Penghubung Sejarah Nusantara-Tiongkok | ||||
Oleh admin | ||||
| ||||
Hari itu, 25 tahun silam, H. Daruli berdiri di depan kediaman seorang kepala suku Dayak di Kalimantan Timur. Di hadapan mereka belasan guci dijejerkan. Tiba-tiba embusan angin mendorong pintu depan hingga terbuka. Sekejap mata Daruli menangkap benda kecokelatan di baliknya: sebuah guci kuno yang dirahasiakan kepala suku. Daruli bangkit mendekat ke pintu. Nalurinya sebagai pemburu guci kuno mengatakan, nilai 1 guci itu lebih berharga ketimbang belasan guci yang disodorkan. Benar saja, sang kepala suku terlihat gugup melihat Daruli berminat. Pemimpin suku Dayak itu buru-buru menutup pintu tanda guci kuno itu tak dijual. 'Guci itu baru dilepas jika keturunan keluarga saya sudah habis. Ia warisan nenek moyang. Bila saya menjualnya maka kami bisa celaka,' ujar kepala suku pada Daruli. Pantas bila sang kepala suku mempertahankan guci putih dengan strip-strip horizontal cokelat itu. Konon 300 tahun silam terjadi pertikaian antara 2 desa. Pertikaian dipicu pemenggalan kepala seorang laki-laki di masa damai. Hanya tubuh yang tersisa, sementara kepala hilang! Padahal, pemenggalan kepala cuma diizinkan saat ngayao (peperangan resmi, red). Penggalan kepala musuh biasa dibawa sebagai prasyarat ketika seorang pria Dayak ingin menikah. Identitas sang pemenggal kepala terungkap waktu ia melangsungkan pesta pernikahan. Terjadilah perang antara desa si pemenggal dengan desa korban yang memakan ratusan jiwa. Nyawa yang hilang di kedua belah pihak membuat 2 kepala suku berduka. Untuk menghentikan perang, kepala suku asal pembunuh berkenan mengabulkan permintaan kepala desa korban: guci putih berumur 600 tahun asal Tiongkok yang ada di hadapan Daruli. Daruli pun mengurungkan niat memiliki martavan-sebutan guci di Birma-bersejarah itu. Namun, tiap kali ia menyusuri sungai melewati rumah kepala suku itu untuk memburu guci pandangannya terpaku ke arah pintu. Ia baru berhasil mendapatkan guci idaman 6 tahun kemudian-ketika kepala suku dan 2 anaknya wafat. Guci berharga yang sekarang menjadi milik kolektor Dr Boedi Mranata itu diboyong ke Jakarta bersama 60-an guci lain dengan kapal kayu. Perjalanan Daruli ke Borneo setiap 2 kali setahun bukan tanpa alasan. 'Dari seluruh penemuan guci di Indonesia, sebagian besar ditemukan di Kalimantan,' tutur Boedi Mranata, kolektor guci yang fanatik di Jakarta. Guci-guci itu berasal dari China. Diduga Kalimantan menjadi jalur pendaratan pertama para pelayar Tiongkok di tanahair. Secara geografis, pulau terbesar di Indonesia itu memang terdekat dengan daratan China. Itu diamini oleh Dra Ekowati Sundari Mhum, kurator keramik di Museum Nasional, Jakarta. 'Dari seluruh suku di Nusantara, budaya masyarakat Dayak yang paling banyak memakai guci china,' tuturnya. Tercatat sejak zaman prasejarah suku asli Kalimantan itu menghormati tempayan gerabah. Mereka memanfaatkannya sebagai wadah, juga simbol status sosial, mas kawin, pembayar denda, kubur kedua, dan bekal kubur. Menurut Ekowati, sejatinya suku primitif setiap bangsa mengenal kerajinan gerabah sejak mereka menemukan lempung dan api. Hanya saja periode waktunya berbeda-beda. Pada kasus suku Dayak, setelah mereka mengenal tempayan datanglah pedagang asal Tiongkok pada abad ke-7 dan 8. Salah satu barang perniagaan arak dengan wadah guci. Kualitas dan bentuk guci yang bagus membuat suku Dayak terpikat. Alih-alih memesan arak, justru guci aneka bentuk yang mereka pesan. Posisi guci pun menjadi sakral dan menggeser peran tempayan gerabah. Toh itu tidak memupuskan penghormatan mereka pada tempayan gerabah. 'Keluarga mampu menggunakan guci, sedangkan masyarakat biasa tetap tempayan gerabah,' imbuh Eko. Dra Dedah Rufaedah Sri Handari, kepala Bidang Bimbingan dan Publikasi Museum Nasional, Jakarta, menuturkan selain di Kalimantan guci juga ditemukan di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Itu dibuktikan dengan penemuan-penemuan di pulau-pulau itu. Sebut saja di Bukit Siguntang, Palembang, Sumatera Selatan, dataran tinggi Dieng dan di dekat kompleks candi Prambanan dan Borobudur, Jawa Tengah. 'Meski ditemukan di sana, semua guci kuno itu asli China,' kata Dedah. Guci asli China yang ditemukan di Indonesia berumur 400- 1.200 tahun. Selain itu, guci-guci juga berasal dari Thailand, Vietnam, dan Burma. Menurut Eko, meski guci berasal dari China, sudah selayaknya masyarakat Indonesia melestarikan guci. 'Guci kuno asal China sangat penting bagi sejarah bangsa. Itu bukti perniagaan suku-suku bangsa Indonesia dengan China sudah berlangsung sejak lampau,' imbuhnya. Artinya, kegiatan ekspor-impor antara Indonesia dan China saat ini adalah kelanjutan sejarah perniagaan nenek moyang. Para leluruh di Nusantara berniaga dengan bangsa Tiongkok jauh sebelum bangsa Eropa masuk ke Indonesia pada abad ke-15. Alumnus Universita Indonesia itu menjelaskan di masa silam guci dimanfaatkan sebagai alat transportasi bangsa China. Dalam istilah arkeologi itu artinya benda yang dipakai untuk membawa barang untuk menempuh jarak jauh. 'Saat itu belum ada plastik dan keranjang seperti sekarang. Jadi, dipakai sebagai wadah adalah guci,' katanya. Dari sanalah populer istilah guci untuk menunjuk wadah transportasi. Berdasarkan ukuran, Eko membagi bentuk wadah itu menjadi 3 sebutan: buli-buli tinggi 20 cm, guci (20-50 cm), dan tempayan (di atas 60 cm). Sedangkan berdasarkan bahan, Dr Putut Irawan Pudjiono, penggemar tembikar alumnus Institut Teknologi Bandung, membaginya menjadi tembikar, stoneware, dan porselen. Yang disebut pertama yaitu tanah liat yang dibakar dengan suhu rendah 350-1.000oC. Stoneware, campuran tanah liat dengan senyawa alumina silikat yang dibakar dengan suhu tinggi 1.150-1.300oC. Porselen berbahan senyawa alumina silikat murni dengan pembakaran suhu sangat tinggi 1.250-1.350oC. 'Kualitas paling bagus, berbahan senyawa alumina silikat murni,' kata Putut. Pada umumnya, hampir seluruh guci-asal China yang berfungsi sebagai wadah-berbahan stoneware. 'Bila berbahan tembikar, gampang pecah dan berkualitas rendah. Sedangkan bila berupa porselen, terlalu mahal dan bagus untuk ukuran wadah,' tutur Eko. Di tanahair, wadah transportasi negeri Tirai Bambu itu naik pangkat menjadi simbol status sosial. (Destika Cahyana/Peliput: Lani Marlina dan Lastioro Anmi Tambunan) |
Friday, February 1, 2008
Penghubung Sejarah Nusantara-Tiongkok
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment