Wednesday, February 27, 2008

KRISAN

KRISAN
( C. morifolium Ramat, C. indicum, C. daisy )

1. SEJARAH SINGKAT

Krisan merupakan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain Seruni atau Bunga emas (Golden Flower) berasal dari dataran Cina. Krisan kuning berasal dari dataran Cina, dikenal dengan Chrysanthenum indicum (kuning), C. morifolium (ungu dan pink) dan C. daisy (bulat, ponpon). Di Jepang abad ke-4 mulai membudidayakan krisan, dan tahun 797 bunga krisan dijadikan sebagai simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan dari Cina dan Jepang menyebar ke kawasan Eropa dan Perancis tahun 1795. Tahun 1808 Mr. Colvil dari Chelsa mengembangkan 8 varietas krisan di Inggris. Jenis atau varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad ke-17. Krisan masuk ke Indonesia pada tahun 1800. Sejak tahun 1940, krisan dikembangkan secara komersial.

2. JENIS TANAMAN

Klasifikasi botani tanaman hias krisan adalah sebagai berikut:

  • Divisi : Spermathophyta
  • Sub Divisi : Angiospermae
  • Famili : Asteraceae
  • Genus : Chrysanthemum
  • Species : C. morifolium Ramat, C. indicum, C. daisy dll

Jenis dan varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya hibrida berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Krisan yang ditanam di Indonesia terdiri atas:

  1. Krisan lokal (krisan kuno) : Berasal dari luar negri, tetapi telah lama dan beradaptasi di Indoenesia maka dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya antara lain sifat hidup di hari netral dan siklus hidup antara 7-12 bulan dalam satu kali penanaman. Contoh C. maximum berbunga kuning banyak ditanam di Lembang dan berbunga putih di Cipanas (Cianjur).
  2. Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida) : Hidupnya berhari pendek dan bersifat sebagai tanaman annual. Contoh krisan ini adalah C. indicum hybr. Dark Flamingo, C. i.hybr. Dolaroid,C. i. Hybr. Indianapolis (berbunga kuning) Cossa, Clingo, Fleyer (berbunga putih), Alexandra Van Zaal (berbunga merah) dan Pink Pingpong (berbunga pink).
  3. Krisan produk Indonesia : Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas telah melepas varietas krisan buatan Indonesia yaitu varietas Balithi 27.108, 13.97, 27.177, 28.7 dan 30.13A.

3. MANFAAT TANAMAN

Kegunaan tanaman krisan yang utama adalah sebagai bunga hias. Manfaat lain adalah sebagai tumbuhan obat tradisional dan penghasil racun serangga. Sebagai bunga hias, krisan di Indonesia digunakan sebagai:

  1. Bunga pot : Ditandai dengan sosok tanaman kecil, tingginya 20-40 cm, berbunga lebat dan cocok ditanam di pot, polibag atau wadah lainnya. Contoh krisan mini (diameter bunga kecil) ini adalah varietas Lilac Cindy (bunga warna ping keungu-unguan), Pearl Cindy (putih kemerah-merahan), White Cindy (putih dengan tengahnya putih kehijau-hijauan), Applause (kuning cerah), Yellow Mandalay (semuanya dari Belanda).Krisan introduksi berbunga besar banyak ditanam sebagai bunga pot, terdapat 12 varitas krisan pot di Indonesia, yang terbanyak ditanam adalah varietas Delano (ungu), Rage (merah) dan Time (kuning).
  2. Bunga potong : Ditandai dengan sosok bunga berukuran pendek sampai tinggi, mempunyai tangkai bunga panjang, ukuran bervariasi (kecil, menengah dan besar), umumnya ditanam di lapangan dan hasilnya dapat digunakan sebagai bunga potong. Contoh bunga potong amat banyak antara lain Inga, Improved funshine, Brides, Green peas, Great verhagen, Puma, Reagen, Cheetah, Klondike dll.

4. SENTRA PENANAMAN

Daerah sentra produsen krisan antara lain: Cipanas, Cisarua, Sukabumi, Lembang (Jawa Barat), Bandungan (Jawa Tengah), Brastagi (Sumatera Utara).

5. SYARAT PERTUMBUHAN

5.1. Iklim

  1. Tanaman krisan membutuhkan air yang memadai, tetapi tidak tahan terhadap terpaan air hujan. Oleh karena itu untuk daerah yang curah hujannya tinggi,
    penanaman dilakukan di dalam bangunan rumah plastik.
  2. Untuk pembungaan membutuhkan cahaya yang lebih lama yaitu dengan bantuan cahaya dari lampu TL dan lampu pijar. Penambahan penyinaran yang paling baik adalah tengah malam antara jam 22.30–01.00 dengan lampu 150 watt untuk areal 9 m 2 dan lampu dipasang setinggi 1,5 m dari permukaan tanah. Periode pemasangan lampu dilakukan sampai fase vegetatif (2-8 minggu) untuk mendorong pembentukan bunga.
  3. Suhu udara terbaik untuk daerah tropis seperti Indonesia adalah antara 20-26 derajat C. Toleran suhu udara untuk tetap tumbuh adalah 17-30 derajat C.
  4. Tanaman krisan membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk awal pembentukan akar bibit, setek diperlukan 90-95%. Tanaman muda sampai dewasa antara 70-80%, diimbangi dengan sirkulasi udara yang memadai.
  5. Kadar CO2 di alam sekitar 3000 ppm. Kadar CO2 yang ideal untuk memacu fotosistesa antara 600-900 ppm. Pada pembudidayaan tanaman krisan dalam bangunan tertutup, seperti rumah plastik, greenhouse, dapat ditambahkan CO2, hingga mencapai kadar yang dianjurkan.

5.2. Media Tanam

  1. Tanah yang ideal untuk tanaman krisan adalah bertekstur liat berpasir, subur, gembur dan drainasenya baik, tidak mengandung hama dan penyakit.
  2. Derajat keasaman tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman sekitar 5,5-6,7.

5.3. Ketinggian Tempat

ketinggian tempat yang ideal untuk budidaya tanaman ini antara 700–1200 m dpl.

6. PEDOMAN BUDIDAYA

6.1. Pembibitan

  1. Persyaratan Bibit : Bibit diambil dari induk sehat, berkualitas prima, daya tumbuh tanaman kuat, bebas dari hama dan penyakit dan komersial di pasar.
  2. Penyiapan Bibit : Pembibitan krisan dilakukan dengan cara vegetatif yaitu dengan anakan, setek pucuk dan kultur jaringan.
    1. Bibit asal anakan
    2. Bibit asal stek pucuk : Tentukan tanaman yang sehat dan cukup umur. Pilih tunas pucuk yang tumbuh sehat, diameter pangkal 3-5 mm, panjang 5 cm, mempunyai 3 helai daun dewasa berwarna hijau terang, potong pucuk tersebut, langsung semaikan atau disimpan dalam ruangan dingin bersuhu udara 4 derajat C, dengan kelembaban 30 % agar tetap tahan segar selama 3-4 minggu. Cara penyimpanan stek adalah dibungkus dengan beberapa lapis kertas tisu, kemudian dimasukan ke dalam kantong plastik rata-rata 50 stek.
    3. Penyiapan bibit dengan kultur jaringan : Tentukan mata tunas atau eksplan dan ambil dengan pisau silet, stelisasi mata tunas dengan sublimat 0,04 % (HgCL) selama 10 menit, kemudian bilas dengan air suling steril. Lakukan penanaman dalam medium MS berbentuk padat. Hasil penelitian lanjutan perbanyakan tanaman krisan secara kultur jaringan:
      1. Medium MS padat ditambah 150 ml air kelapa/liter ditambah 0,5 mg NAA/liter ditambah 1,5 mg kinetin/liter, paling baik untuk pertumbuhan tunas dan akar eksplan. Pertunasan terjadi pada umur 29 hari, sedangkan perakaran 26 hari.
      2. Medium MS padat ditambah 150 ml air kelapa/liter ditambah 0,5 mg NAA/liter ditambah 0,5 BAP/liter, kalus bertunas waktu 26 hari, tetapi medium tidak merangsang pemunculan akar.
      3. Medium MS padat ditambah 0,5 mg NAA/liter ditambah 0,5-0.2 mg kinetin/liter ditambah 0,5 mg NAA/liter ditambah 0,5-2,0 BAP/liter pada eksplan varietas Sandra untuk membentuk akar pada umur 21-31 hari. Penyiapan bibit pada skala komersial dilakukan dengan dua tahap yaitu:
        1. Stok tanaman induk : Fungsinya untuk memproduksi bagian vegetatif sebanyak mungkin sebagai bahan tanaman Ditanam di areal khusus terpisah dari areal budidaya. Jumlah stok tanaman induk disesuaikan dengan kebutuhan bibit yang telah direncanakan. Tiap tanaman induk menghasilkan 10 stek per bulan, dan selama 4-6 bulan dipelihara memproduksi sekitar 40-60 stek pucuk. Pemeliharaan kondisi lingkungan berhari panjang dengan penambahan cahaya 4 jam/hari mulai 23.30–03.00 lampu pencahayaan dapat dipilih Growlux SL 18 Philip.
        2. Perbanyakan vegetatif tanaman induk.
          1. Pemangkasan pucuk, dilakukan pada umur 2 minggu setelah bibit ditanam, dengan cara memangkas atau membuang pucuk yang sedang tumbuh sepanjang 0,5-1 cm.
          2. Penumbuhan cabang primer. Perlakuan pinching dapat merangsang pertumbuhan tunas ketiak sebanyak 2-4 tunas. Tunas ketiak daun dibiarkan tumbuh sepanjang 15-20 cm atau disebut cabang primer.
          3. Penumbuhan cabang sekunder. Pada tiap ujung primer dilakukan pemangkasan pucuk sepanjang 0,5-1 cm, pelihara tiap cabang sekunder hingga tumbuh sepanjang 10-15 cm.
  3. Teknik Penyemaian Bibit
    1. Penyemaian di bak : Siapkan tempat atau lahan pesemaian berupa bak-bak berukuran lebar 80 cm, kedalaman 25 cm, panjang disesuaikan dengan kebutuhan dan sebaiknya bak berkaki tinggi. Bak dilubangi untuk drainase yang berlebihan. Medium semai berupa pasir steril hingga cukup penuh. Semaikan setek pucuk dengan jarak 3 cm x 3 cm dan kedalaman 1-2 cm, sebelum ditanamkan diberi Rotoon (ZPT). Setelah tanam pasang sungkup plastik yang transparan di seluruh permukaan.
    2. Penyemaian kultur jaringan : Bibit mini dalam botol dipindahkan ke pesemaian beisi medium berpasir steril dan bersungkup plastik tembus cahaya.
  4. Pemeliharaan Pembibitan/Penyemaian : Pemeliharaan untuk stek pucuk yaitu penyiraman dengan sprayer 2-3 kali sehari, pasang bola lampu untuk pertumbuhan vegetatif, penyemprotan pestisida apabila tanaman di serang hama atau penyakit. Buka sungkup pesemaian pada sore hari dan malam hari, terutama pada beberapa hari sebelum pindah ke lapangan. Pemeliharaan pada kultur jaringan dilakukan di ruangan aseptik, setelah bibir berukuran cukup besar, diadaptasikan secara bertahap ke lapangan terbuka.
  5. Pemindahan Bibit : Bibit stek pucuk siap dipindahtanamkan ke kebun pada umur 10-14 hari setelah semai dan bibit dari kultur jaringan bibit siap pindah yang sudah berdaun 5-7 helai dan setinggi 7,5-10 cm.

6.2. Pengolahan Media Tanam

  1. Pembentukan Bedengan : Olah tanah dengan menggunakan cangkul sedalam 30 cm hingga gembur, keringanginkan selama 15 hari. Gemburkan yang kedua kalinya sambil dibersihkan dari gulma dan bentuk bedengan dengan lebar 100-120 cm, tinggi 20- 30 cm, panjang disesuaikan dengan lahan, jarak antara bedengan 30-40 cm.
  2. Pengapuran : Tanah yang mempunyai pH > 5,5, perlu diberi pengapuran berupa kapur pertanian misalnya dengan dolomit, kalsit, zeagro. Dosis tergantung pH tanah. Kebutuhan dolomit pada pH 5 = 5,02 ton/ha, pH 5,2 = 4,08 ton/ha, pH 5,3 = 3,60 ton/ha, pH 5,4 = 3,12 ton/ha. Pengapuran dilakukan dengan cara disebar merata pada permukaan bedengan.

6.3. Teknik Penanaman

  1. Teknik Penanaman Bunga Potong
    1. Penentuan Pola Tanam. : Tanaman bunga krisan merupakan tanaman yangdapat dibudidayakan secara monokultur.
    2. Pembuatan Lubang Tanam : Jarak lubang tanam 10 cm x 10 cm, 20 cm x 20 cm. Lubang tanam dengan cara ditugal. Penanaman biasanya disesuaikan dengan waktu panen yaitu pada hari-hari besar. Waktu tanam yang baik antara pagi atau sore hari.
    3. Pupuk Dasar : Furadan 3G sebanyak 6-10 butir perlubang. Campuran pupuk ZA 75 gram ditambah TSP 75 gram ditambah KCl 25gram (3:3:1)/m2 luas tanam, diberikan merata pada tanah sambil diaduk.
    4. Cara Penanaman : Ambil bibit satu per satu dari wadah penampungan bibit, urug dengan tanah tipis agar perakaran bibit krisan tidak terkena langsung dengan furadan 3G. Tanamkan bibit krisan satu per satu pada lubang yang telah disiapkan sedalam 1-2 cm, sambil memadatkan tanah pelan-pelan dekat pangkal batang bibit. Setelah penanaman siram dengan air dan pasang naungan sementara dari sungkup plastik transparan.
  2. Teknik Penanaman untuk Memperpendek Batang : Penanaman dilakukan sama dengan untuk bunga potong biasa, tetapi dengan menambah cahaya agar tangkai menjadi pendek.
    1. Pengaturan dan Penambahan Cahaya : Dilakukan sampai batas tertentu dengan ketinggian tanaman yang dinginkan. Misalnya, bila diinginkan bunga krisan bertangkai 70 cm, maka penambahan cahaya sejak ketinggian 50-60 cm. Lampu dimatikan. Periode berikutnya beralih ke generatif. Tangkai bunga memanjang mencapai 80 cm. Bila dipanen tangkainya 70 cm, maka tangkai bunga yang tersisa adalah 10 cm pada tanaman. Total lama penyinaran sejak bibit ditanam sampai periode generatif antara 12-15 minggu tergantung varietas krisan. Cara pengaturan dan penambahan cahaya yaitu dengan pola byarpet, yaitu pencahayaan malam selama 5 menit lalu dimatikan selama 1 menit dilakukan secara berulang-ulang hingga mencapai 30 menit. Cara lain pengaturan dan penambahan cahaya adalah dengan memasang lampu TL pada tengah malam mulai pukul 22.30-01.00.
    2. Pemupukan : Waktu pemupukan dimulai umur 1 bulan setelah tanam, kemudian diulang kontinue dan periodik seminggu sekali, dan akhirnya sebulan sekali. Jenis dan dosis pupuk yang diberikan pada fase vegetatif yaitu Urea 200 gram ditambah ZA 200 gram ditambah KNO3 100 gram per m 2 luas lahan. Pada fase Generatif digunakan pupuk Urea 10 gram ditambah TSP 10 gram ditambah KNO3 25 gram per m 2 luas lahan, cara pemberiannya dengan disebar dalam larikan atau lubang ditugal samping kiri dan samping kanan.
    3. Pembuangan Titik Tumbuh : Waktu pembuangan titik tumbuh adalah pada umur 10-14 hari setelah tanam, dengan cara memotes ujung tanam sepanjang 5 cm.
    4. Penjarangan Bunga : Jika ingin mendapatkan bunga yang besar, dalam 1 tangkai bunga hanya dibiarkan satu bakal bunga yang tumbuh.
  3. Teknik Penanaman untuk Bunga Pot : Sebanyak 5-7 Bibit yang telah berakar ditanam di dalam pot yang berisi media sabut kelapa (hancur) atau campuran tanah dan sekam padi (1:1). Untuk memperpendek batang, pot-pot ini ditumbuhkan selama 2 minggu dengan penyinaran 16 jam/hari. Untuk merangsang pembungaan, pot-pot kemudian diberi pencahayaan pendek dengan cara menutupnya di dalam kubung dari jam 16.00-22.00. Selama pertumbuhan tanaman diberi pupuk cir multihara lengkap. Pembungaan ini dapat pula dipacu dengan menambahkan hormon tumbuh giberelin sebanyak 500 ppm pada saat penyinaran pendek.

Untuk mendapatkan bunga yang besar dan jumlahnya sedikit, bakal bunga dari setiap batang perlu diperjarang dengan hanya menyisakan satu kuncup bunga. Dengan cara ini akan didapatkan krisan pot dengan 5-7 bunga yang mekar bersamaan.

6.4. Pemeliharaan Tanaman

  1. Penjarangan dan Penyulaman : Waktu penyulaman seawal mungkin yaitu 10-15 hari setelah tanam. Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti bibit yang mati atau layu permanen dengan bibit yang baru.
  2. Penyiangan : Waktu penyiangan dan penggemburan tanah umumnya 2 minggu setelah tanam. Penyiangan dengan cangkul atau kored dengan hati-hati membersihkan rumput-rumput liar.
  3. Pengairan dan Penyiraman : Pengairan yang paling baik adalah pada pagi atau sore hari, pengairan dilakukan kontinu 1-2 kali sehari, tergantung cuaca atau medium tumbuh. Pengairan dilakukan dengan cara mengabutkan air atau sistem irigasi tetes hingga tanah basah.

7. HAMA DAN PENYAKIT

7.1. Hama

  1. Ulat tanah (Agrotis ipsilon)
    • Gejala: memakan dan memotong ujung batang tanaman muda, sehingga pucuk dan tangkai terkulai.
    • Pengendalian: mencari dan mengumpulkan ulat pada senja hari dan semprot dengan insektisida.
  2. Thrips (Thrips tabacci)
    • Gejala: pucuk dan tunas-tunas samping berwarna keperak-perakan atau kekuning-kuningan seperti perunggu, terutama pada permukaan bawah daun.
    • Pengendalian: mengatur waktu tanam yang baik, memasang perangkap berupa lembar kertas kuning yang mengandung perekat, misalnya IATP buatan Taiwan.
  3. Tungau merah (Tetranycus sp)
    • Gejala: daun yang terserang berwarna kuning kecoklat-coklatan, terpelintir, menebal, dan bercak-bercak kuning sampai coklat.
    • Pengendalian: memotong bagian tanaman yang terserang berat dan dibakar dan penyemprotan pestisida.
  4. Penggerek daun (Liriomyza sp) :
    • Gejala: daun menggulung seperti terowongan kecil, berwarna putih keabu-abuan yang mengelilingi permukaan daun.
    • Pengendalian: memotong daun yang terserang, penggiliran tanaman, dengan aplikasi insektisida.

7.2. Penyakit

  1. Karat/Rust
    • Penyebab: jamur Puccinia sp. karat hitam disebakan oleh cendawan P chrysantemi, karat putih disebabkan oleh P horiana P.Henn.
    • Gejala: pada sisi bawah daun terdapat bintil-bintil coklat/hitam dan terjadi lekukan-lekukan mendalam yang berwarna pucat pada permukaan daun bagian atas. Bila serangan hebat meyebabkan terhambatnya pertumbuhan bunga.
    • Pengendalian: menanam bibit yang tahan hama dan penyakit, perompesan daun yang sakit, memperlebar jarak tanam dan penyemprotan insektisida.
  2. Tepung oidium
    • Penyebab: jamur Oidium chrysatheemi.
    • Gejala: permukaan daun tertutup dengan lapisan tepung putih. Pada serangan hebat daun pucat dan mengering.
    • Pengendalian: memotong/memangkas daun tanaman yang sakit dan penyemprotan fungisida.
  3. Virus kerdil dan mozaik
    • Penyebab: virus kerdil krisan, Chrysanhenumum stunt Virus dan Virus Mozaoik Lunak Krisan (Chrysanthemum Mild Mosaic Virus).
    • Gejala: tanaman tumbuhnya kerdil, tidak membentuk tunas samping, berbunga lebih awal daripada tanaman sehat, warna bunganya menjadi pucat.
    • Penyakit kerdil ditularkan oleh alat-alat pertanian yang tercemar penyakit dan pekerja kebun.
    • Virus mosaik menyebabkan daun belang hijau dan kuning, kadang-kadang bergaris-garis.
    • Pengendalian: menggunakan bibit bebas virus, mencabut tanaman yang sakit, menggunakan alat-alat pertanian yang bersih dan penyemprotan insektisida untuk pengendalian vektor virus.

8. PANEN

8.1. Ciri dan Umur Panen

Penentuan stadium panen adalah ketika bunga telah setengah mekar atau 3-4 hari sebelum mekar penuh. Tipe spray 75-80% dari seluruh tanaman. Umur tanaman siap panen yaitu setelah 3-4 bulan setelah tanam.

8.2. Cara Panen.

Panen sebaiknya dilakukan pagi hari, saat suhu udara tidak terlalu tinggi dan saat bunga krisan berturgor optimum. Pemanenan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dipotong tangkainya dan dicabut seluruh tanaman. Tata cara panen bunga krisan: tentukan tanaman siap panen, potong tangkai bunga dengan gunting steril sepanjang 60-80 cm dengan menyisakan tunggul batang setinggi 20-30 cm dari permukaan tanah.

8.3. Prakiraan Produksi

Perkiraan hasil bunga krisan pada jarak 10 x 10 cm seluas 1 ha yaitu 800.000 tanaman.

9. PASCAPANEN

9.1. Pengumpulan

Kumpulkan bunga hasil panen, lalu ikat tangkai bunga berisi sekitar 50-1000 tangkai simpan pada rak-rak.

9.2. Penyortiran dan Penggolongan

Pisahkan tangkai bunga berdasarkan tipe bunga, warna dan varietasnya. Lalu bersihkan dari daun-daun kering atau terserang hama. Buang daun-daun tua pada pangkal tangkai. Kriteria utama bunga potong meliputi penampilan yang baik, menarik, sehat dan bebas hama dan penyakit. Kriteria ini dibedakan menjadi 3 kelas yaitu:

  1. Kelas I untuk konsumen di hotel dan florist besar, yaitu panjang tangkai bunga lebih dari 70 cm, diameter pangkal tangkai bunga lebih 5 mm.
  2. Kelas II dan III untuk konsumen rumah tangga, florits menengah dan dekorasi massal yaitu panjang tangkai bunga kurang dari 70 cm dan diameter pangkal tangkai bunga kurang dari 5 mm.

9.3. Pengemasan dan Pengangkutan

Tentukan alat angkutan yang cocok dengan jarak tempuh ke tempat pemasaran dan susunlah kemasan berisi bunga krisan secara teratur, rapi dan tidak longgar, dalam bak atau box alat angkut.

10. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN

10.1. Analisis Usaha Budidaya

Perkiraan analisis budidaya tanaman krisan seluas 0,5 ha dengan jarak tanam 10 x 10 cm. Analisis dilakukan pada tahun 1999 di daerah Bandung.

  1. Biaya produksi
    1. Sewa lahan 1 tahun Rp. 1.500.000,-
    2. Bibit : 500.000 batang @ Rp. 50,- Rp. 25.000.000,-
    3. Pupuk dan kapur
      • Pupuk kandang: 15.000 kg @ Rp. 150,- Rp. 2.250.000,-
      • Urea: 4.150 kg @ Rp. 1.500,- Rp. 6.225.000,-
      • ZA: 4.600 kg @ Rp. 1.250,- Rp. 5.750.000,-
      • SP-36: 525 kg @ Rp. 2.000,- Rp. 1.050.000,-
      • KCl: 125 kg @ Rp. 1.650,- Rp. 206.250,-
      • KNO3: 2.375 kg @ Rp. 4.000,- Rp. 9.500.000,-
      • Kapur pertanian: 2000 kg @ Rp.200,- Rp. 400.000,-
    4. Pestisida Rp. 1.500.000,-
    5. Biaya tenaga kerja
      • Penyiapan lahan 50 HKP @ Rp. 10.000,- Rp. 500.000,-
      • Pemupukan 10 HKP + 20 HKW Rp. 250.000,-
      • Penanaman 5 HKP + 50 HKW Rp. 425.000,-
      • Pemeliharaan 5 HKP + 100 HKW Rp. 800.000,-
    6. 6. Biaya lain-lain (pajak, iuran, alat) Rp. 500.000,-
    • Jumlah biaya produksi Rp. 55.856.250,-
  2. Pendapatan 400.000 tanaman @ Rp. 225,- Rp. 90.000.000,-
  3. Keuntungan Rp. 34.143.750,-
  4. Parameter kelayakan usaha : 1. Rasio Output/Input =1,611

Keterangan: HKP Hari Kerja Pria, HKW Hari Kerja Wanita

10.2. Gambaran Peluang Agribisnis

Tanaman hias krisan merupakan bunga potong yang penting di dunia. Prospek budidaya krisan sebagai bunga potong sangat cerah, karena pasar potensial yang dapat berdaya serap tinggi sudah ada. Diantara pasar potensial tersebut adalah Jerman, Inggris, Swiss, Italia, Austria, America Serikat, Swedia dsb. Saat ini krisan termasuk bunga yang paling populer di Indonesia karena memiliki keunggulan yaitu bunganya kaya warna dan tahan lama, bunga krisan pot bahkan dapat tetap segar selama 10 hari. Peluang untuk mengembangkan budidaya tanaman krisan, guna memenuhi kebutuhan baik dalam maupun luar negri agaknya tetap terbuka. Seiring dengan permintaan bunga potong krisan yang semakin meningkat maka peluang agribisnis perlu terus dikembangkan.

11. STANDAR PRODUKSI

11.1. Ruang Lingkup

Standar meliputi klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan dan pengemasan.

11.2. Deskripsi : …

11.3. Klasifikasi dan Standar Mutu : Mutu dan pengepakan bunga untuk ekspor ke pasaran Internasional sangat ditentukan oleh negara pengimpor. Untuk Jepang standar yang berlaku adalah sebagai berikut:

  1. Varietas adalah Kiku berwarna putih atau kuning yang dipanen saat bunga belum mekar penuh, panjang tangkai 70 cm, lurus dan tunggal. Duapertiga daun masih lengkap, utuh serta berukuran seragam dan bebas hama penyakit.
  2. Satu ikatan terdiri dari 20 tangkai bunga dan dibungkus dengan pembungkus dari kertas khusus Sleeves. Kuntum tidak tertutup seludang, pangkal bunga diberi kapas basah.
  3. Pengepakan dilakukan dalam kotak kardus dengan kapasitas 10 ikatan.
  4. Pengangkutan dilakukan dengan alat angkut bersuhu udara 7-8 derajat C dengan kelembaban udara 60-65%.

11.4. Pengambilan Contoh

Contoh diambil secara acak dari jumlah kemasan terkecil dalam lot dan contoh dengan rincian sebagai berikut:

  1. Contoh yang diambil 1, untuk jumlah kemasan terkecil dalam lot = 1–3.
  2. Contoh yang diambil 3, untuk jumlah kemasan terkecil dalam lot = 4–25.
  3. Contoh yang diambil 6, untuk jumlah kemasan terkecil dalam lot = 26–50.
  4. Contoh yang diambil 8, untuk jumlah kemasan terkecil dalam lot = 51–100.
  5. Contoh yang diambil 10, untuk jumlah kemasan terkecil dalam lot = 101–150.
  6. Contoh yang diambil 12, untuk jumlah kemasan terkecil dalam lot = 151–200.
  7. Contoh yang diambil 15, untuk jumlah kemasan terkecil dalam lot = 201–lebih.

Sedangkan untuk petugas pengambil contoh adalah orang yang telah berpengalaman/dilatih lebih dahulu dan mempunyai ikatan dalam suatu badan hukum.

11.5. Pengemasan

  1. Cara pengemasan : Pangkal tangkai bunga krisan potongan dimasukan ke dalam tube berisi cairan pengawet/dibungkus dengan kapas kemudian dimasukan ke dalam kantong plastik berisi cairan pengawet lalu dikemas dalam kotak karton / kemasan lain yang sesuai.
  2. Pemberian merek : Pada bagian luar kemasan diberi tulisan:
    1. Nama barang/varietas krisan.
    2. Jenis mutu.
    3. Nama atau kode produsen/eksportir.
    4. Jumlah isi.
    5. Negara tujuan.
    6. Hasil Indonesia.

12. DAFTAR PUSTAKA

  1. H Rahmat Rukmana , Ir.1997. Krisan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
  2. Trubus no. 338. 1998. Kebun bunga Potong Ciputri.
  3. Dewi Sartika. 1998. Krisan Baru Produk Indonesia. Trubus no. 342.
  4. Lukito AM. 1998. Rekayasa Pembungaan Krisan dan Bunga Lain. Trubus no. 348.

Sumber : Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS

situs : http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=2&doc=2b5

PEDOMAN PENGENALAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA CABAI

PEDOMAN PENGENALAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA CABAI

I. PENDAHULUAN

Cabai merah (Capsicum annum) merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Komoditas cabai dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi, pada lahan sawah ataupun tegalan. Selain memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai juga sangat potensial secara ekonomis. Pemanfaatan cabai sebagai bumbu masak, bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan, serta pemasarannya dalam bentuk segar dan olahan menambah pentingnya komoditas tersebut untuk diusahakan.

Produksi cabai di Indonesia masih rendah, rataan nasional hanya mencapai 5,5 ton/ha, sedangkan potensi produksinya dapat mencapai 20 ton/ha. Gambaran produksi cabai di luar musim (off season) di dataran tinggi Lembang, Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi cabai di luar musim (off season) di Lembang, Jawa Barat

Perlakuan

Produksi (ton/ha)

· Tanpa naungan + tanpa mulsa

· Mulsa Jerami

· Mulsa plastik

· Naungan plastik + mulsa jerami

· Naungan plastik + mulsa plastik hitam

2,01

2,01

5,06

4,28

9,80

Salah satu masalah dalam peningkatan produksi dan kualitas mutu cabai adalah adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang terjadi mulai dari pesemaian sampai pasca panen. Inventarisasi serangan penyakit cabai dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penyakit yang menyerang cabai

Sumber Pustaka

Jumlah Penyakit Yang Menyerang

Bakteri

Cenda

wan

Virus

Nema

toda

Fisio

logi

George, 1985

2

12

3

0

-

Black, et al, 1991

3

9

18

1

12

Pusat Karantina Pertanian, 1991

1

1

3

1

-

Duriat, et al, 1994

1

5

4

1

-

Suryaningsih, et al, 1996

3

5

5

0

-

Duriat dan Setiawati, et al, 1998

1

3

3

0

-

Duriat, 1999

1

5

4

0

-

Diantara OPT utama yang sering menimbulkan kerugian pada usahatani cabai adalah serangan penyakit dengan pathogen/ penyebabnya dari golongan virus. Serangan penyakit virus kuning pada tanaman cabai misalnya, telah menimbulkan kerugian besar bagi petani di daerah-daerah sentra cabai di Pulau Jawa dalam 3 tahun terakhir ini, karena akibat serangan geminivirus tersebut menurunkan produksi cabai hingga jauh dari produksi normal, yang kemudian berdampak melonjaknya harga cabai di pasaran dengan kisaran antara Rp 15.000 – 25.000/kg, bahkan di Jakarta pada tahun 2003 mencapai Rp.50.000,-/kg, terutama menjelang hari-hari besar nasional dan hari keagamaan. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh virus kuning pada tanaman cabai dapat mencapai antara 20 – 100 % (Setiawati, 2003).

Untuk mengendalikan serangga vektor penyakit virus pada tanaman cabai petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia sintetis, namun bila pemakaiannya tidak bijaksana dikhawatirkan menimbulkan residu pestisida pada produk buah cabai relatif tinggi, biaya produksi meningkat, bahaya terhadap kesehatan pekerja, juga menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Di era pasar bebas saat ini produk cabai yang tidak ramah lingkungan sulit bersaing karena konsumennya konsen dengan produk pertanian yang bermutu baik dan aman dikonsumsi.

Oleh karena itu upaya pengamanan produksi cabai baik kuantitas maupun kualitas dari gangguan penyakit golongan virus tersebut, maka dipandang perlu penyusunan dan pencetakan buku pedoman ”Pengenalan dan Pengendalian Penyakit Virus Pada Tanaman Cabai”, dengan demikian diharapkan petani dan petugas mampu mengadopsi teknologi untuk pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai, sehingga usahatani cabai ke depan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga tani.

II . PENGENALAN PENYAKIT VIRUS PADA

CABAI DAN PENGENDALIANNYA

Menurut Duriat (2003), bahwa para pakar virologi seperti Neinhaus (1981) dan Kalloo (1994) telah mencatat antara 13 – 35 jenis virus yang menyerang tanaman cabai di daerah tropis dan sub tropis. Prevalensi penyakit virus dari waktu-waktu terjadi perubahan seperti hasil deteksi virus cabai yang dilakukan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang antara 1986 – 1995. Hasil survei tahun 1986 dan 1990 dilaporkan urutan tiga virus utama yaitu CMV (Cucumber Mosaic Virus), PVY (Potato Virus Y) dan TEV (Tobacco Etch Virus) . Pada tahun 1992 dan 1995 urutan berubah menjadi CMV, CVMV (Chili Veinal Motle Virus) dan PVY. Pada tahun 2002 dan 2003 geminivirus telah menjadi epidemi di sebagian daerah sentra produksi cabai di Indonesia.

Berikut ini disampaikan uraian beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditemukan menyerang tanaman cabai dan cara pengendaliannya, antara lain :

1. Penyakit Virus Kuning

Penyebab : Geminivirus “TYLCV”

(Tomato Yellow Leaf Curl Virus).

Morfologi /Daur Penyakit

Geminivirus termasuk kelompok virus tanaman dengan genomnya berupa DNA utas tunggal, berbentuk bundar, dan terselubung dalam virion ikosahedral kembar (geminate).

Penyakit tidak ditularkan melalui biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan melalui serangga vektor kutu kebul.

Kutu kebul dapat menularkan geminivirus secara persisten (tetap ; yaitu sekali makan pada tanaman yang mengandung virus, selamanya sampai mati dapat menularkan)

Gejala Serangan

Helai daun mengalami “vein clearing”, dimulai dari daun-daun pucuk, berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping). Infeksi lanjut dari geminivirus menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah (Gambar 1).

Tanaman Inang Lain

Tomat, cabe rawit, tembakau, gulma babadotan (Ageratum conyzoides) dan gulma bunga kancing (Gomphrena globosa).


Gambar 1. Gejala serangan penyakit virus kuning cabai

Pencegahan dan Pengendalian

Usaha pengendalian penyakit virus kuning (khususnya dengan pestisida) terutama ditujukan kepada serangga vektornya, karena sampai saat ini tidak ada pestisida yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian yang dapat mematikan virus. Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai, antara lain ;

  • Pemupukan yang berimbang, yaitu 150-200 kg Urea, 450-500 kg Za, 100-150 kg TSP, 100-150 KCL, dan 20-30 ton pupuk organik per hektar;

  • Menanam varietas yang agak tahan (karena tidak ada yang tahan) misalnya cabai keriting jenis Bukittinggi ;

  • Menggunakan bibit tanaman yang sehat (tidak mengandung virus) atau bukan berasal dari daerah terserang ;

  • Melakukan rotasi / pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan dari famili solanaceae seperti tomat, cabai, kentang, tembakau, dan famili cucurbitaceae seperti mentimun). Rotasi tanaman akan lebih berhasil apabila dilakukan paling sedikit dalam satu hamparan, tidak perorangan, dilakukan serentak tiap satu musim tanam, dan seluas mungkin ;

  • Melakukan sanitasi lingkungan, terutama mengendalikan tumbuhan pengganggu/ gulma berdaun lebar dari jenis babadotan, gulma bunga kancing, dan ciplukan yang dapat menjadi tanaman inang virus;

  • Penggunaan mulsa perak di dataran tinggi, dan jerami di dataran rendah mengurangi infestasi serangga pengisap daun;

  • Eradikasi tanaman sakit, yaitu tanaman yang menunjukkan gejala segera dicabut dan dimusnahkan supaya tidak menjadi sumber penularan ke tanaman lain yang sehat.

Untuk mendukung keberhasilan usaha pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai, diperlukan peran aktif para petani dalam mengamati / memantau kutu kebul dan pengendaliannya mulai dari pembibitan sampai di pertanaman agar diketahui lebih dini timbulnya gejala penyakit dan penyebarannya dapat dicegah.

2. Penyakit Virus Kerupuk

Penyebab : Chili Puckery Stunt Virus (CPSV), patogen ditularkan oleh aphid cabai Aphis gossypii

Morfologi/Daur Penyakit

Partikel virus kerupuk berbentuk tongkat yang lebih tipis dan lebih pendek dari TMV, dengan ukuran antara 97,6 – 158 nm, tebal 10 nm. Berdasarkan ukurannya yang mendekati ukuran ini adalah kelompok virus Hordeivirus group (Brount, et al, 1991), kelompok ini memiliki tipe anggota barley stripe mosaic virus. Sedangkan virus mosaik kecuali tobacco mosaic virus (TMV).

Penyakit ini dapat menular ke tanaman sehat lain melalui serangga vektor aphid A.gossypii. atau secara penyambungan.

Gejala Serangan

Gejala penyakit kerupuk dapat timbul sejak tanaman masih di pesemaian. Gejala pada tanaman muda dimulai dengan daun yang melengkung ke bawah. Pada umur-umur selanjutnya gejala melengkung lebih parah disertai kerutan-kerutan (puckery). Daun berwarna hijau pekat mengkilat dan permukaan tidak rata. Pertumbuhan terhambat, ruas jarak antara tangkai daun lebih pendek terutama di bagian pucuk, sehingga daun menumpuk dan bergumpal-gumpal berkesan regas seperti kerupuk (Gambar 2). Daun gugur sehingga yang tinggal daun-daun menggulung di ujung pucuk. Bunga dan bakal buah juga berguguran. Oleh karena itu tanaman yang terserang penyakit ini akan menghasilkan bunga dan buah yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman sehat.


Gambar 2. Gejala serangan penyakit krupuk (F. Duriat)

Tanaman Inang Lain

Menurut Duriat dan Gunaeni (2003) inang penyakit ini sangat sempit, yaitu spesies cabai saja (rawit, cabai besar dan paprika). Namun gejala seperti kerupuk ternyata juga ditemukan pada tanaman lain, antara lain kubis, kacang panjang, kumis kucing dan Ageratum sp.

Pencegahan dan Pengendalian

  • Pemupukan yang berimbang, yaitu 150 – 200 kg Urea, 450 – 500 kg Za, 100 – 150 kg TSP, 100 – 150 kg KCL, dan 20 – 30 ton pupuk organik per hektar,

  • Menggunakan bibit tanaman yang sehat (tidak mengandung virus) atau bukan berasal dari daerah terserang ;

  • Melakukan rotasi / pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan dari famili solanaceae seperti tomat, cabai, kentang, tembakau, dan famili cucurbitaceae seperti mentimun). Rotasi tanaman akan lebih berhasil apabila dilakukan paling sedikit dalam satu hamparan, tidak perorangan, dilakukan serentak tiap satu musim tanam, dan seluas mungkin ;

  • Melakukan sanitasi lingkungan, terutama mengendalikan tumbuhan pengganggu/gulma yang dapat menjadi tanaman inang virus;

  • Penggunaan mulsa perak di dataran tinggi, dan jerami di dataran rendah mengurangi infestasi serangga pengisap daun;

  • Eradikasi tanaman sakit, yaitu tanaman yang menunjukkan gejala segera dicabut dan dimusnahkan supaya tidak menjadi sumber penularan ke tanaman lain yang sehat.

3. Penyakit Virus Mosaik Keriting

Penyebab : PVY, atau TEV, atau CMV, atau CVMV secara tunggal atau gabungan, patogen ditularkan oleh aphid.

Morfologi /Daur Penyakit

Penyakit virus mosaik pada tanaman cabai umumnya disebabkan oleh gabungan beberapa patogen virus, yaitu CMV (Cucumber Mosaic Virus), PVY (Potato Virus Y), TMV (Tobacco Mosaic Virus). Patogen ditularkan oleh aphid.

Virus mosaik kecuali TMV, ditularkan secara mekanik dan dengan perantaraan vektor kutu daun persik (Myzus persicae) dan A. gossypii. Virus TMV pada tanaman cabai ditularkan secara mekanik atau melalui biji.

Gejala Serangan

Daun tanaman yang terserang mosaik warna belang antara hijau tua dan hijau muda (Gambar 3). Kadang-kadang disertai dengan perubahan bentuk daun (cekung, keriting atau memanjang). Serangan salah satu Strain CMV sering menyebabkan bentuk daun menyempit sepeti rambut atau bercak berpola daun oak pada buah dan pada daun, atau mosaik klorosis. Jika menyerang tanaman muda, pertumbuhan tanaman terhambat dan akhirnya mati.


Gambar 3. Gejala serangan mosaik kriting (F. Widodo dkk.)

Tanaman Inang Lain

Tomat, tembakau, ketimun, kentang, gulma berdaun lebar.

Pencegahan dan Pengendalian

Usaha pengendalian penyakit virus (khususnya dengan pestisida) terutama ditujukan kepada serangga vektornya, karena sampai saat ini tidak ada pestisida yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian yang dapat mematikan virus.

  • Pemupukan yang berimbang, yaitu 150 – 200 kg Urea, 450 – 500 kg Za, 100 – 150 kg TSP, 100 – 150 kg KCL, dan 20 – 30 ton pupuk organik per hektar,

  • Menggunakan bibit tanaman yang sehat (tidak mengandung virus) atau bukan berasal dari daerah terserang ;

  • Imunisasi tanaman cabai dan tomat dengan virus CMV yang dilemahkan dengan satelit virus CARNA-5 dapat menahan serangan CMV yang lebih ganas di lapang.

  • Melakukan rotasi / pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan dari famili solanaceae seperti tomat, cabai, kentang, tembakau, dan famili cucurbitaceae seperti mentimun). Rotasi tanaman akan lebih berhasil apabila dilakukan paling sedikit dalam satu hamparan, tidak perorangan, dilakukan serentak tiap satu musim tanam, dan seluas mungkin ;

  • Melakukan sanitasi lingkungan, terutama mengendalikan tumbuhan pengganggu/gulma yang dapat menjadi tanaman inang virus;

  • Penggunaan mulsa perak di dataran tinggi, dan jerami di dataran rendah mengurangi infestasi serangga pengisap daun;

  • Eradikasi tanaman sakit, yaitu tanaman yang menunjukkan gejala segera dicabut dan dimusnahkan supaya tidak menjadi sumber penularan ke tanaman lain yang sehat.

4. Virus Kerdil, Nekrosis, Mosaik Ringan

Penyebab : Tobacco Mosaic Virus (TMV), Tomato Mosaic Virus (ToMV).

Morfologi/Daur Penyakit

Tobacco Mosaic Virus (TMV) berbentuk tongkat dengan ketebalan 18 nm dan panjang 100 nm. Virus menular secara kontak.

Gejala Serangan

Gejala bervariasi kedalamnya termasuk mosaik, kerdil dan sistemik klorosis, kadang-kadang diikuti dengan nekrotik streak pada batang atau cabang (Gambar 4),dan diikuti dengan gugur daun.


Gambar 4. Gejala serangan mosaik ringan
(F. Widodo. dkk.)

Tanaman inang lain

Tomat, tembakau, ketimun, kentang, gulma berdaun lebar.

Pencegahan dan Pengendalian

  • Pemupukan yang berimbang, yaitu 150 – 200 kg Urea, 450 – 500 kg Za, 100 – 150 kg TSP, 100 – 150 kg KCL, dan 20 – 30 ton pupuk organik per hektar,

  • Menggunakan bibit tanaman yang sehat (tidak mengandung virus) atau bukan berasal dari daerah terserang ;

  • Imunisasi tanaman cabai dan tomat dengan virus CMV yang dilemahkan dengan satelit virus CARNA-5 dapat menahan serangan CMV yang lebih ganas di lapang.

  • Melakukan rotasi / pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan dari famili solanaceae seperti tomat, cabai, kentang, tembakau, dan famili cucurbitaceae seperti mentimun). Rotasi tanaman akan lebih berhasil apabila dilakukan paling sedikit dalam satu hamparan, tidak perorangan, dilakukan serentak tiap satu musim tanam, dan seluas mungkin ;

  • Melakukan sanitasi lingkungan, terutama mengendalikan tumbuhan pengganggu/gulma yang dapat menjadi tanaman inang virus;

  • Eradikasi tanaman sakit, yaitu tanaman yang menunjukkan gejala segera dicabut dan dimusnahkan supaya tidak menjadi sumber penularan ke tanaman lain yang sehat.

III. PENGENALAN SERANGGA VEKTOR VIRUS PADA CABAI DAN PENGENDALIANNYA

1. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)

Ordo : Hemiptera; Famili : Aleyrodidae; Genus : Bemisia; Species : tabaci. Mound dan Halsey (1978) melaporkan, bahwa Genus Bemisia mempunyai 37 spesies yang diduga berasal dari Asia.

Morfologi /Bio-ekologi

Telur berbentuk lonjong agak lengkung seperti pisang, berwarna kuning terang, berukuran panjang antara 0,2 - 0,3 mm. Telur biasanya diletakkan di permukaan bawah daun, pada daun teratas (pucuk). Serangga betina lebih menyukai daun yang telah terinfeksi virus mosaik kuning sebagai tempat untuk meletakkan telurnya daripada daun sehat. Rata-rata banyaknya telur yang diletakkan pada daun yang terserang virus adalah 77 butir, sedangkan pada daun sehat hanya 14 butir. Lama stadium telur rata-rata 5,8 hari.

Nimfa terdiri atas tiga instar. Instar ke - 1 berbentuk bulat telur dan pipih, berwarna kuning kehijauan, dan bertungkai yang berfungsi untuk merangkak. Nimfa instar ke - 2 dan ke - 3 tidak bertungkai, dan selama masa pertumbuhannya hanya melekat pada daun. Lama stadium nimfa rata-rata 9,2 hari.

Imago atau serangga dewasa tubuhnya berukuran kecil antara (1 - 1,5 mm), berwarna putih, dan sayapnya jernih ditutupi lapisan lilin yang bertepung. Serangga dewasa biasanya berkelompok pada bagian permukaan bawah daun, dan bila tanaman tersentuh biasanya akan berterbangan seperti kabut atau kebul putih (Gambar 5). Lama siklus hidup (telur - nimfa - imago) kutu kebul pada tanaman sehat rata-rata 24,7 hari, sedangkan pada tanaman terinfeksi virus mosaik kuning hanya 21,7 hari.

Imago
Nimpa
Gambar 5. Kutu kebul (Bemisia tabaci)
(F. Muharam)

Gejala Serangan

Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh imago dan nimfa yang mengisap cairan daun, berupa gejala becak nekrotik pada daun akibat rusaknya sel-sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu kebul menghasilkan madu yang merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya embun jelaga yang berwarna hitam. Hal ini menyebabkan proses fotosintesa tidak berlangsung normal.

Selain kerusakan langsung oleh isapan imago dan nimfa, kutu kebul sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Sampai saat ini tercatat 60 jenis virus yang ditularkan oleh kutu kebul antara lain : Geminivirus, Closterovirus, Nepovirus, Carlavirus, Potyvirus, Rod-shape DNA Virus.

Tanaman Inang

Kutu kebul merupakan hama yang sangat polifag menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan maupun tumbuhan liar atau gulma. Tanaman inang utama kutu kebul sekitar 67 famili yang terdiri atas 600 spesies tanaman (Asteraceae, Brassicacea, Cucurbitacea, Solanaceae, dll). Beberapa contoh tanaman budidaya yang menjadi inang kutu kebul antara lain tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis, buncis, selada, bunga potong Gerbera, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, lada; dan tanaman liar yang paling disukai adalah babadotan (Ageratum conyzoides).

Daerah Penyebaran

Kutu kebul diduga berasal dari Asia. Pada tahun 1938 dilaporkan menyerang tanaman tembakau di Sumatera Utara, dan pada tahun 1994 dilaporkan menyerang tanaman cabai di sentra produksi di Pulau Jawa. Penyebaran di berbagai negara di dunia, telah tercatat seperti di Asia 37 negara; Afrika 39 negara; Eropa 26 negara; Amerika 30 negara; dan di Oceania 14 negara.

Pengendalian

  • Di lapangan :

a. Kultur teknis

  • Menanam pinggiran lahan dengan tanaman jagung atau bunga matahari sebagai barier (Gambar 6) dan memperbanyak populasi agens hayati;

  • Pergiliran (rotasi) tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan famili Solanaceae seperti tomat, cabai, kentang dan Cucurbitaceae seperti mentimun). Pergiliran tanaman harus per hamparan, tidak perorangan, serentak dan seluas mungkin;

  • Sanitasi lingkungan, terutama mengendalikan gulma daun lebar babadotan dan ciplukan yang dapat menjadi tanaman inang virus;

  • Tumpang sari antara tanaman sayuran, cabai atau tomat dengan tagetes untuk mengurangi risiko serangan;

b. Fisik / mekanis

  • Pemasangan perangkap likat berwarna kuning (40 buah per ha);

  • Pemasangan kelambu di pembibitan (Gambar 7) sampai di pertanaman, terutama saat populasi tinggi/musim kemarau dan di daerah serangan virus;

  • Sisa tanaman terserang dikumpulkan dan dibakar.


Gambar 6. Tanaman jagung (2-3) baris) sebagai barier dipinggiran areal cabai

Gambar 7. Pemasangan kelambu di pembibitan cabai

c. Pemanfaatan musuh alami

  • Kumbang predator Menochilus sexmaculatus (Coccinelidae), mampu memangsa 200 - 400 ekor nimfa kutu kebul (Gambar 8). Siklus hidup predator 18 - 24 hari, dan satu ekor betina mampu menghasilkan telur 3000 butir;

  • Tabuhan parasitoid nimfa Encarcia formosa serangga betinanya mampu menghasilkan telur sebanyak 100 - 200 butir;


Gambar 8. Kumbang predator Monochililus sp.

  • Cara pelepasan E. formosa :

    • untuk tanaman cabai/tomat : 1 ekor E. formosa setiap 4 tanaman/minggu, dilakukan selama 8 - 10 minggu;

    • untuk tanaman mentimun : 1 ekor E. formosa setiap 2 tanaman/minggu, dilakukan selama 8 - 10 minggu;

  • Untuk meningkatkan musuh alami dilapangan diperlukan pelepasan parasitoid dan predator secara berkala;

d. Cara kimiawi

  • Dalam hal cara lain tidak dapat menekan populasi hama, dapat digunakan insektisida yang efektif (pada prinsipnya agar mengikuti ketentuan seperti yang diuraikan pada halaman 32 butir d), terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian (lihat Lampiran 1), antara lain yaitu Applaud 10 WP (buprofesin 10%), Confidor 5 WP (imidakloprid 5%), Mitac 200 EC (amitraz 200 g/l), dan Orthene 75 SP (asefat 75%);

  • Penyemprotan diusahakan mengenai daun bagian bawah. Perlu dihindari penggunaan pestisida secara berlebihan, karena dapat mendorong meningkatnya populasi hama;

  • Penggunaan pestisida nabati Nimba, Tagetes, Eceng Gondok, atau Rumput Laut untuk mengendalikan kutu kebul.

Untuk mendukung keberhasilan usaha pengendalian, diperlukan peran aktif para petani dalam mengamati perkembangan populasi kutu kebul mulai di pembibitan sampai pertanaman. Usaha pengendalian akan efektif apabila dilaksanakan secara serentak pada satu hamparan, tidak perorangan dalam skala yang sempit.

  • Di rumah kaca

a. Pengendalian biologi

- Kalau memungkinkan dilakukan pelepasan serangga tabuhan E. formosa sebagai parasit nimfa sebanyak 5 ekor/tanaman tomat; dan kumbang predator M. sexmaculatus;

- Tingkat parasitasi mencapai 40 - 50 %, dan daerah sebarnya di Pulau Jawa dan Bangka (Kalshoven, 1981);

- Parasit nimfa E. formosa sangat peka terhadap insektisida;

b. Pengendalian fisik / mekanik

- Sisa tanaman terserang dimusnahkan

/dibakar di tempat terpisah/khusus supaya tidak menjadi sumber penularan ke tanaman lain;

- Pemasangan perangkap likat kuning baik jumlah maupun ketinggiannya disesuaikan dengan luas rumah kaca dan keadaan pertanamannya;

c. Pengendalian kimia

- Untuk pengendalian kutu kebul dewasa pada kondisi populasi tinggi, dapat dilakukan pengasapan dengan insektisida kimia sintesa efektif dan diizinkan Menteri Pertanian, antara lain Mitac 200 EC (amitraz) yang dapat diaplikasikan dengan fogger (campuran larutan semprot solar); sedangkan Applaud 10 WP (buprofesin 10%), Confidor 5 WP (imidakloprid 5%), dan Orthene 75 SP (asefat 75%) tidak dianjurkan digunakan dengan larutan semprot solar;

- Pada kondisi populasi rendah, dapat digunakan pestisida nabati Nimba, Tagetes, Eceng Gondok, atau Rumput Laut untuk mengendalikan kutu kebul.

- Pencegahan

Selanjutnya perlu dijaga jangan sampai terjadi serangan baru kutu kebul ke dalam rumah kaca.

2. Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz.)

(Ordo : Homoptera, Famili : Aphididae)

Morfologi /Bioekologi

Nimfa dan imago mempunyai antena yang relatif panjang / sama dengan panjang tubuhnya. Nimfa dan imago yang bersayap dengan warna hitam mempunyai sepasang tonjolan pada ujung abdomen yang disebut konikel, berwarna hitam. Imago yang bersayap ukuran tubuhnya 2-2,5 mm. Imago yang tidak bersayap tubuhnya berwarna merah atau kuning atau hijau kekuningan, berukuran tubuh 1,6 – 2,3 mm. Umumnya warna tubuh nimfa dan imago berwarna sama, kepala dan dada berwarana coklat sampai hitam, perut berwarna hijau kekuningan (Gambar 9). Siklus hidup 7 – 10 hari, berkembang biak secara partenogenesis, dan seekor kutu dapat menghasilkan keturunan 50 ekor. Lama hidup kutu dewasa mencapai 2 bulan.


Imago

Nimfa
Gambar 9. Kutu daun persik (Myzus sp)
(F. Muharam)

Gejala Serangan

Dampak langsung serangan : tanaman menjadi keriput, tumbuh kerdil, warna daun kekuningan, terpuntir, layu dan mati. Kutu biasanya berkelompok di bawah permukaan daun, menghisap cairan daun muda dan bagian tanaman yang masih muda (pucuk). Eksudat yang dikeluarkan kutu mengandung madu, sehingga mendorong tumbuhnya cendawan embun jelaga pada daun yang dapat menghambat proses fotosintesa.

Dampak secara tidak langsung : kutu daun merupakan vektor lebih dari 150 strain virus, terutama penyakit virus CMV (Cucumber Mosaic Virus), dan PVY (Potato Virus Y).

Tanaman Inang Lain

Hama ini bersifat polifag, dengan lebih dari 400 jenis tanaman inang. Inang utama selain cabai adalah kentang dan tomat. Inang lainnya antara lain tembakau, petsai, kubis, sawi, terung, ketimun, buncis, semangka, jagung, jeruk, dan kacang-kacangan.

Pengendalian

a. Kultur teknis

Sanitasi dan pemusnahan gulma dan bagian tanaman yang terserang dengan cara di bakar.

b. Fisik mekanis

- Penggunaan kain kassa / kelambu baik di bedengan pesemaian maupun di lapangan,

- Penggunaan perangkap air berwarna kuning sebanyak 40 buah per hektar atau 2 buah per 500 m2 dipasang ditengah pertanaman sejak tanaman berumur 2 minggu.

c. Hayati

Pemanfaatan musuh alami parasitoid Aphidius sp., predator kumbang Coccinella transversalis (Gambar 10), Menochillus sexmaculata, Chrysopa sp., larva syrphidae, Harmonia octomaculata, Microphis lineata, Veranius sp. dan patogen Entomophthora sp., Verticillium sp.


Muharam
Gambar 10. Parasitoid (Aphidius sp.)

d. Kimiawi

Dalam hal cara lain tidak dapat menekan populasi hama, dapat digunakan insektisida yang efektif (pada prinsipnya agar mengikuti ketentuan seperti yang diuraikan pada halaman 32 butir d), terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian (Lampiran 1) apabila berdasarkan hasil pengamatan tanaman contoh, jumlah kutu daun lebih dari 7 ekor per 10 daun contoh atau serangan mencapai lebih atau sama dengan 15 % per tanaman contoh.

3. Trips (Thrips parvispinus Karny.)

(Ordo : Thysanoptera, Famili : Thripidae)

Morfologi /Bioekologi

Imago berukuran sangat kecil sekitar 1 mm, berwarna kuning sampai coklat kehitaman (Gambar 11). Imago yang sudah tua berwarna agak kehitaman, berbercak-bercak merah atau bergaris-garis. Betina mempunyai 2 pasang sayap yang halus dan brumbai/jumbai seperti sisir bersisi dua. Pada musim kemarau populasi lebih tinggi dan akan berkurang bila terjadi hujan lebat. Umur stadium serangga dewasa dapat mencapai 20 hari.


Muharam
Gambar 11. (Trips parvipinus Karny)

Telur berbentuk oval/seperti ginjal rata-rata 80 butir per induk, diletakkan di permukaan bawah daun atau di dalam jaringan tanaman secara terpencar, akan menetas setelah 3 – 8 hari.

Nimfa berwarna pucat, keputihan/ kekuningan, instar 1 dan 2 aktif dan tidak bersayap. Nimfa yang tidak aktif berada di permukaan tanah sekitar tanaman. Perkembangan pupa menjadi trips muda meningkat pada kelembaban relatif rendah dan suhu relatif tinggi. Daur hidup sekitar 20 hari, di dataran rendah 7 – 12 hari. Hidup berkelompok.

Gejala Serangan

Dampak langsung serangan : pada permukaan bawah daun berwarna keperak-perakan, daun mengering atau keriput. Pada serangan berat, daun, pucuk serta tunas menggulung ke dalam dan timbul benjolan seperti tumor (Gambar 12) dan pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil bahkan pucuk mati.


Muharam
Gambar.12 Gejala serangan Trips pada cabei

Dampak secara tidak langsung : trips merupakan vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Gejala serangan awal timbul akibat hama menghisap cairan permukaan bawah daun dan atau bunga ditandai oleh bercak-bercak keperakan mengkilat, daun akan menjadi keriting atau bersembelit dan keriput. Jika serangan terjadi pada awal pertanaman maka akan terjadi gejala fatal berupa penyakit kerdil (dwarfing) dan pada akhirnya layu dan kemudian akan mati.

Tanaman Inang Lain

Hama ini bersifat kosmopolit dan polifag, dengan tanaman inang utama sayuran dari keluarga Solanaceae (cabai, kentang, tomat dan terung), keluarga bawang (Allium spp.), Brassika (kubis), Kacang-kacangan. Tanaman inang selain sayuran yaitu tembakau, kapas, krisan, dan berbagai tanaman hias.

Pengendalian

a. Kultur teknis

- Penggunaan mulsa plastik yang dikombinasikan dengan tanaman perangkap caisin dapat menunda serangan yang biasanya terjadi pada umur 14 hari setelah tanam menjadi 41 hari setelah tanam.

- Membakar sisa jerami/mulsa yang dipakai selama pertanaman.

- Sanitasi dan pemusnahan bagian tanaman yang terserang.

b. Fisik mekanis

Penggunaan perangkap likat warna biru, putih atau kuning sebanyak 40 buah per hektar atau 2 buah per 500 m2 dipasang ditengah pertanaman sejak tanaman berumur 2 minggu (Gambar 13). Setiap minggu perangkap diolesi dengan oli atau perekat. Perangkap kilat dipasang dengan ketinggian ± 50 cm (sedikit di atas tajuk tanaman).

c. Hayati

Pemanfaatan musuh alami predator kumbang Coccinellidae Coccinella repanda, Amblysius cucumeris (Gambar 14), Orius minutes, Arachnidea dan patogen Entomophthora sp.


Gambar 13. Perangkap likat putih (kiri) dan biru (kanan)


Gambar 14 Predator Amblysius cucumeris

d. Kimiawi

Dalam hal cara lain tidak dapat menekan populasi hama, dapat digunakan insektisida yang efektif (pada prinsipnya agar mengikuti ketentuan seperti yang diuraikan pada halaman 32 butir d), terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian (lihat Lampiran 1) apabila berdasarkan hasil pengamatan tanaman contoh, serangan mencapai lebih atau sama dengan 15 % per tanaman contoh.

IV. PRINSIP DASAR PENGENDALIAN OPT

Dengan mengetahui dan memahami prinsip dasar pengendalianOPT maka penggunaan pestisida sintetis pada tanaman cabai tidak sampai berlebihan yang menyebabkan selain tindakan aplikasinya tidak efektif, biaya produksi relatif tinggi, membahayakan kesehatan manusia dan juga mencemari lingkungan hidup. Oleh karena itu pengendalian OPT dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yakni upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan OPT dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam kesatuan untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup.

Sistem PHT tersebut dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pengamatan

Pengamatan bertujuan untuk mengetahui intensitas serangan atau kepadatan populasi OPT, luas serangan, dan daerah penyebaran serta faktor biotik (musuh alami, tanaman, tindakan manusia) dan faktor abiotik (temperatur, kelembaban udara, sinar matahari, hujan, angin, tanah, air dsb). Metode pengamatan OPT cabai tercantum pada Lampiran 2.

2. Pengambilan Keputusan

Kegiatan pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan hasil analisis data pengamatan rutin, yaitu diteruskannya kegiatan pengamatan itu atau dilaksanakannya tindakan pengendalian.

Apabila hasil analisis data pengamatan masih di bawah ambang pengendalian (misalnya serangan hama pengisap (kutu daun, thrips, tungau sebanyak <>

3. Tindakan Pengendalian

Tindakan pengendalian dilakukan apabila populasi dan atau tingkat serangan OPT dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis, atau hasil analisis data pengamatan rutin sudah mencapai ambang pengendalian. Persyaratan tindakan pengendalian OPT, yaitu harus memenuhi aspek ekologi (tidak mengganggu kesehatan manusia, kehidupan musuh alami dan organisme bukan sasaran, lingkungan hidup dan tidak menimbulkan residu pestisida sintetis yang berbahaya pada hasil tanaman), aspek ekonomis (biaya terjangkau petani dan memberikan manfaat yang optimal), aspek sosial (mudah dilaksanakan dapat diterima masyarakat), dan aspek teknis (mendukung berbagai cara pengendalian yang serasi, selaras dan seimbang, mengutamakan pengendalian, budidaya, fisik/mekanik, biologis dan genetik, menggunakan pestisida sintetik apabila diperlukan).

Beberapa tindakan pengendalian yang dapat dipilih dan digunakan dalam menyusun operasional pengendalian sesuai dengan rakitan teknologi yang memungkinkan, antara lain :

a. Pengendalian secara teknik budidaya

- pengolahan tanah yang baik dan benar

- penggunaan benih dari varietas tahan OPT, bermutu, dan sehat

- penggunaan jarak tanam, pola tanam (tumpang sari/ tumpang gilir), dan waktu tanam yang tepat

- pemupukan berimbang

- pengaturan drainase atau tata air, dan

- menanam tanaman perangkap/pengikat OPT

b. Pengendalian secara fisik/mekanik

- sanitasi/eradikasi selektif terhadap tanaman terserang OPT

- sanitasi terhadap tumbuhan pengganggu yang kemungkinan menjadi tanaman inang lain dari OPT

- pengambilan kelompok telur, larva/imago vektor virus dari tanaman secara langsung.

- Pemasangan perangkap likat kuning (kutu kebul), likat putih (trips, kutudaun). Teknik Operasional pemasangan Perangkap likat (Lampiran 3).

c. Pengendalian biologi

- pemanfaatan musuh alami, agens hayati lainnya yang sangat spesifik (contoh beberapa agens hayati pada Lampiran 4, dan Cara Perbanyakan dan Penggunaan Agens Hayati Trichoderma spp, Gliocladium sp, Trips dan kutudaun (Lampiran 5 dan 6)

d. Aplikasi pestisida

Ditinjau dari segi cara mengeksplorasi bahan aktifnya maka pestisida dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu :

- pestisida hayati

pestisida yang dieksplorasi dari mahluk hidup, karena kandungan bahan aktifnya yang dapat digunakan untuk mengendalikan OPT berasal dari mahluk hidup. Pestisida hayati dapat berupa pestisida nabati (tumbuhan) dan agens hayati (cendawan, bakteri, virus, dsb). Contoh pestisida nabati pada tanaman cabai. Lampiran 7, Cara Perbanyakan dan Penggunaan Pestisida Nabati (Lampiran 8).

- pestisida sintetis

bahan aktif dari hasil sintesa kimia yang terdiri dari beberapa golongan. Contoh pestisida sintetis yang terdaftar dan diizinkan pemakaiannya pada tanaman cabai Lampiran1).

Untuk memperkecil dampak negatif pestisida sintetis, terutama mengurangi residu pestisida pada hasil pertanian, maka aplikasi pestisida sintetis harus memenuhi kriteria 6 (enam) tepat, yaitu :

1. Tepat Jenis

Jenis pestisda yang digunakan efektif terhadap OPT sasaran hasil pengamatan rutin (dapat dibaca pada label kemasan).

2. Tepat Mutu

Pestisida sintetis yang digunakan bermutu baik, untuk itu dipilih pestisida yang terdaftar dan dizinkan, tidak menggunakan pestisida yang sudah kadaluarsa, rusak atau yang diduga kuat palsu.

3. Tepat Sasaran

Berdasarkan hasil pengamatan rutin secara tepat diidentifikasi jenis OPT, usahakan hanya bagian tanaman yang terserang OPT yang diaplikasi.

4. Tepat Dosis Konsentrasi

Dosis (liter atau kilogram pestisida sintetis per hektar luas tanaman) dan konsentrasi (mililiter atau gram pestisida per liter cairan semprot) yang digunakan sesuai dengan petunjuk penggunaan pada label kemasan.

5. Tepat Waktu

Aplikasi pestisda dilakukan pagi atau sore hari, saat udara cerah, angin tidak terlalu kencang, dan tidak hujan. Disamping itu OPT masih stadia awal/peka, dan populasi atau intensitas serangannya sudah melampaui ambang pengendalian.

6. Tepat Cara dan Alat Aplikasi

Cara aplikasi pestisida harus sesuai antara alat yang digunakan dengan jenis pestisidanya, dan fase tanaman yang disemprot serta OPT sasaran.

Kemudian untuk meminimalkan kandungan residu pestisida sampai di bawah batas maksimum residu (BMR) yang diizinkan, maka perlu juga memperhatikan pemilihan jenis pestisida sintetis yang akan digunakan bersifat tidak persisten (mudah terurai pada kondisi lapangan) atau mempunyai waktu paruh (DT50) yang pendek. Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan agar separuh (50%) dari senyawa kimia tersebut telah terurai, makin kecil angkanya berarti makin cepat terurai. Data DT50) beberapa jenis pestisida yang diizinkan pada tanaman cabai dapat dilihat pada Lampiran 1.

DAFTAR PUSTAKA

1. ___________, 2002. Penggunaan Pestisida Secara Benar dengan Residu Minimum. Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura. Direktorat Perlindungan Hortikultura, Jakarta.

2. Adam, et al, 2003. Pedoman Penerapan Usahatani Hortikultura dan Kimia Sintetik. Direktorat Perlindungan Hortikultura, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.

3. Duriat dan Muharam, 2003. Pengenalan Penyakit Penting Pada Cabai dan Pengendaliannya Berdasarkan Epidemologi Terapan. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung.

4. Duriat, et al, 1996. Teknologi Produksi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung.

5. Duriat dan Gunaini, 2003. Pengenalan Penyakit Virus Krupuk pada Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung.

6. Ellen, et al, 1999. Pengenalan dan Pengendalian OPT Cabai. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta.

7. Hartono, 2003. Penyakit Virus Daun Menguning dan Kriting pada Cabai di Yogyakarta dan Upaya Pengendaliannya. Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

8. Muharam dan Sumarni, 2002. Budidaya Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung.

9. Setiawati dan Muharam, 2003. Buku Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Cabai Merah (Pengenalan dan Pengendalian Hama-Hama Penting pada Tanaman Cabai Merah). Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung.

10. Widodo, et al, 2003. Pengenalan dan Beberapa Gangguan Penting Dalam Produksi Cabai dan Kemungkinan Pengendaliannya. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sumber : http://ditlin.hortikultura.go.id/buku_sayur06/Buku%20Virus%20Kuning/pedoman_cabe.htm