam butir darah (hemosit).

Akson penghambat bekerja dengan menggunakan bahan kimia GABA (Gamma Amino Butyric Acid, asam butirat gama amino) yang disimpan dalam suatu relung yang disebut perforate medium. Mekanismenya adalah hiperpolarisasi, sehingga potensialnya tidak cukup besar bagi akson lambat untuk bertindak à karena polarisasinya berlebihan, sehingga ion yang muncul dinetralkan oleh ion yang berlawanan.

Dalam hubungannya dengan sistem otot, maka dijumpai tiga jenis serabut otot, yaitu tubular, close-packed dan fibrillar. Dua jenis yang pertama merupakan otot sinkronous, memiliki nisbah input/kontraksi I, sedang yang tipe terakhir adalah otot asinkronik, dengan nisbah input/kontraksi lebih kecil dari satu. Itu sebabnya serangga mampu terbang sangat cepat, dengan getaran sayap yang sangat tinggi frekuensinya. Mekanisme ini secara morfologis didukung oleh fungsi fisologis sarkosoma, mitokhondria pada sel otot untuk terbang. Tipe protein yang teerdapat pada otot sinkronik. Secara khusus kandungannya adalah banyak jenis asam amino yang mampu menyalurkan osilasi (sebagai bahan penyangga elastisitas).

Organ-organ sensorik

Ada tiga jenis organ sensorik yang dijumpai pada serangga:

1. reseptor kimia

2. reseptor mekanis

3. reseptor cahaya

Secara morfologis reseptor disebut sebagai sensillum (jamak: sensillae), yang merupakan sel untuk menghasilkan dan menghantar arus rangsang elektronik. Banyak organ (hampir semua) yang juga berfungsi sebagai reseptor.

Mekanoreseptor atau sensillum trichoidea

Disusun oleh sel-sel epidermis khusus (sel-sel trikogen). Di sekelilingnya terdapat sel-sel sendi penyangga atau sel-sel tormogen. Semuanya merupakan modifikasi sel-sel epidermis. Mekanoreseptor umumnya memiliki satu sel syaraf bipolar, yang dilindungi oleh selubung "skolopol". Potensial awalnya disebabkan oleh rangsang yang telah digradasi sehingga harus mampu mencapai "potensial penghasil" atau "potensial reseptor", yang beerbanding langsung terhadap besar kecilnya rangsang. Bila potensial ini cukup kuat, maka potensial gerak akan terbentuk dan dihasilkan suatu mata rantai beda potensial menuju ke pusat syaraf. Inilah yang disebut aliran rangsang.

Secara morfologis, bentuk reseptor ini bervariasi. Ada yang tidak berbentuk rambut, hanya merupakan tonjolan jaringan/lapis sel. Bentuk ini disebut sebagai "sensillum campaneiform", dijumpai misalnya sebagai sensilla alat pendengaran (yang memang lebih berupa membran).

Reseptor khemis

Reseptor ini memiliki struktur yang serupa dengan mekanoreseptor. Perbedaannya adalah bahwa umumnya jenis reseptor ini memiliki lebih dari satu neron bipolar. Memang dibutuhkan untuk mendeteksi rangsang yang berbeda-beda jenisnya, dan inilah yang disebut sebagai "modalitas" untuk deteksi rasa pahit (asam), gula, air dan garam. Cara kerjanya juga menyerupai mekanoreseptor. Dua di antara sensillanya adalah stimulan positif, dua lagi stimulan negatif. Sumber rangsang sendiri dapat atau tidaknya terdeteksi antara lain karena tingkat konsentrasinya. Rangsang positif jika melebihi aras tertentu akan menjadi rangsang penghambat.

Pada abdomen beberapa serangga tertentu di jumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, proprioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.

Pada abdomen beberapa serangga tertentu dijumpai reseptor "regang" atau proprioreseptor. Pada Rhodnius prolixus misalnya, propioreseptor ini penting karena bila sesudah mengkonsumsi darah ("blood-meal"), abdomen akan meregang dan ini merupakan tanda dimulainya kegiatan fisiologis untuk reproduksi.

Reseptor cahaya

Mata majemuk serangga dipergunakan untuk menangkap kesan bayangan/citra, sedang oseli untuk membedakan gelap dan terang. Pada Lepidoptera juga dijumpai stemmata, suatu mata sederhana berbentuk klaster (kumpulan sensilla). Integumen serangga sendiri juga peka terhadap rangsang cahaya.

Ukuran mata majemuk menunjukkan perilaku serangganya. Ada serangga yang sama sekali tidak memiliki mata majemuk, ada yang seluruh kepalanya tertutupi oleh mata. Kemajemukan mata faset sendiri adalah karena tersusun oleh bangunan yang disebut ommatidium.

Dengan adanya bangunan ini, serangga dapat membedakan bentuk dan warna, meski jarak jangkaunya amat terbatas. Di lain pihak, pembedaan detailnya amat tinggi, sehingga gerak yang sekecil apapun dapat terlihat. Untuk susunan morfologisnya, lihat gambar. Korda pusatnya adalah suatu bangunan yang disebut rhabdon. Di sekelilingnya terdapat 8-9 sel neron yang telah dimodifikasi (tak ada dendrit, hanya akson saja) dan disebut retinula atau sel-sel retinula. Apabila rhabdon memanjang sampai menyentuh ujung bangunan bening transparan yang disebut kerucut kristalin (crystalline cone), maka jenis mata faset demikian disebut mata majemuk aposisi, sedang bila hubungannya ke kerucut kristalin disambungkan oleh suatu konektor, disebut mata majemuk superposisi. Diduga yang pertama digunakan oleh serangga-serangga diurnal, sedang yang kedua oleh serangga nokturnal. Tanpa adanya ruang antara rhabdon dan ujung kk maka jumlah cahaya yang diterima tidak akan terlampau berlebihan. Sebaliknya jika diberi ruang, maka cahaya dapat dikumpulkan sebanyak-banyaknya.

Jadi rhabdon bertugas mengubah cahaya menjadi rangsang syaraf. Impuls yang terjadi dikirim langsung ke bagian otak yang disebut lobus opticus. Perubahan kesan cahaya menjadi impuls elektronik terjadi di dalam bangunan mikrotubuler yang menyusun rhabdon.

Prosesnya melibatkan suatu pigmen visual yang dinamakan rhodopsin. Secara kimiawi strukturnya disintesis dari retinaldehide dan opsin. Sumber utamanya adalah β-karotin yang banyak dijumpai pada wortel. Mekanisme kimianya adalah perubahan isomer dari cis (Z) menjadi trans (E). detail dapat dilihat pada gambar.

By: Winoto
sumber : http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=316&tkt=4

FEROMON, ALLOMON, KAIROMON: SISTEM KOMUNIKASI SERANGGA, KONSEP DASAR, ELEKTROANTENOGRAM (EAG), OLFAKTOMETER DAN UJI BIOLOGIS LAINNYA

Berbeda dengan hormon, yang merupakan isyarat internal bagi serangga secara individual, feromon dan alomon merupakan bahan kimia yang disekresi keluar tubuh serangga oleh kelenjar eksokrin sehingga bereaksi di luar tubuh (antar individu). Feromon menjembatani komunikasi individu dalam satu spesies. Kegunaannya beragam mulai dari daya tarik antar kelamin, mencari pasangan, mengisyaratkan bahaya, menandai jejak dan wilayah, serta berbagai interaksi intraspesifik lainnya.

Wilson dan Bosert, peneliti dari Harvard, membagi feromon menjadi dua subklas:

1. releaser, yang beraksi cepat menimbulkan rangsang perilaku, dan

2. primer, yang bekerja mengubah kondisi fisiologis.

Sedangkan allomon merupakan bahan kimia yang bekerja menjembatani komunikasi antar spesies dengan keuntungan bagi penghasil allomonnya. Allomon dipergunakan untuk mengusir predator, membingungkan mangsa, dan memediasi interaksi simbiotik.

Komunikasi khemis memerlukan sumber molekul, senyawa atau molekul isyarat itu sendiri dan penerima. Sumber yang paling banyak dijumpai adalah kelenjar eksokrin, yang terletak pada permukaan tubuh serangga. Kelenjar ini letaknya bervariasi: dapat di bagian alat mulut, membran intersegmental, sklerit, tungkai atau bagian tubuh lainnya. Produk kelenjar ini harus mampu menembus eksoskeleton serangga yang keras dan liat. Sel sekretori tipe I terletak tepat di bawah epidermis dan mengalirkan sekresinya ke luar melalui duktula memanjang yang merupakan lekukan epikutikula yang menjorok ke dalam (Gambar B.). Sedangkan sel skretori tipe II memiliki kutikula yang berlubang-lubang kecil sehingga sekresi dapat terperkolasi dari sel sekretori ke luar (Gambar B.)

Feromon

Dari beragam rangsang khemis yang terdapat di luar tubuh serangga, feromon harus mampu muncul dengan sifat khas dan menyampaikan pesan tertentu bagi serangga yang menerimanya. Tidak semua molekul dapat bersifat feromon. Isyarat yang dikirimkannya harus jelas, dan dalam lingkungan terestrial senyawanya harus bersifat volatil. Glukose dan glikogen sulit dipergunakan sebagai feromon. Secara teoritis, semakin besar molekulnya, semakin besar pula kemungkinannya menjadi struktur yang unik dengan sifat khas. Tetapi pada prakteknya molekul tersebut harus pula volatil, sehingga rantai karbonnya terbatasi paling banyak hanya sampai 20 saja. Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino.

Kalau jenis-jenis hormon pada subklas Insekta tak banyak bervariasi, lain halnya dengan feromon. Jenisnya demikian banyak karena masing-masing khas untuk spesies tertentu saja. Keragaman ini gunanya untuk menghindarkan terjadinya kekeliruan antara satu spesies dengan spesies lain. Agar nilai komunikasinya semakin khas, feromon kebanyakan merupakan campuran beberapa senyawa kimia, sehingga isyarat yang terkirim sebenarnya datang dari daya kerja total kumpulan senyawa tersebut.

Ruang aktif.

Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah.

Agar dapat menimbulkan rangsang, haruslah ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space".

Besar kecilnya ruang ini tergantung dari "kemauan" si pelepas feromon. Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.

Feromon Seks

Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku "courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon.

Pada mulanya diduga bahwa masing-masing spesies memiliki kekhasan molekul feromon seks yang dipergunakan untuk memikat lawan jenisnya. Molekul ini diduga khas, unik dan menimbulkan rangsang bagi lawan jenis dalam spesies yang sama, tidak pada serangga lain. Pada kenyataannya yang terdapat di alam ternyata jauh lebih menarik dan lebih kompleks dari dugaan tersebut. Kebanyakan feromon merupakan campuran kompleks dari beberapa senyawa penimbul bau, dan campuran aroma demikian memiliki perbedaan arti yang dapat cukup luas hanya karena sedikit perbedaan kadar campurannya. Karena jenisnya yang menjadi beratus-ratus (atau bahkan beribu-ribu) oleh bentukan campuran senyawanya, maka di sini hanya akan diketengahkan contoh feromon seks pada ulat sutera dan kupu-kupu ratu saja.

Ngengat sutera

Pengetahuan tentang adanya sifat atraktan yang dimiliki oleh sekresi ngengat telah diketahui sejak abad sembilanbelas ketika seorang ahli Perancis J.H. Fabre menunjukkan adanya ngengat jantan yang lebih tertarik pada sehelai kertas yang pernah ditempati ngengat betina dan mengandung sekresi ngengat, dibanding terhadap ngengat betinanya sendiri. Namun baru pada tahun 1959 elusidasi senyawa atraktan dapat dilakukan, yaitu oleh Adolf Butenandt (Jerman) yang mengidentifikasi senyawa atraktan pada ngengat sutera.

Butenandt bersama rekan-rekannya dengan tekum memotong ujung abdomen sekitar 500.000 ekor ngengat betina, kemudian mengekstraksinya menggunakan etanol-eter, memurnikan komponen aktifnya dan selanjutnya mencirikan kandungan senyawa yang diperoleh menggunakan teknik mikrokimia susunan Butenandt sendiri. Dari jumlah ngengat itu diperolehnya 12 mg atraktan murni, suatu senyawa karbon rantai 16 yang diberinya nama bombykol.

Ngengat jantan sangat sensitif terhadap senyawa ini, dan pada kenyataannya tanggapan jantan yang berupa kepakan sayap ("fluttering") merupakan cara mengukur tingkat konsentrasi senyawa feromon bersangkutan, suatu teknik bioassay sederhana. Dari percobaan-percobaan yang pernah diadakan, tingkat konsentrasi terendah yang masih dapat dideteksi ngengat jantan berkisar antara 10-6 - 10-4 æg.

Pada saat itu diduga bahwa bombikol adalah satu-satunya senyawa feromon yang dihasilkan oleh ngengat sutera betina. Dugaan ini diperbaiki oleh Kaissling dkk. (1978) dari Jerman yang menemukan senyawa aldehidnya (disebut bombikal) dalam campuran senyawa feromon dengan rasio 10:1. Adanya bombikal yang kerjanya menghambat respons ngengat jantan terhadap bombikol menyebabkan efektivitas feromon seks sutera menjadi lebih tinggi. Kisaran konsentrasinya lebih lebar, dari 10-5 sampai mendekati 100, sehingga tanggapan jantan lebih bersifat "graded" atau sedikit demi sedikit.

Detektor feromon terdapat pada antenna ngengat jantan. Antena ngengat sutera yang besar dan berbentuk seperti bulu ayam mengandung sekitar 64.000 rambut-rambut indera, yang 80% di antaranya khusus untuk menanggapi senyawa feromon. Tiap sensillum dilengkapi dengan dua neron sensorik, yang satu peka terhadap bombikol, yang lain terhadap bombikal; dan masing-masing neron mengirim rangsang secara terpisah ke otak. Otaklah yang kemudian menentukan, menanggapi rangsang tersebut atau tidak.

Di alam terdapat beribu-ribu spesies, yang pada suatu ketika betinanya melepas feromon seks sehingga terdapat berbagai senyawa feromon yang berhubungan dekat satu sama lain di udara. Ini berarti ngengat jantan harus mampu membedakan berbagai feromon dari spesies lain, dan menanggapi dengan tepat feromon spesiesnya sendiri. Roelofs dari Cornell University menunjukkan bahwa senyawa feromon dari dua spesies dengan genus yang sama (Archips argyrospillus dan A. mortuanus), sama-sama mengandung empat komponen utama, tetapi dalam perbandingan yang berbeda, yaitu 60 : 40 : 4 : 200 untuk A. argyropillus dan 90 : 10 : 1 : 200 untuk A. mortuanus.

Berapa banyak jantan yang dapat dipikat oleh seekor betina ?

Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 ng bombikol, yang secara teoritis mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Namun perhitungan ini mengabaikan kehadiran senyawa bombikal. Selain itu, yang penting dalam hal banyak-sedikitnya jumlah feromon adalah peranannya dalam memperluas ruang aktif, sehingga kemungkinan menarik lebih banyak jantan akan lebih besar.

Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis. Orientasi yang pertama berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di "atas" angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut "Schwink effect", dan berlaku baik pada ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas. Orientasi yang kedua berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek ("short-range").

Kupu-kupu ratu. Isyarat visual membantu ngengat jantan mengenali betinanya, seperti halnya pada kupu-kupu ratu (Danaus gilippus berenice). Perilaku kawinnya merupakan pertukaran isyarat yang sangat intens antara jantan dan betina, seperti dijelaskan oleh Lincoln dan Van Zandt-Bower dari Amherst College, Massachussetts.

Kupu-kupu jantan memiliki alat tubuh yang disebut rambut pensil yang merupakan sekumpulan tonjolan tipis dan halus seperti rambut pada ujung abdomen. Bila kupu jantan melihat betina terbang, segera dikejarnya dan didahului, kemudian rambut pensilnya dikibas-kibaskan di depan kepala betinanya, terutama pada antenna.Pliske dan Eisner mengamati bahwa rambut pensil ini mengandung partikel-partikel halus seperti debu, yang kemudian menempel pada antenna, namun bukan bahan ini yang bersifat memikat betina, melainkan suatu jenis bahan senyawa minyak yang disusulkan kemudian. Meinwald dkk. mendapatkan bahwa senyawa yang terkandung dalam minyak ini adalah keton dan suatu diol terpenoid cair.

Adanya rangsangan jantan pada antennanya menyebabkan betina hinggap, dan kemudian melipat sayapnya. Pada saat inilah jantan mencoba melakukan kopulasi. Penelitian Fliske dan Eisner selanjutnya menunjukkan, bahwa jantan yang dipelihara di lab dan diberi makan tumbuhan inang utama kupu-kupu ratu, lebih sering gagal berkopulasi, sementara yang dilepas di luar lab, dan bebas mencari makan, selalu berhasil melakukan mating. Pada pengamatan detail terbukti bahwa kupu-kupu biakan lab tidak memiliki senyawa keton pada feromonnya. Kupu-kupu yang hidup bebas ternyata mendapatkan prekursor keton dari tumbuhan inang lain yang hanya didatanginya dalam waktu sangat singkat, namun diperlukan agar dapat memperoleh sumber keton. Apabila pada feromon kupu biakan lab ditambahkan keton, ternyata bahwa mereka pun kemudian mampu melakukan mating dengan baik.

Feromon lain yang juga berperan penting antara lain adalah:

- feromon agregasi

- feromon alarm

- feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan.

Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya.

Feromon agregasi tersebar penggunaannya pada berbagai ordo seperti misalnya Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Familia yang paling banyak dipelajari adalah Scolytidae, Coleoptera; terutama pada kumbang kulit kayu; seperti genus Dendrocnotus dan Ips. Yang menarik, hampir semua feromon agregasi kumbang kulit kayu adalah monoterpen yang secara rumus bangun mirip dengan jenis yang dihasilkan oleh pohon inangnya. Reaksi agregasi merupakan tanggapan terhadap campuran molekul serupa yang saling menunjang efektivitas masing-masing. Komponen molekul serupa semacam itu membentuk suatu kerja kimia yang disebut sinergistik. Masing-masing senyawa sinergis mungkin cukup efektif sebagai molekul tunggal, tetapi lebih efektif jika bahan tersebut bercampur, jauh lebih efektif dibanding sekadar jumlah total efektivitas masing-masing.

Feromon Alarm merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya, dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi.

Wilson dan Bosert, ahli serangga sosial terutama semut, menduga bahwa bahan feromon alarm harus menghasilkan penanda yang bersifat lokal, jelas dan pendek/singkat. Feromon harus menyebar dengan cepat untuk dapat mengkoordinir terbentuknya pertahanan koloni dan harus segera lenyap agar tidak memunculkan tanda bahaya yang keliru. Agar dapat dilacak dengan mudah, ruang aktifnya harus sempit. Pada semut misalnya, feromon ini bahan utamanya adalah senyawa 4-metil-3-heptanon dan dikeluarkan melalui kelenjar mandibula. Jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan, isi kelenjar mandibulanya akan menyebar mencapai radius ruang aktif sekitar 6 cm dalam 13 detik, dan jika dibiarkan meluas, dalam 35 detik ruang aktif ini akan hilang. Semut pekerja lain yang mendeteksi feromon ini oleh karenanya akan menambahkan feromonnya sendiri sehingga keberadaan ruang aktifnya dapat bertahan lebih lama. Feromon alarm bersifat sangat volatil, dan kebanyakan memiliki berat molekul rendah, dengan rantai karbon 12 atau kurang. Senyawa dari kelenjar mandibula umumnya mengandung gugus keton atau aldehid, sedang yang berasal dari kelenjar Dufour (di dekat sengat) berupa hidrokarbon. Banyak di antaranya yang toksik dan rasanya tak enak, sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai senyawa pertahanan diri.

Peneliti dari Inggris (Bradshaw, Baker dan Howse) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 33 jenis senyawa volatil jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan. Dari jumlah itu ada empat jenis senyawa yang merupakan feromon alarm, dan masing memiliki volatilitas yang berbeda, mulai dari heksanal (yang sangat volatil) sampai 2-butil-2-oktenal (yang kurang volatil). Mekanisme kerjanya dapat digambarkan dengan suatu lingkaran konsentris, yang pada bagian tengahnya merupakan tempat melepas feromon. Dalam kondisi tak ada angin, bahan volatil feromon akan berdifusi ke segala arah dengan kecepatan yang berbeda karena volatilitasnya berbeda. Dalam waktu singkat heksenal akan menempati ruang aktif terbesar, atau lingkaran konsentris terluar. Bila ada serangga memasuki wilayah ini, muncul perilaku khas karena memperoleh "peringatan". Begitu serangga menuju ke lingkaran berikutnya (heksanol), serangga pekerja akan terpikat ke arah sumber feromon. Pada wilayah terdalam, terdapat 2-butil-2-oktenal sebagai penanda perilaku menggigit, dan 3-undekanon sebagai penunjuk orientasi arah jarak pendek. Setelah bahan feromon menguap, maka pengaruh heksanal dan heksanol tidak ada lagi, tetapi pekerja yang sufdah berada di tengah akan menunjukkan perilaku agresif, menggigit. Jadi feromon alarm sebenarnya akan mengawali munculnya serangkaian perilaku yang polanya sudah tertentu.

Apakah feromon alarm khas spesies atau koloni ?

Dibanding dengan feromon seks, feromon alarm kurang spesifik. Sering terjadi komponen feromon yang sama dipergunakan oleh spesies pada genus yang sama, atau beberapa genera pada subfamili yang sama. Namun juga teramati adanya feromon alarm yang berbeda pada spesies yang memiliki kekerabatan dekat, seperti yang terjadi pada genus Myrmica. Terdapat empat spesies genus ini yang dijumpai pada habitat yang serupa di Inggris dan Belgia, memanfaatkan komponen yang sama tetapi dengan proporsi senyawa yang berbeda. Akibatnya masing-masing spesies memiliki "dialek" yang berbeda.

Feromon penjejak/trail pheromone.

Karena baik makanan dan habitat bersifat terbatas, dibutuhkan penanda/pembatas wilayah dan penjejak agar penggunaan sumberdaya dapat dilakukan secara efisien. Banyak jenis makanan yang ukuran atau jumlahnya terbatas, sehingga perlu diberi tanda agar tidak dimanfaatkan individu lain. Ngengat parasitoid banyak yang menggunakan feromon penanda pada waktu meletakkan telur ke dalam tubuh inangnya. Lalat buah apel menandai tiap buah yang ditelurinya. Setelah telur dikeluarkan, serangga betina akan menyeret ovipositornya sepanjang permukaan buah untuk menyebarkan feromon penanda. Ukuran penanda tersebut disesuaikan dengan kebutuhan anakannya dari sejak menetas sampai menjadi imago.

Sebetulnya amat mudah melacak keberadaan feromon penjejak atau trail pheromone, karena dapat ditandai misalnya dari iring-iringan semut atau rayap yang mengikuti jalur tertentu. Yang sulit adalah mengidentifikasi dan mengisolasi bahannya. Jumlah senyawa feromon ini yang telah dideteksi belum genap duapuluh. Salah satunya, neokambrene A, adalah suatu terpen kompleks yang dipergunakan oleh rayap sebagai feromon jejak, kemudian terdapat sejenis senyawa pirazin yang dipergunakan oleh beberapa spesies anggota familia Myrmicinae. Setidaknya pada semut-semut ini feromon jejak tersebut tidak khas spesies. Feromon ini diproduksi oleh kelenjar racun, yang dibantu oleh sekresi volatil dari kelenjar Dufour. Komponen dari kelenjar yang terakhir ini berfungsi sebagai penarik perhatian, dan diketahui ternyata merupakan senyawa yang khas spesies. Jadi oleh adanya senyawa kelenjar Dufour suatu jejak feromon akan menjadi khas untuk suatu spesies tertentu.

Feromon Primer

Feromon primer bekerja mempengaruhi kondisi fisiologis serangga yang menerimanya. Pada umumnya diduga bahwa pengaruh feromon primer bekerja melalui sistem endokrin, artinya feromon ini mempengaruhi kelenjar endokrin, selanjutnya hormon dari kelenjar endokrin ini langsung mempengaruhi kondisi fisiologi serangga. Primer dijumpai pada serangga subsosial dan sosial, yang memungkinkan terjadinya perangsangan oleh satu individu kepada individu yang lain.

Kebanyakan feromon primer mempengaruhi kapasitas reproduksi. Sejenis feromon primer dari belalang kembara jantan dipergunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan pradewasa baik jantan maupun betina. Kumbang ulat hongkong jantan dan betina mampu mengeluarkan bahan yang mempercepat kemasakan telur serta merangsang aspek reproduksi kumbang betina muda lainnya. Bahan ratu lebah madu menghambat pertumbuhan ovarium lebah pekerja. Belalang kembara memiliki feromon primer yang efeknya mempengaruhi sifat soliter sehingga berubah menjadi sifat gregarius.

Allomon

Beberapa jenis serangga tidak disukai predator karena rasa-nya tidak enak. Rasa ini timbul karena adanya bahan kimia yang berbau busuk dan berasa tajam, suatu cara yang umum dipakai oleh hewan maupun tumbuhan untuk menjaga diri dari serangan musuhnya. Bentuk paling sederhana dari perilaku mempertahankan diri dengan bahan khemis adalah memuntahkan isi perut (regurgitasi) serangga kepada penyerangnya, seperti yang dilakukan kebanyakan belalang. Bahan khemis ini berasal dari tumbuhan yang dimakan belalang, seperti juga yang dilakukan oleh larva lalat kayu pada pohon pinus. Resin terpenoid pohon pinus disimpan dalam dua kantong di dalam perut depan (foregut). Jika diserang semut atau laba-laba, larva ini mengangkat kepalanya, meregurgitasi cairan resin, dan "meludahkannya" kepada si penyerang. Resin pohon pinus (badam) penuh dengan bahan yang tidak disukai burung serta predator lainnya.

Allomon ada yang memang telah terkandung dalam darah serangga, ada pula yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin. Kebanyakan serangga yang rasanya tak enak berpenampilan aposematik (berwarna mencolok untuk memperingatkan jasad lain), sehingga predator dapat segera mengetahui dari penampilannya bahwa mangsa yang dikejarnya beracun. Sebagai contoh kupu-kupu ratu memiliki pola warna sayap jingga dan hitam yang amat mencolok. Jika suatu allomon terdapat di dalam darah, cara keluarnya dapat terjadi dengan cara pendarahan setempat, atau autohaemorrhage. Darah menitik ke luar dari sambungan sendi seperti pada kaki, antena atau antara dua sklerit sewaktu serangga diserang lawannya. Kumbang blister yang dipegang dengan kasar akan mengeluarkan droplet darah dari antara sambungan kakinya, demikian pula kumbang macan. Darah kumbang blister mengandung kantaridin (cantharidin), sedang darah kumbang macan mengandung alkaloid prekoksinelin (precoccineline). Kedua bahan ini disintesis sendiri oleh masing-masing serangga, tidak diseskueterasi dari tanaman.

Alomon yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin disimpan dari hasil seskuiterasi (pengumpulan bahan metabolit sekunder tanaman) dalam suatu kantung kutikula. Seringkali kantung ini merupakan tempat penyimpanan yang berada di dekat kelenjar eksokrin. Isi tampungan ini kemudian disapukan pada bagian yang diserang predator, misalnya pada sejenis larva familia Papilionidae. bahan yang terkandung di dalamnya adalah asam iso-butirat dan 2-metil butirat. Bahan ini juga dapat meleleh ke luar dari mulut kelenjar ekskresi, sebagaimana halnya pada kumbang blister. Selain itu juga dapat disemprotkan dengan keras dalam bentuk kabut. Acapkali kelenjar penyemprotnya dapat diarahkan dengan amat tepat kepada sasaran/jasad lain yang mengganggu, baik itu vertebrata maupun invertebrata. Pemanfaatan allomon berhubungan dengan kebutuhan serangga untuk tetap bertahan hidup, sehingga dalam evolusinya kemampuan sintesisnya juga ditentukan oleh diet/jenis makanan serangga yang bersangkutan. Umumnya kemampuan memecah metabolit sekunder pada suatu tanaman yang mungkin berbahaya untuk jasad yang tidak spesifik pada tanaman tersebut diikuti oleh kemampuan mensekuestrasi bahan metabolit sekunder tersebut sebagai allomon. Dengan demikian dapat terjadi pemanfaatan ganda : jasad pengganggu berfungsi sebagai spesialis pada tumbuhan tertentu (mengurangi jumlah herbivora yang memanfaatkan tumbuhan tersebut); serta mendapat keuntungan dengan memperoleh bahan allomon.

Koleksi dan Identifikasi Feromon

Usaha koleksi bahan feromon baru berhasil dengan baik pada tahun 1959, ketika Butenandt menemukan bombikol, bahan feromon seks pada ngengat sutera (Bombyx mori). Pada saat itu dibutuhkan sekurangnya 10.000 ekor ngengat untuk memperoleh sejumlah kecil (beberapa ml saja) bahan feromon agar dapat diidentifikasi kandungan bahan kimianya. Sebelum tahun 1972, usaha koleksi bahan feromon memang memerlukan kerja yang amat tekun, karena diperlukan sejumlah besar individu serangga baik utuh maupun potongan bagian tertentu, untuk kemudian diekstraksi menggunakan pelarut khusus. Oleh kemajuan instrumentasi dan teknik fisikokimia saat ini, terutama dengan adanya GLC kapiler, Spektrometri Massa ion selektif, dan juga HPLC; metode deteksi dapat dilakukan dengan sensitivitas dan resolusi (daya pisah) yang amat tinggi tanpa harus menggunakan jumlah serangga yang amat besar.

Golub dan Weatherston (1984) menjelaskan bahwa untuk keperluan keberhasilan suatu program PHT, penggunaan feromon harus didahului dengan (a) penentuan secara tepat kandungan molekul campuran bahan feromon yang disekresikan oleh serangga, (b) penentuan laju produksi dan pelepasan campuran tersebut oleh serangga, dan (c) pengembangan suatu sistem pelepasan feromon terkendali untuk digunakan dalam pemantauan, perangkapan massal, dan program pengendalian menggunakan pelepasan feromon. Ketiga hal tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai efektivitas bahan yang telah diformulasi jika digunakan dalam kondisi normal.

Pada dasarnya terdapat dua metode koleksi dan kuantifikasi feromon, yaitu metode ekstraksi pelarut dan metode koleks efluvial (langsung dari udara). Telah dibuktikan oleh Silk dkk. (1980) bahwa jenis bahan yang terdapat pada kelenjar yang menghasilkan feromon dan komposisi bahan yang dilepas ke udara bisa saja berbeda. Dalam menentukan laju pelepasan feromon dari suatu sumber buatan, maka kedua metode tersebut harus diterapkan agar imbang.

Koleksi dari Sumber yang Berupa Serangga

Ekstraksi

1. Pemilihan pelarut.

Jacobson (1972) menyatakan bahwa dikhlorometan, heksan, dan dietil-eter merupakan pelarut yang banyak dipilih karena cukup volatil untuk ekstrak agar dapat terkonsentrasi tanpa perlu memanaskannya pada suhu tinggi. Tambahan lagi dikhlorometan tidak mudah terbakar. Namun ada peneliti yang lebih memilih etanol 95%, yang lebih baik daripada dikhlorometan, dietil-eter, heksan, khloroform, benzen dan aseton. Juga karena etanol 95% merupakan pelarut lemak yang jelek, maka hasilnya mengandung kontaminan lipid yang lebih sedikit (Brady & Smithwick, 1968). Karbon disulfida juga pernah dicoba, dan berhasil baik karena mudah menguapkannya dan tak responsif terhadap detektor FID (sehingga deteksi bahan feromonnya lebih mudah), tetapi penggunaannya dalam jumlah banyak terbatasi karena sifatnya yang mudah terbakar dan toksik. Namun dengan semakin pekanya sistem deteksi yang sekarang ada, penggunaannya dapat dipertimbangkan kembali karena bahan ini tidak perlu lagi dibutuhkan dalam jumlah banyak.

2. Metode ekstraksi.

Dua faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah letak kelenjar penghasil feromon dan ukuran serangganya. Cara yang pernah ditempuh Bartelt (1982) misalnya, adalah dengan meletakkan kokon serangga Pikonema alaskensis dalam kapsul gelatin; serangga betina yang muncul tiga sampai lima hari kemudian dibekukan, dan baik serangga, kokon maupun gelatinnya secara terpisah dicuci menggunakan heksan.

Beberapa serangga yang ekstraksinya langsung dilakukan pada individu utuh adalah caplak Amblyomma americanum (L.), ulat kacang Anticarsia gemmatalis (Hubner), ngengat India Plodia interpunctella (Hubner), ulat daun tembakau Heliothis virescens (F.), dan lalat zaitun Dacus oleae (Gmelin). Dengan menggunakan pelarut organik (benzen, eter), serangga direndam selama beberapa menit sampai beberapa jam, bahkan ada pula yang dihomogenisasikan. Sesudah itu dilakukan filtrasi dan penguapan pelarut, dengan prosedur yang berbeda menurut kondisi bahan feromonnya (atau dugaan kandungan bahan feromon yang paling dominan). Diperlukan pengujian beberapa metode atau modifikasinya agar dapat diperoleh jumlah feromon optimal dari ekstraksi cara ini.

Untuk Lepidoptera, metode yang paling banyak digunakan adalah mengekstrak potongan abdomen bagian posterior, tempat terletaknya kelenjar feromon seks. Pada Cadra cautella (Walker) misalnya, dicoba tiga cara ekstraksi yang berbeda terhadap ujung abdomen, dan ternyata ketiganya tidak berbeda nyata. Cara pertama dilakukan dengan memotong ujung abdomen 25 ekor ngengat betina berumur dua hari (periode optimal menjelang perkawinan) dan merendamnya pada campuran heksan: eter (1:1) pada - 220C selama tepat 24 jam; cara kedua dengan homogenisasi ujung abdomen menggunakan penggiling jaringan dari gelas setelah didinginkan -220C dan selanjutnya diekstrak residunya sesudah sentrifugasi selama 30 detik dengan 1 dan 0,5 ml pelarut; dan cara ketiga menggunakan sonikasi ujung abdomen setelah pendinginan -220C selama 24 jam menggunakan Bronwill Biosonik III yang diberi ujung mikrotip.

Pada tahun 1970an beberapa peneliti kemudian telah mampu mengembangkan teknik yang hanya membutuhkan sekelumit pelarut agar ekstraksinya dapat berlangsung cepat. engan menggunakan 0,2 - 0,5 ml eter dalam waktu 1-2 detik jumlah feromon yang dikumpulkan sudah cukup untuk analisis kuantitatif dengan menggunakan GLC tanpa proses "clean-up". Pada beberapa jenis hama gudang, dilakukan anestesi menggunakan eter atau pendinginan, kelenjar feromon diperas dengan tekanan jari pada abdomen, dan ujung abdomen dicelup ke dalam eter selama 1 - 2 detik. Sesudah dikeringkan dengan MgSO4, larutan dikonsentrasikan dengan aliran nitrogen kecepatan sedang menjadi sekitar 3 - 5 μl. Jika kemudian suatu volume tertentu (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat, senyawa alkoholnya, dan (z)-9-tetradesen-1-il asetat dikonsentrasikan menjadi 5 μl dan dicampurkan ke dalam alat penyuntik sebelum analisis GC, akan dijumpai kehilangan bahan sebesar 50 - 90%, tanda bahwa di dalam bahan yang diekstraksi terdapat senyawa feromon (yang kemudian bereaksi dengan senyawa alkoholnya sehingga terbentuk senyawa netral tak terdeteksi). Kehilangan ini selanjutnya dapat dikoreksi dengan menambahkan jumlah tertentu standard internal bervolatilitas sama sebelum dikonsentrasikan.

Koleksi Langsung dari Udara

Untuk koleksi bahan volatil di udara yang berasal dari serangga, harus ditentukan dulu apakah akan dilakukan pada udara yang bergerak atau yang diam; menggunakan teknik koleksi yang mana (kriogenik atau adsorpsi, misalnya); serta ukuran, susunan serta konstruksi bahan yang dipergunakan menyusun alat koleksi.

1. Aliran udara pasif

Dengan mengalirkan udara pada betina belum kawin ngengat spesies Choristoneura fumiferana yang ditempatkan dalam kantong plastik, diperoleh bahan aktif feromon. Agar yang terekstraksi bukanlah kontaminan atau bahan plastiknya, ada peneliti yang menggunakan misalnya bejana Mason berisikan kain kasa untuk tempat hinggap ngengat, dan kemudian dimasukkan kl. 100 ekor ngengat betina yang baru muncul dari pupa. Sesudah dua hari ngengat diambil dan bejana serta kain kasa dibasuh menggunakan eter. Metode yang sama juga dipergunakan untuk mengukur laju pelepasan feromon ngengat Plodia interpunctella. Ngengat betina sejumlah 20 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas bertutup volume 500 ml pada suhu 250C selama satu jam. Sesudah ngengat dikeluarkan dengan cepat, tabung dibasuh menggunakan 5 - 6 ml eter anhidrus, larutan disaring dan diuapkan dengan N2 pada suhu 30o C sampai tinggal 3 – 5 μl, dihisap ke dalam jarum suntik dan dianalisis. Efisiensi perolehan feromon diukur dengan menempatkan volume tertentu (nanogram) (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat dan senyawa alkoholnya pada ujung spatula baja tahan karat ke dalam tabung gelas bertutup selama satu jam (dibiarkan menguap sendiri). Ternyata bahwa 80% senyawa asetat dan 40% senyawa alkohol dapat diperoleh kembali sesudah tabung gelas dibasuh dengan pelarut organik.

Berbagai teknik dan metode yang ada telah mampu dipergunakan koleksi bahan feromon sampai pada tingkat nanogram. Teknik-teknik tersebut berguna tidak hanya untuk identifikasi saja, melainkan juga untuk mengukur laju emisi, kemampuan perolehan kembali (recovery) termasuk penyempurnaannya seperti pengaruh jumlah pembasuhan, pendinginan tabung, variasi cara koleksi dll, juga isolasi dan elusidasi bahan pada kecoa, serta laju pelepasan dan produksi feromon misalnya pada Plodia dan Dacus oleae. Teknik pengambilan langsung dari udara secara pasif (passive airflow) masih dianggap kurang memadai jika dilakukan di lingkungan secara langsung sehingga perlu dicari cara koleksi yang lebih memadai.

2. Aliran udara bergerak

a. Perangkap kriogenik. Kriogenik adalah teknik yang dilakukan pada suhu amat rendah. Dalam melakukan sampling di lapangan, suhu ini diperlukan karena pada suhu nitrogen cair (-196oC) semua senyawa organik yang umumnya terdapat di udara dapat disingkirkan. Pada sistem kriogenik, masukan udara diperoleh dengan cara membuat ruang hampa di dalam perangkap melalui kondensasi udara yang masuk. Dengan demikian ada tiga faktor yang menentukan laju masuknya udara: luas permukaan untuk kondensasi udara, perbedaan suhu antara bahan pendingin dan titik cair udara, dan ukuran lubang masukan udara.

Metode semacam ini mulapertama diterapkan oleh Browne dkk. (1974). Ada tiga teknik perangkap kriogenik yang mereka kembangkan untuk memperoleh feromon volatil kumbang kulit kayu. Seperti terlihat pada gambar 1, kayu yang ada kumbangnya diletakkan pada kotak yang akan segera dialiri udara jika tabung penampung dalam hal ini tabung erlenmeyer 750 ml ditempatkan pada tabung nitrogen cair bermulut lebar. Agar tidak terjadi pembentukan es dan penyumbatan mulut tabung, maka leher tabung penampung harus berada di atas tabung nitrogen cair.

Bersama dengan semakin bertambahnya isi Erlenmeyer oleh udara cair mengandung bahan feromon, luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran panas berkurang, dan lajur aliran udara juga berkurang. Sewaktu alirannya turun sampai di bawah laju yang diinginkan, tabung koleksi di dalam nitrogen cair dipindahkan ke freezer suhu rendah (-50 oC), sehingga udara dibiarkan menguap pelan-pelan sementara bahan feromonnya tertinggal. Agar pelaksanannya dapat dilakukan dalam waktu lebih lama (umumnya hanya 4 - 6 jam), Erlenmeyer diganti dengan tabung berbentuk U yang salah satu ujungnya dihubungkan pada mesin hampa. Dengan cara ini penguapan udara dapat berlangsung sampai 48 - 96 jam. Browne et al. kemudian menyempurnakan disainnya dengan menempatkan tabung U di dalam tabung/bejana lain secara khusus sehingga kemampuan pertukaran panas pada lubang masuk menjadi lebih besar dan evaporasi udara cair pada lubang keluar berlangsung pelan-pelan. Ujung lubang keluar ini juga dilengkapi dengan alat pengatur aliran sehingga dapat dipergunakan mengatur tekanan hampa sehingga terjadi suatu "kancing cairan". Selain itu disain ini juga menghemat nitrogen cair.

b. Perangkap Dingin.

Teknik ini dipergunakan dalam isolasi dan identifikasi feromon serangga dari beberapa ordo seperti misalnya Orthoptera, Coleoptera, Diptera dan Lepidoptera. Pada tahun 1971 teknik yang berkembang sejak awal tahun 1960an ini juga dicoba untuk analisis kuantitatif.

Salah satu teknik yang dipergunakan misalnya adalah pada Trichoplusia ni. Nitrogen dengan laju 150 ml/menit dialirkan selama 10 menit pada serangga betina individual yang ujung abdomennya ditonjolkan menggunakan forsep untuk gigi, atau di atas sejumlah mikrogram feromon sintetik yang diletakkan pada cakram tembaga. Aliran gas kemudian dilewatkan melalui sejumlah kecil karbon disulfida yang ditempatkan dalam tabung U pada suhu -70 oC hasil dari penangas es kering-aseton. Sesudah dikoleksi, permukaan gelas tabung koleksi dibasuh dengan pelarut, dan larutan karbon disulfida yang terkumpul (kl. 3 ml) diuapkan menjadi 100 μl dengan menggunakan penangas air. Selanjutnya diambil alikuot 10 μl untuk dianalisis menggunakan GLC dan secara kuantitatif diperbandingkan pada kurva detektor untuk berbagai konsentrasi bahan (Z)-7-dodesen-1-il asetat.

Cara ini secara umum masih memungkinkan kehilangan perolehan. Pada teknik di atas misalnya, terjadi kehilangan 34% karena transfer dan prosedur konsentrasi yang kurang tepat. Demikian juga pemasangan cakram tembaga dapat menjadi sumber galat, karena volume pelarut yang dipergunakan tidak dilaporkan. Beberapa peneliti perlu menggunakan faktor koreksi, sehingga banyak yang menyatakan bahwa metode ini memang kurang begitu dapat dipercaya.

c. Penjerap Resin dan Adsorben Lainnya.

Untuk koleksi feromon serangga, penjerap resin (resin adsorbent) juga telah dipergunakan sebagaimana yang umum dilakukan pada koleksi polutan air, analisis aroma, dan kajian metabolit cairan tubuh. Kapasitas adsoben bahan padat khromatografi telah dipelajari dengan sangat ekstensif, dengan dicari kesesuaiannya terhadap senyawa tertentu, meski bahan adsorben seperti itu umumnya mampu berfungsi sebagai adsorben untuk berbagai bahan organik volatil.

Kelebihan teknik ini terutama adalah tidak dibutuhkannya suhu rendah, luas permukaan yang besar karena bentuknya tepung, dan tersedia berbagai jenis untuk koleksi bahan volatil yang berbeda. Salah satu kekurangannya adalah, pada suhu yang terlalu tinggi, ada kemungkinan bahan volatil mengalami pirolisis. Pada kondisi kita di Indonesia, kendala teknik menggunakan penjerap resin adalah harganya yang mahal, sehingga prosesnya pun menjadi mahal. Sekali lagi, pemahaman khusus mengenai kimia adsorben amat dibutuhkan agar diperoleh bahan yang paling efisien.

By: Winoto
Sumber :http://www.edmart.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&action=listmenu&skins=2&id=317&tkt=4


Mengapa Serangga Tertarik Dengan Cahaya

Gara-gara ada serangga kecil (entah apa namanya) yang nempel dimonitor dan akhirnya membuat saya penasaran untuk mencari jawaban kenapa sih serangga tersebut selalu nempel di monitor walaupun sudah diusir berkali-kali. Ternyata.. serangga yang aktif dimalam hari memang menggunakan cahaya sebagai alat bantu navigasi, contohnya cahaya bulan dan bintang, karena penglihatan mereka memang buruk, dan ini merupakan proses alami yang telah terjadi sejak dahulu kala, maka begitu melihat ada cahaya sudah menjadi insting dan refleks mereka kali jadi pengennya nempel mulu..tapi kalo cahaya lilin kayaknya gak mau deket2 sih.. ntar kebakar donk.. huhehehehe.. nah reaksi serangga terhadap cahaya itu disebut dengan phototaxis. O ya.. intensitas dan warna cahaya juga katanya bisa mempengaruhi serangga-serannga apa saja yang mau nempel didekatnya.. gak percaya?? coba aja.. huheheehe..

sumber : http://dwimurdianto.blogspot.com/2007_02_01_archive.html


Thursday, July 24, 2008

KENTANG





Family Solanaceae


Deskripsi

Kentang merupakan tanaman dikotil yang bersifat semusim dan berbentuk semak/herba. Batangnya yang berada di atas permukaan tanah ada yang berwarna hijau, kemerah-merahan, atau ungu tua. Akan tetapi, warna batang ini juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan keadaan lingkungan. Pada kesuburan tanah yang lebih baik atau lebih kering, biasanya warna batang tanaman yang lebih tua akan lebih menyolok. Bagian bawah batangnya bisa berkayu. Sedangkan batang tanaman muda tidak berkayu sehingga tidak terlalu kuat dan mudah roboh.

Manfaat

Kentang sangat digemari hampir semua orang. Bahkan di beberapa daerah, ada yang menjadikannya makanan pokok. Selain itu, kentang juga banyak mengandung vitamin B, vitamin C, dan sejumlah vitamin A. Sebagai sumber karbohidrat yang penting, di Indonesia, kentang masih dianggap sebagai sayuran yang mewah.

Nutrisi, Nilai per 100 gram porsi makanan

Air, 83.29 g
Energi, 58 kcal
Energi, 243 kj
Protein, 2.57 g
Total Lemak, 0.1 g
Karbohidrat, 12.44 g
Serat, 2.5 g
Ampas, 1.61 g

Mineral

Kalsium, Ca, 30 mg
Besi, Fe, 3.24 mg
Magnesium, Mg, 23 mg
Phospor, P, 38 mg
Potassium, K, 413 mg
Sodium, Na, 10 mg
Seng, Zn, 0.35 mg
Tembaga, Cu, 0.423 mg
Mangan, Mn, 0.602 mg
Selenium, Se, 0.3 mcg

Vitamin

Vitamin C, asam ascorbic, 11.4 mg
Thiamin, 0.021 mg
Riboflavin, 0.038 mg
Niacin, 1.033 mg
Asam Pantothenic, 0.302 mg
Vitamin B-6, 0.239 mg
Folate, 17.3 mcg
Vitamin B-12, 0 mcg
Vitamin A, 0 IU
Vitamin A, RE, 0 mcg_RE

Lemak

Asam Lemak Jenuh, saturated, 0.026 g
10:0, 0.001 g
12:0, 0.003 g
14:0, 0.001 g
16:0, 0.016 g
18:0, 0.004 g
Asam Lemak Tak Jenuh, monounsaturated, 0.g
16:1, 0.001 g
18:1, 0.001 g
Asam Lemak Tak Jenuh, polyunsaturated, 0.043 g
18:2, 0.032 g
18:3, 0.010 g
Kolesterol, 0 mg

Syarat Tumbuh

Kentang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya. Keadaan iklim dan tanah merupakan hal penting yang perlu diperhatikan, di samping faktor penunjang lainnya. Kentang dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi antara 500-3.000 m dpl. Dan, yang terbaik adalah pada ketinggian 1.300 m dpl dengan suhu relatif sekitar 20°C. Selain, itu daerah dengan curah hujan 200-300 mm setiap bulan atau 1.000 mm selama masa pertumbuhan kentang merupakan daerah yang baik untuk pertumbuhan kentang. Tanah yang baik untuk kentang adalah tanah yang subur, dalam, drainase baik, dan pH antara 5-6,5. Pada tanah yang pHnya rendah, akan dihasilkan kentang yang mutunya jelek.

Pedoman Budidaya

Kentang dikembangbiakkan dengan umbi. Umbi yang baik untuk ditanam adalah umbi yang telah bertunas sehingga perlu diadakan penunasan. Penunasan berarti menumbuhkan sejumlah tunas yang sehat dari umbi bibit beberapa minggu sebelum ditanam sehingga diperoleh tanaman yang seragam. Penunasan dilakukan sekitar 2 bulan menjelang tanam pada rak-rak penumbuh berukuran 60 x 40 x 10 cm dengan kaki 7,5 cm. Rak-rak penumbuh ini disusun bertingkat. Banyaknya rak tergantung dari umbi yang akan ditunaskan. Rak itu diletakkan di tempat yang tidak langsung kena sinar matahari. Apabila menggunakan sinar matahari langsung, suhu tidak boleh terlampau tinggi. Dan, setelah tunas-tunas kecil keluar, bibit harus dipindahkan ke tempat yang lebih dingin (6-12° C). Untuk setiap hektar, kentang varietas Granola, membutuhkan 1.500-2.000 kg bibit. Sambil menunggu umbi bertunas, dilakukan pengolahan tanah. Tanah dibajak atau dicangkul, kemudian diistirahatkan selama 1-2 minggu untuk memperbaiki keadaan tata udara tanah. Selanjutnya tanah diratakan, diikuti dengan pembersihan rerumputan liar. Setelah itu pada tanah itu dibuatkan garitan-garitan sedalam 5- 10 cm. Jarak antargaritan biasanya disesuaikan dengan jarak tanam yang akan digunakan. Sedangkan jarak tanam yang digunakan tergantung pada jenis kentang yang akan diusahakan. Penanaman dilakukan bersamaan dengan pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang. Untuk setiap hektar, diperlukan sekitar 20 ton pupuk kandang, 500 kg Urea, 300 kg TSP, dan 200 kg KCI. Pupuk ini diletakkan di antara umbi-umbi di dalam garitan yang selanjutnya ditimbun dengan tanah. Bibit kentang akan tumbuh di atas tanah ± 10 hari kemudian.

Pemeliharaan

Setelah tanaman berumur sebulan, tanaman mulai didangir dan dibumbun. Pembumbunan ini penting untuk mencegah agar umbi kentang yang terbentuk tidak terkena sinar matahari.

Hama dan Penyakit

Hama yang sering menyerang tanaman kentang antara lain sebagai berikut. Aphids atau kutu daun Aphids (Myzus persicae Sulz., Aphis gossypii Glov., dan A. spiraecola Patch.) ini dapat menularkan penyakit yang disebabkan oleh virus. Pengendaliannya dapat dengan menggunakan insektisida sistemik seperti Furadan 3 G (80 kg/ha), atau dengan Desis 2,5 EC (0,04%), Tamaran 200 LC (0,2 %), dan Hostatron 40 EC (0,2 %). Wereng kentang Wereng kentang (Empoasca fabae Harr.) dapat menyebabkan kerusakan pada daun kentang. Selain itu, sambil memakan daun hama ini menyuntikkan zat beracun hytotoximia sehingga menimbulkan kerusakan pada daun seperti terbakar. Yang biasa menyerang kentang adalah nimfa dan serangga dewasa. Serangga dewasa berwarna hijau kekuning-kuningan dan panjangnya 2,35-2,65 mm. Pengendaliannya sama seperti pada aphids. Thrips Thrips (Thrips palmy Karny) adalah hama yang kecil sekali, sulit dilihat dengan mata telanjang. Hama ini berkembang biak secara partenogenesis (telur dapat menetas tanpa dibuahi). Thrips menimbulkan kerusakan karena ia mengisap cairan daun sehingga warna daun berubah menjadi keperakan. Serangan yang berat dapat terjadi pada cuaca kering dan dapat mengakibatkan semua daun mengering lalu mati. Pemberantasannya dapat dengan meng- gunakan Orthene 75 SP (0,1 %), Tamaron 200 LC (0,2 %), atau Bayrusi1250 EC (0,2 %). Kumbang kentang Larva dan serangga dewasa kumbang kentang (Ephilachna sparsa forma vigintioctopunctata Boisd.) memakan jaringan daun sehingga yang tinggal hanyalah tulang-tulang daun dan lapisan epidermis. Serangga dewasa panjangnya sekitar 1 cm, berwarna merah, dan berbintik-bintik hitam. Pemberantasannya sama seperti hama thrips. Penggerek umbi kentang Penggerek umbi kentang (Phthorimaea operculella Zell.) merusak umbi kentang di dalam gudang dan memakan daun kentang di lapangan. Gejala serangannya adalah daun berwarna merah tua dan tampak adanya jalinan seperti benang yang membungkus ulat kecil berwarna kelabu. Biasanya daun menggulung karena larvanya bersembunyi di dalamnya. Sedangkan gejala serangan pada umbi di dalam gudang adalah tampak adanya kotoran yang berwarna cokelat tua pada kulit umbi. Apabila umbi dibelah, akan tampak lubang-lubang atau alur-alur. Pemberantasannya di lapanb an adalah dengan menyemprotkan Tamaron 200 LC (0,2010) atau Orthene 75 SP (0,1 %). Sedangkan pemberantasannya di gudang adalah dengan menggunakan Sevin 5 D sebanyak 1,5 kg/ton kentang, atau dengan menaburkan serbuk daun Lantana camara yang telah dikeringkan setebal 2 cm pada umbi kentang. Penyakit Penyakit yang sering menyerang pertanaman kentang antara lain sebagai berikut. Bercak kering Gejala serangannya adalah mula-mula tampak berupa bercak kecil pada daun-daun bawah, kemudian berkembang. Bercak ini berwarna cokelat dengan tanda khas berupa lingkaran-lingkaran. Serangan dapat dijumpai pada tangkai daun, batang, bahkan umbi. Pada tangkai daun dan batang, gejala serangannya berupa bercak cokelat yang memanjang. Sedangkan pada umbi, bercaknya agak melekuk, pinggirannya menonjol bulat, dan dalamnya sekitar 0,3 cm. Penyebab penyakit ini adalah jamur Altenaria solani. Penyakit ini dapat dicegah dengan Dithane M-45, Blitox-50, dan Antracol. Busuk daun Gejala serangan tampak dengan adanya bercak basah bertepi tidak teratur pada tepi daun atau tengahnya. Bercak ini kemudian melebar dan terbentuklah daerah nekrotik berwarna cokelat. Di sekitar daerah itu, terdapat bagian yang berwarna hijau kelabu yang dihasilkan oleh massa sporangium yang tampak berwarna putih. Serangan juga dapat terjadi pada tangkai daun atau tangkai anak daun dengan warna cokelat, melingkar, agak mengendap, dan dapat menimbulkan defoliasi. Penyakit busuk daun ini disebabkan oleh Phytophthora infestans, yang umumnya dijumpai pada tanaman kentang yang berumur 5-6 minggu ke atas. Untuk pengendaliannya sebaiknya kita menggunakan varietas yang tahan atau penggunaan fungisida yang telah diizinkan pemakaiannnya. Penyakit tanaman kentang lainnya adalah penyakit layu fusarium, kanker batang, dan penyakit kudis.

Panen dan Pasca Panen

Umur panen kentang berbeda menurut jenisnya, tetapi umumnya dipanen saat berumur 3-4 bulan setelah tanam. Setelah panen, sebaiknya kentang dipungut seminggu setelah daun dan ujung batangnya kering. Bila belum kering, mutu umbinya akan rendah dan kulitnya akan lecet sehingga tidak bisa dijadikan bibit. Penggalian untuk memungut umbi harus berhati-hati jangan sampai umbinya terluka kena cangkul atau alat penggali lainnya.

Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=1
http://www.asiamaya.com/nutrients/kentang.htm

Thursday, July 17, 2008

Budidaya Tomat




Minggu, 29 April 2007 22:56:37

Tomat adalah salah satu jenis sayuran yang banyak digemari masyarakat karena rasanya yang enak dan segar serta sebagai sumber vitamin. Hal ini penting untuk kebutuhan rumahtangga. Selain untuk konsumsi segar sebagai buah meja, juga dapat dijadikan sari buah tomat untuk minuman segar dan sauce tomat untuk bumbu masak.

Dengan laju pertumbuhan penduduk yang pesat, maka kebutuhan akan buah tomat meningkat, sehingga ada peluang yang besar untuk mengembangkan komoditi tomat sekaligus meningkatkan produksi tomat.


JENIS-JENIS TOMAT:

- Tomat biasa (lycopersicum commune) buahnya bulat pipih, lunak, bentuknya tidak teratur.
- Tomat Apel (Lycopersicum pyriforme) buah bulat, kuat dan sedikit keras seperti buah apel, tumbuh baik di dataran tinggi
- Tomat kentang (Lycopersicum grandifolium) buah bulat, padat, lebih besar dari tomat apel, daun lebar agak rimbun.

Sedangkan varietas tomat yang sekarang sedang dikembangkan adalah varietas Berlian, Ratna dan Intan.


SYARAT TUMBUH:

- Dapat tumbuh didataran rendah dan tinggi
- Waktu tanam yang baik 2 bulan sebelum musim hujan berakhir (awal musim kemarau)
- Tanah gembur, kaya humus dan subur
- Drainase baik dan tidak menggenang PH sekitar 5-6
- Curah hujan optimal 100-220 mm/ hujan
- Temperatur optimum 100-200 C (malam hari), 200-300 C (siang hari)

TEKNOLOGI BENIH

BENIH:

Diperbanyak secara generatif (biji)
Kebutuhan benih tergantung pada varietas dan jarak tanam, namun berkisar antara 150-300 gram/ha.

PERSEMAIAN:

Media pesemaian dibuat dari campuran tanah kompos dan pupuk kandang (1:1:1)
Pesemaian diberi atap/naungan yang menghadap ketimur
Setelah umur 2 minggu dibumbun/dioker dengan media campuran tanah, pupuk kandang dan kompos (2:1:1), agar tanaman kuat sebelum ditanam dilapangan
Pada umur 4-6 minggu bibit siap ditanam di kebun.

PENGOLAHAN TANANAH DAN PENANAMAN:

Tanah diolah dan dibentuk bedengan-bedengan arah timur - barat dengan ukuran lebar 2-3 meter, panjang sesuai petakan, tinggi bedengan 30-40 cm dan jarak antar bedengan 20-30 cm.
Bibit dipilih yang besar, seragam dan kokoh pertumbuhannya.
Jarak tanam 50 x 70 cm atau 70 x 80 cm tergantung varietasnya.

PEMUPUKAN:

Pupuk dasar diberikan saat tanam terdiri dari 100 kg TSP, 50 KCL dan pupuk kandang 15 ton/ha.
Pupuk susulan I diberikan 14 HST : 75 kg urea.
Pupuk susulan II diberikan 35 HST : 75 kg urea.

PEMELIHARAAN:

Penyiraman dilakukan setiap hari.
Pada saat berbunga penyiraman 2 hari sekali hingga saat berbuah.
Penyiangan/pendangiran dilakukan setelah pemupukan atau tergantung pada pertumbuhan gulma.
3-4 minggu setelah tanam diberi ajir/lanjaran untuk menopang agar tanaman tidak roboh kelak sesudah dewasa dan menghasilkan buah.
Pemangkasan dilakukan setelah umur 4-6 minggu agar buah yang dihasilkan tidak kerdil dan masaknya tidak terlambat.
Untuk mengurangi pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah maka diberi mulsa jerami atau plastik.

HAMA & PENYAKIT

HAMA:

1. Heliothis armigera
Buah yang diserang menjadi busuk dan rontok, juga menyerang pucuk cabang
2. Agrotis epsilon
Larva menyerang jaringan daun sehingga daun tinggal rangkanya
3. Thrips spp
Daun bergaris kecil berwarna perak dan layu.

PENYAKIT:

1. Phytoptora infestans
Gejalanya terdapat bercak daun pada ujung dan pinggir daun sebelah bawah yang meluas keseluruh daun.
2. Fusarium oxysporum
Tulang daun menguning dan tangkai merunduk, tanaman kerdil, buah terbentuk tetapi kecil-kecil.
3. Pseudomonas solanacearum
Kelayuan dimulai dari bagian pucuk dan selanjutnya merambat keseluruh bagian tanaman, batang menjadi lembek.

Pengendalian hama dapat dilakukan dengan mempergunakan insektisida misal: Basudin 60 EC, Hostathion 40 EC dll. Dengan dosis 1,5 - 2 liter/ha. Sedangkan untuk penyakit dapat digunakan fungisida: Benlate, Folirfos 400 EC dengan dosis 1,5 - 2 liter/ha.

PANEN & PASCA PANEN

PANEN:

Buah pertama dapat dipanen setelah umur 3 bulan
Waktu panen buah jangan terlalu masak agar dapat disimpan lama/untuk dikirim jauh
Hasil dapat mencapai 200-250 kw/ha

PASCA PANEN:

Tomat adalah jenis sayuran yang cepat rusak sehingga perlu perlakuan-perlakuan:
- Dipetik pada umur yang cukup
- Disimpan ditempat dingin dan lembab
- Hindari terjadinya luka pada buah
Sebagai wadah dalam pengangkatan dapat digunakan keranjang yang dilapisi kertas atau plastik
- Tomat dapat diolah untuk dipasarkan sebagai sauce tomat, sari buah dan minuman segar es juice dll.

(Source: Departemen Pertanian)
dikutip dari : http://www.bijiku.com/news.php?action=detail&id=7


Senyawa Mikro Dan anorganik Kultur Jaringan

PADA 1965 ketika George Morel, seorang botanis Prancis, sedang melakukan percobaan untuk mendapatkan tanaman anggrek bebas virus, ia menemukan bahwa dengan cara mikropropagasi, tunas sepanjang 1 (satu) milimeter dapat dikembangkan menjadi tanaman lengkap. Cara ini dimulai dengan teknik kultur jaringan atau mikropropagasi.
Pada 1970, teknologi ini dikembangkan secara komersial di sejumlah negara maju. Teknik ini meluas di dunia pada 1980. Pada awalnya teknik ini digunakan pada tanaman hias dan bunga potong untuk diekspor. Dan selama bertahun-tahun, teknik ini hanya berkembang pada skala laboratorium dan pada umumnya diminati oleh kalangan akademisi.
Tetapi di sejumlah negara berkembang, karena kebutuhan biomasa dan kebutuhan energi semakin meningkat, diperlukan kemungkinan perbanyakan massal bibit tanaman dengan teknik kultur jaringan . Dan di abad ke-21 ini, di negara mana pun sudah umum dilakukan penyemaian bibit tanaman dengan teknik yang cukup populer ini.
Definisi kultur jaringan tanaman adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sekelompok sel, jaringan dan organ yang menumbuhkannya dengan kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali. (NETTY WIDYASTUTI)

Senyawa Mikro:

Besarnya konsentrasi senyawa mikro yang digunakan sangat kecil yaitu berukuran mikromolar, antara lain: besi (Fe), mangan (Mn), boron (Bo), tembaga (Cu), seng (Zn), Iodine (I), molybdenum (Mo), cobalt (Co). Unsur-unsur tersebut adalah merupakan komponen protein sel tanaman yang penting dalam proses metabolisme dan proses fisiologi.

Penggunaan unsur mikro awalnya dilakukan oleh Knudson pada tahun 1922, dengan menambahkan Fe dan Mn dalam media kultur untuk perkecambahan anggrek, yang ternyata hasilnya sangat baik. Barthelot, Gautheret, dan Nobecourt pada tahun 1934-1939, menyarankan penggunaan Cu, Co, Ni, Ti dan Bo dalam media kultur. Hildebrant dan kawan-kawannya pada tahun 1946, menyatakan kebutuhan Bo, Mn, Zn dan Fe yang optimum, untuk pertumbuhan kalus tanaman tembakau dan bunga matahari,sedangkan penggunaan Mo diperkenalkan oleh Buerk Holder dan Nickel. Percobaan Heller tahun 1953 membuktikan pentingnya penggunaan unsur Fe, Bo, Mn, Zn, dan Cu dalam media kultur wortel yang ditumbuhkan pada media Gautheret, Heler. Zn sangat diperlukan untuk pertumbuhan akar tomat yang normal (Eltinge & Reed, 1940 dalam George & Sherrington, 1984), sedangkan tanpa Cu, pertumbuhan terhenti sama sekali seperti yang diulas oleh Glasstone pada tahun 1947 (George & Sherringtone, 1984).

Sewanya Mangan (Mn) diperlukan dalam kultur kotiledon selada untuk memacu pertumbuhan jumlah pucuk yang dihasilkan. Mn dalam level yang tinggi dapat mengsubstitusikan Mo dalam kultur akar tomat. Mn dapat menggantikan fungsi Mg dalam beberapa sistem enzym tertentu seperti yang dibuktikan oleh Hewith pada tahun 1948.

Kekurangan Boron mengurangi laju pertumbuhan kultur sel tebu, bunga matahari, dan wortel. Sebaliknya konsentrasi lebih tinggi dari 2 mg/l, dapat berubah sisatnya menjadi racun dalam media kultur. Dalam beberapa species, ternyata terdapat interaksi antara Bo dan auksin dalam pengaturan pengakaran pada percobaan setek.

Unsur seng, Alumunium, dan Nikel, tidak banyak dipelajari efeknya terhadap pertumbuhan kultur. Untuk seng, diketahui bahwa unsur ini dibutuhkan dalam sintesa tryptophan, sedangkan untuk Al dan Ni belum ada bukti-bukti yang cukup yang menyatakan bahwa unsur-unsur tersebut terlibat dalam metabolisme penting dalam sel. Unsur Al dan Ni jarang ditambahkan dalam formulasi media, hanya Heller dan beberapa peneliti lain yang menambahkan. Penambahan Al dan Ni pada kultur meristem Prunus, tidak mempunyai pengaruh apa-apa.

Iodine juga merupakan unsur yang tidak diketahui kontribusinya dalam kultur jaringan tanaman, 65% dari komposisi media yang dikembangkan, menambahkan unsur ini. Penambahan ini dilakukan setelah white menyatakan bahwa Iodine dapat memperbaiki pertumbuhan akar tomat yang dikultur in vitro. Dalam media Eeuwens yang dikembangkan pada tahun 1976 untuk kelapa, iodine yang ditambahkan 0.05 mM; nilai ini 10 kali lebih tinggi dari level yang terdapat dalam komposisi MS.



Fungsi Unsur-unsur Anorganik:
1. Kalium (K) berperan dalam sintesa protein, penggerak beberapa enzim, membuka dan menutupnya stomata.
2. Kalsium (Ca) sebagai penyusun struktur dinding sel, cofactor enzim, permeabilitas sel, komponen dari kalmodulin.
3. Fosfor (P) sebagai penyusun ATP, asam nukleat, coenzim dan fosfolipid.
4. Magnesium (Mg) penyusun molekul klorofil, membantu aktifitas enzim.
5. Mangan (Mn) mengatur oksidasi auksin, sebagai aktifator enzim.
6. Sulfur (S) sebagai penyusun beberapa asam amino, protein dan coenzim A.
7. Besi (Fe) berperan dalam sintesa klorofil, cytokrom.
8. Clorine (Cl) berperan dalam proses osmosis dan kesetimbangan ion.
9. Tembaga (Cu) berperan dalam cofactor enzim.
10. Zinc (Zn) berperan menahan oksidasi auksin, berguna dalam sintesa triptofan dan sebagai aktifator enzim.
11. Boron (Bo) berperan mempengaruhi penggunaan kalsium.
12. Cobalt (Co) diperlukan oleh organisme dalam memfiksasi N2.
13. Yodium (I) berperan dalam transport auksin.
sumber : >http://e-learning.unram.ac.id/KulJar/BAB%20III%20MEDIA/III2%20Unsur%20Mikro%20Kultur%20Jaringan.htm
>http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/13/ipt02.html


Tuesday, June 17, 2008

Daun Selada Tidak Dicuci



Karena dimakan segar, daun selada harus bebas pestisida. Tidak boleh disemprot racun serangga. Ternyata ia juga sama sekali tidak boleh dicuci. Sebab, daun selada mudah rusak kalau terkena air.

Tidak ada dalam kamus persayuran bahwa selada harus direbus dan dimakan matang, supaya tidak bikin sakit perut. Lezatnya justru kalau ia dimakan segar dalam keadaan mentah.

Lalu, bagaimana cara mereka menanam dan menyiapkan hasil panen selada yang aman, tidak bikin sakit perut?

Dari selada ke letus

Pada zaman Belanda dulu kita sudah mengenal istilah

selada dari salade Prancis. Anak cucu kita zaman sekarang mengenalnya sebagai letus dari lettuce Inggris.

Keduanya sama, daun Lactuca sativa, sejenis tanaman dari keluarga bunga matahari Compositae. Carolus Linnaeus dari Swedia menyebutnya Lactuca karena sari tanaman itu keputih-putihan seperti lactis (air susu). Linnaeus melempar istilah sativa di atas kepala-kepala selada karena tanaman itu sudah lama dibudidayakan umat manusia. Sama lamanya dengan padi kita Oryza sativa yang dibudidayakan orang Hindu, kacang kapri Pisum sativum orang Siam, dan lobak Raphanus sativus orang Cina.

Orang Persia (nenek moyang orang Iran sekarang) sudah sejak tahun 550 SM membudidayakan selada, dan memperkenalkannya ke Eropa pada zaman Alexander Agung menyerbu Persia.

Orang Prancis menyebutnya laitue, tetapi karena daun tanaman itu dimakan dengan salare (garam), masakannya disebut salade. Pada tahun 1560, laitue untuk membuat salade ini diperkenalkan orang Prancis ke Inggris. Dari sana dibawa ke berbagai penjuru dunia sebagai lettuce dan salad.

Pada zaman kemudian tidak hanya garam yang dibubuhkan, melainkan mayonnaise (campuran kuning telur yang dikocok dalam minyak zaitun sampai menjadi saus yang agak kental, lalu diberi sari jeruk supaya tidak nek). Tetapi namanya masih tetap ketinggalan zaman: salade, seolah-olah cuma dibumbui salare. Sampai sekarang nama itu belum direformasi.

Kalau bumbunya berkembang dari garam menjadi mayonnaise, tanamannya sendiri berkembang dari selada kuno yang daunnya tebal hijau, menjadi letus yang daunnya lebih tipis, dan bermacam-macam warnanya. Di antaranya malah ada yang keriting.

Orang Belanda zaman voor de oorlog memakai daun selada sebagai campuran sla yang mayonesnya diberi sla olie (minyak kacang) karena minyak zaitun tidak ada di Indonesia. Tetapi kita di Jakarta memakai daun selada sebagai gado-gado saja berbumbu pecel, yang diberi minyak jambu monyet.

Belakangan masakan selada sudah tidak seperti dulu lagi hanya berupa daun selada, iris-irisan buncis dan wortel ditambah engkol, tetapi sudah ditambah macam-macam bahan lain. Bahkan tanpa daun selada pun kini juga minta disebut "selada", kalau bumbunya berbau mayones dan Thousand Island.

Dulu, selada dipakai sebagai pembuka santapan, atau pelengkap bistik (nama modernnya steik). Tetapi belakangan, selada naik tingkat menjadi makanan utama kalau ditambahi karbohidrat (kentang rebus, pasta, nasi risoto italia, atau nasi kuning indonesia) dan protein hewani (daging ayam, sapi, ikan, atau udang). Yang bertahan sebagai pembuka hanya selada buah, seperti Tropical Paradise Salad, berisi mentimun jepang, kacang cina, mangga probolinggo, nanas palembang, atau apel malang.

Varietas selada itu sendiri kini juga bertambah banyak sampai kita kagum. Tetapi supaya mudah dikenal, lazimnya mereka dikelompokkan menjadi tiga, meskipun ada bentuk-bentuk antara di antaranya.

Head lettuce, L. sativa varietas capitata yang daunnya melengkung di seputar poros tengahnya sampai membentuk bulatan seperti kepala orang. Orang Belanda menyebutnya kropsla.

Leaf lettuce, L. sativa varietas crispa yang tidak membentuk kepala. Kelompok ini dianggap crispa karena daunnya terasa garing keriak-keriak. Padahal di antara head lettuce juga ada yang begitu, namun tidak kebagian gelar crispa.

Cos atau Romaine lettuce, L. sativa varietas longifolia yang daunnya panjang-panjang.

Salah satu head lettuce yang terkenal sebagai Iceberg pernah merajai pasar-pasar swalayan kita sebagai selada modern yang terjangkau oleh masyarakat metropolis Pulau Jawa. Daunnya yang hijau muda keputih-putihan membentuk kepala kompak seperti kubis sampai dikira kubis. Di Inggris Amerika ia disebut cabbage lettuce, karena bentuknya seperti blasteran antara selada dan kubis.

Di samping selada tulen ini, ada varietas yang diaku-aku sebagai selada, walaupun sebenarnya bukan. Yaitu Radicchio yang sepintas lintas mirip selada, tetapi berasal dari nenek moyang Cichorium intybus. Bentuknya memang seperti selada, sampai di Jerman beredar sebagai salatzichorie. Hanya rasanya yang agak lain, agak menusuk.

Selada gunung

Karena asalnya dari daerah subtropik yang sejuk udaranya, selada yang ditanam di daerah tropik yang panas seperti Indonesia terpaksa dicarikan tempat penanaman yang sejuk juga. Misalnya di Lembang, lereng selatan G. Tangkubanperahu. Atau Desa Cidahu di lereng selatan G. Salak setinggi 1.000 m di atas permukaan laut. Di tempat yang udaranya masih segar, bebas polusi udara itu, head lettuce seperti Green Mignonette dan Red Lola Rosa, bisa tumbuh leluasa (dan bagus) karena menerima sinar matahari penuh, tetapi tidak panas.

Selada ditanam perusahaan Incredible Edibles Farm pimpinan Bill Anderson (seorang koki kepala di Javana Spa, Cicurug), di atas bedengan selebar 80 cm. Bedengan dipasangi kerangka bambu untuk mengerudungkan lembaran plastik sebagai pelindung. Sebab, setiap sore sampai fajar esok harinya, tanaman perlu dikerudungi agar tidak terkena hujan sore-sore. Daun selada sangat peka terhadap air, dan mudah busuk karena air biasanya membawa benih bakteri dan cendawan.

Perusahaan itu tidak menyiram seladanya dengan air, tetapi membasahi tanahnya saja, agar selada memperoleh air melalui akarnya. Bedengan dilengkapi slang plastik besar yang memanjang di bagian tengahnya, untuk menyalurkan air pembasah tanah. Melalui slang kecil dan tabung emitter (penyebar) yang ditancapkan di dekat tiap-tiap tanaman, air dirembeskan secara merata di seluruh bedengan. Seladanya jadi bebas percikan air.

Karena konsumen menghendaki daun selada yang bebas racun serangga, penanaman dilakukan secara organik. Tanaman tidak disemprot dengan insektisida, dan tidak diberi pupuk kimia anorganik, tetapi pupuk kandang dan air dari kolam kompos.

Bertanam selada yang umurnya pendek ini (1,5 bulan sudah bisa dipanen), membuat karyawan perusahaan sibuk sekali. Selesai dikerahkan untuk menangani hasil panen, segera mereka mulai dikerahkan untuk membibitkan selada baru, dan menyiapkan bedengan bagi acara penanaman berikutnya.

Bedengan yang sudah siap ditanami, tetapi belum ditancapi bibit, dikerudungi lembaran plastik rapat sekali, sehingga suhu panas yang tersekap di bawahnya memanggang tanah. Dengan begitu, benih bakteri, cendawan, dan serangga tanah yang terbawa pupuk kandang jadi mati konyol semua.

Karena daun selada tidak boleh terkena air sama sekali, maka setelah dipotong pada pangkal batangnya, ia cepat-cepat dibersihkan dari bagian-bagiannya yang kotor, rusak, atau cacat (terutama daun bagian bawah), lalu dibungkus plastic wrap. Semuanya dikemas dalam dus karton, yang kemudian diawetkan dengan pendinginan dalam ruang pendingin bersuhu 4oC. Dalam suhu sedingin itu, sisa benih kuman yang masih nebeng tertumpas semua. Namun, daun seladanya tidak mati beku.

Barulah ia bisa diangkut ke kota konsumen dengan truk berpendingin. Selada yang tidak diawetkan dengan pendinginan tidak akan tahan lama disimpan dalam lemari es.

Ongkos produksi memang jadi mahal! Tetapi harga selada organik yang bebas racun serangga itu cukup menggiurkan: Rp 20.000,-/kg (selada keriting) dan Rp 30.000,-/kg (yang varietas merah Lola rosa). Pembelinya para koki hotel-hotel berbintang yang bertaburan di langit Jakarta.

Soalnya, disajikan di hotel itu, menu selada dijual Rp 30.000,- per porsi. Padahal cuma beberapa iris. Toh laku keras karena yang menyantap orang-orang yang sangat mendambakan sayuran sehat. Daun selada terkenal mengandung vitamin C dan beta karoten yang sangat dipercaya mampu menyehat-bugarkan penggemarnya.

Selada pabrik

Kebetulan kaum selada itu tanaman segala musim. Di samping varietas musim semi dan panas, juga ada yang bisa tumbuh di musim gugur dan dingin. Dengan menanam varietas yang sesuai dengan musim, selada di Inggris dan Amerika bisa ditemukan sepanjang tahun. Tetapi masalahnya, ada konsumen berselera tinggi yang tidak mau menyantap selada musim dingin di musim dingin. Maunya selada musim semi, walaupun musimnya sudah dingin. Ini memang masalah orang di daerah empat musim, dan kita di Indonesia tidak ada urusan. Tetapi kita terbelalak juga, ketika pada tahun 1986 Toyo Engineering Corporation dari Jepang menanam selada musim semi pada musim dingin. Menanamnya dalam "pabrik" sayuran di Kota Kushiro, Hokkaido (pulau Jepang paling utara).

Disebut pabrik karena tempatnya bukan ladang pertanian di udara terbuka, tetapi gedung beratap yang tertutup seperti pabrik. Udara di dalamnya diatur agar tetap hangat, meskipun udara di luar sudah dingin membeku. Selada ditanam secara hidroponik, tanpa tanah, dalam bak berisi larutan zat makanan. Sinar matahari untuk fotosintesis diganti dengan cahaya lampu. Sedangkan CO2, kelembapan udara, suhu, dan larutan zat makanan diatur kadarnya dengan komputer agar semuanya cukup dan nyaman.

Untuk menciptakan angin, dipasang sejumlah kipas yang embusannya cukup kuat untuk membuat daun selada bergoyang. Ini perlu karena daun selada yang bergoyang selama tumbuhnya terasa lebih gurih (setelah dipanen), daripada yang diam lola-lolo dalam ruangan pengap.

Penjelasan ilmiah (bagaimana duduknya perkara) belum ada, tetapi faktanya di pabrik selada ada.

Dengan adanya pabrik selada itu, penduduk Hokkaido tidak perlu mendatangkan selada lagi dari pulau lain di selatan, pada musim salju yang sulit angkutan darat dan lautnya.

Selada aeroponik

Pada tahun 1995, selada singapura naik pangkat menjadi selada aeroponik. Ditanamnya tidak di ladang atau dalam "pabrik", tetapi di udara. Ini bukan olok-olok, tetapi memang tanaman dibiarkan menggantung (akarnya) di udara (ingat Intisari April 1993).

Bibitnya ditancapkan di lubang tanam pada papan styrofoam, lalu papan ini ditutupkan di atas bak dari plastik fiberglass yang kosong melompong. Akar tanaman yang tumbuh di bagian bawah styrofoam menggantung di udara dalam ruangan bak ini.

Sebelumnya, bibit selada dikecambahkan dulu di persemaian berupa lempengan sepon dakron yang sudah terbagi-bagi menjadi potongan kecil. Ukurannya pas dengan lubang tanam pada papan styrofoam. Ketika bibit sudah menjadi kecambah berdaun empat, ia dipindah-tancapkan bersama potongan seponnya dalam lubang tanam styrofoam.

Akar selada yang bergelantungan di udara di bawah styrofoam itu disemprot langsung dengan larutan zat makanan dari pipa di dasar bak, melalui alat penyemprot halus, sampai yang keluar berupa kabut. Ada sakelar berhubungan dengan timer, yang membuka keran penyemprot setiap dua menit sekali. Setiap kali sesudah lewat lima detik, keran menutup semprotan secara otomatis.

Perusahaan Aero Green membangun instalasi aeroponik semacam itu di seberang Sungai Buloh Nature Park, Kranji, Singapura. Amazing Farm membangun instalasi serupa di Lembang, pada 1999. Deretan bak plastik fiberglass dibangun di bawah atap rumah plastik, yang dindingnya berupa kain kasa nyamuk nilon. Hama serangga dari luar tidak mungkin masuk ke kebun aeroponik, sehingga tanaman tidak perlu disemprot racun serangga.

Karena zat makanan yang diberikan diramu dengan kadar optimal, selada tumbuh pesat. Dalam satu bulan saja sudah bongsor dan dapat dipanen. Panennya unik sekali. Di atas "ladang" styrofoam dipasang mesin pemotong listrik yang dapat memangkas selada dengan rapi sekali tepat di pangkal batangnya. Pekerja yang tangannya sudah dicuci bersih, kemudian tinggal mengumpulkan selada yang sudah bergelimpangan di atas papan styrofoam itu.

Selada yang dihasilkan jelas bersih, bebas racun, dan bebas kuman penyakit, sehingga menenteramkan hati para penggemarnya, walaupun dimakan mentah. Tidak dicuci juga tidak masalah karena ditanggung tidak akan bikin sakit perut! (Slamet Soeseno)

Sumber : http://www.indomedia.com/intisari/2000/nov/flona-11.htm


Saturday, June 7, 2008

Bila Pria Lajang Menyukai Taman

Tabloid Rumah
Di halaman depan, tanahnya dilapisi rumput peking dan ada lebih dari 10 macam tanaman, kebanyakan tanaman hias daun berukuran kecil-kecil.

Senin, 2 Juni 2008 | 08:05 WIB

Jamaknya, orang lebih memilih ruangan daripada halaman. Maksudnya, kalau membangun rumah, diupayakan rumah dibangun sebesar mungkin, sehingga didapat ruangan sebanyak mungkin, dan halaman disisakan sesedikit mungkin. Ini biasanya berlaku bagi orang yang memiliki rumah kecil. Bahkan mungkin, kalau tidak ada peraturan GSB (garis sempadan bangunan), rumah akan dibangun sepenuhan lahan yang ada.

Tapi tidak begitu dengan Yudiana (32). Laki-laki yang yang masih melajang ini justru rela “mengecilkan” bangunan demi mendapatkan halaman yang luas. Halaman depan dan halaman belakang dibiarkan tetap luas. Lalu diapakan halaman ini?

Taman Depan
Halaman ini oleh Yudi dijadikan media untuk mencurahkan hobinya akan tanaman. Sekalipun tidak terlalu luas, penataan yang rapi membuat taman ini tampak molek dan asri. Ini memberikan nilai tambah bagi rumah mungil ini, sehingga ia terlihat berbeda dari rumah-rumah sebelahnya.

Di halaman depan, tanahnya dilapisi rumput peking dan ada lebih dari 10 macam tanaman, kebanyakan tanaman hias daun berukuran kecil-kecil. Ada lidah mertua, jengger ayam, ekor tupai, dan beberapa jenis bayem-bayeman. Sebagai “monumen”-nya digunakan palm botol dan cemara udang. Tanaman yang tinggi diletakkan di tengah, sementara tanaman yang lebih rendah dibuat mengelilingi bagian tepi taman. Sebuah lampu sorot diletakkan di tengah taman, menembak ke arah bangunan rumah. Cuma sayang, karena kami memotret pada siang hari, efek lampu sorot ini tidak terlihat.

Berbeda dengan taman depan, taman belakang tidak dilapisi rumput, melainkan diberi perkerasan batu kecil-kecil.

Menyiasati Ruang
Karena taman di bagian depan dan belakang cukup luas, bangunan terpaksa mengalah. Kemudian pertanyaannya, bagaimana menyiasati pembagian ruang di rumah mungil ini, agar tetap nyaman. Inilah ruang-ruang yang tersedia.

Pertama, terasnya dibuat kecil saja, tanpa ada benda apapun yang diletakkan di sana. Sekalipun kecil, teras ini dimanfaatkan oleh Yudi untuk menempatkan aksen rumah. Kolom teras ini dilapisi batu kali yang dipasang dengan cara nat-dalam (nat tidak terlihat dari luar), dan diberi coating yang memberi warna lebih gelap. Kolom batu ini memberi sentuhan natural pada rumah ini.

Kedua, ruang tamu diletakkan menerus dengan ruang keluarga. Tapi sekalipun dua ruang ini menerus, peletakan perangkat sofa dan rak TV membuat batas ruang keluarga terlihat jelas, tanpa perlu adanya penyekat.

Ketiga, dapur diletakkan di sebelah ruang tamu, tapi dengan penyekat berupa dinding setinggi kira-kira 80 cm—90 cm. Pemisah ini berguna untuk menyembunyikan benda-benda dapur yang kadang-kadang tidak indah dipandang. Tapi karena tingginya tidak sampai 1 meter, pandangan dari ruang tamu ke dapur tidak terhalang.

Keempat, kamar tidur utama diletakkan di depan, bersebelahan dengan ruang tamu. Kamar tidur ini, menurut Yudi, dibuat dengan ukuran yang disesuaikan kebutuhan. Jadi sebelum membuat denah, Yudi sudah menghitung barang apa saja yang nantinya akan diletakkan di kamar ini, dan berapa ukuran barang-barang tersebut. Perencanaan yang sangat cerdas!

Kelima, ruang makan ditiadakan. Mengingat ukuran rumah ini cukup mungil, dan hanya ditinggali oleh satu orang, Yudi memilih untuk “membuang” ruang makan. Makan sehari-hari bisa dilakukan di sofa di depan TV. Dengan demikian rumah ini jadi tidak terlalu sempit. Nantinya, bila dibutuhkan, ruang makan bisa diletakkan di halaman belakang. Mungkin sebuah pintu kaca lipat bisa membuat ruang makan ini seolah-olah menyatu dengan bagian dalam rumah.

(dek)
dikutip dari :http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/02/08050074/bila.pria.lajang.menyukai.taman.


Saturday, May 24, 2008

Sesawi

Tanaman ini hidup di Israel dan dapat mencapai tinggi sampai 4-5 meter di tanah yang baik, normalnya biasanya sekitar 1,2 meter. Sesawi termasuk dalam jenis tanaman sayuran. Biji sesawi merupakan biji yang paling kecil dari semua benih yang digambar-kan di dalam Alkitab.

Sesawi (brassica nigra, Latin | sinapsis, Yunani) merupakan tanaman penting di Israel, tumbuh sebagai tanaman yang beraroma dan bijinya berminyak, biasanya dibuat rempah-rempah dalam bentuk bubuk atau bisa dibuat dalam bentuk pasta / adonan kental. Sedangkan untuk daun yang hijau dapat dimakan sebagai sayuran.

Beberapa ahli mengatakan biji sesawi hitam biasanya diolah menjadi minyak yang dipakai untuk keperluan masak memasak. Tanaman pohon sesawi yang besar menjadi kesukaan dan sering dikunjungi oleh burung-burung kecil.
Klasifikasi

Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Familia : Brassicaceae (suku sawi-sawian)
Genus : Brassica
Spesies : Brassica nigra (L.) W.D.J. Koch

Kerabat dekat:
Sawi putih, Sawi daging, Kol rabi, Brokoli, Kubis, Kembang kol, Sawi hijau, Rutabaga, Kol rabi, Kol tunas, Kol keriting

Sumber :
http://www.plantamor.com/spcdtail.php?recid=1913&popname=Sesawi%20hitam
http://www.gkjtp.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=68




Friday, May 16, 2008

Kembali ke Sayuran Organik

by : Luther Sembiring

SAYUR organik kini banyak dicari. Keinginan masyarakat mengonsumsi back to nature (kembali ke alam) menjadikan produk bebas pestisida ini diminati masyarakat. Sayangnya, saat ini baru bisa dilihat di supermarket tertentu dengan harga relatif mahal.

Pada pameran sayuran organik di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Selasa(4/3), sayuran dan buah-buahan kategori ini dijual sekitar Rp5.000 per 200 gram hingga Rp15.000 per 300 gram.

Sayur jenis white pachcoy aeroponic, kailan aeroponic, butterhead aeroponic, lollorosa aeroponic, dan kangkung misalnya dijual Rp5.000 per kemasan 250 gram. Tomat kuning dipatok Rp10.000 per kg, dan tomat unik Rp15.000 per 300 gram.

Erwin Dali, marketing PT Kebun Sayur Segar, mengatakan, sayuran organik dipasarkan di supermarket. ''Biasanya pembeli hanya orang-orang di kota seperti Jakarta,'' katanya.

Selain beredar di supermarket, masyarakat penggemar sayuran nonpestisida ini dapat memburu di kawasan pertanian di Parung, Bogor, Jawa Barat. Di kawasan ini memang dikenal sebagai area tanam sayur organik kalangan orang berduit dari Jakarta.

Sayur, ditanam pada tempat seperti kolam. Dengan mesin pompa, pupuk cair diedarkan ke setiap petakan kolam yang ditumbuhi bibit sayuran. Areal tanaman ini ditutupi terpal guna melindungi tanaman dari cuaca panas, hujan, hama atau wereng hingga tidak perlu menggunakan pestisida.

Benih sayuran terlebih dulu disemai sebelum diletakkan pada kolam yang sudah diberi pengambangan. Tanaman sayur akan mengambang di air dan tumbuh subur. Buah tomat diletakkan di kantung plastik (polyback) yang diberi jerami lapuk.

Dia mengatakan, buah tomat hydroponic organic dapat dipanen dalam waktu dua bulan. Tanaman produktif berbuah selama empat bulan ke depan. Untuk sayur-sayuran, waktu panen setelah 40 hari masa tanam. Luther Kembaren

sumber : http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Ekonomi%20Mikro/Sektor%20Riil&rbrk=&id=38844&postdate=2008-03-06&detail=Ekonomi%20Mikro/Sektor%20Riil